I am You
Sepasang telapak kaki berpijak di ubin putih milik rumah sakit, keduanya adalah milik seorang gadis yang baru saja menyelesaikan sesi terapi mentalnya. Mengarah ke ruang rawat inapnya, si gadis melirik kearah kartu berukuran sedang dengan tulisan 'Nn. Wresi' yang tak lain adalah namanya, dan merebahkan diri di ranjang.
Dengan bau obat-obatan yang selalu berebutan masuk ke indera penciuman, juga cahaya kamar inap yang selalu menusuk mata, sang Gadis semakin yakin jika rasa bencinya kepada rumah sakit semakin bertambah setiap harinya.
Ia kembali mengais ingatannya tentang bagaimana ia bisa berakhir terbangun di ruangan seluas 10 meter kuadrat tersebut. "Oh..." gadis itu membuka suara ketika akhirnya mengingat sesuatu. Segerombolan kelompok penindas menghampirinya, dan melakukan rutinitas mereka.
Helaan napas berat ia lepaskan, netranya menatap kosong langit-langit ruangan sebelum perlahan-lahan menghitam dikarenakan ia yang terlelap.
Ia tersentak yang membuatnya terbangun, padahal ia merasa baru sekian detik memejamkan mata, ia malah terbangun di ruangan luas tanpa ujung, yang tentu saja ia tidak ketahui.
"Rasi," menatap lurus, ia temukan sesosok dengan wajah yang tidak bisa ia lihat dengan jelas, tengah memanggil namanya. "Siapa?"
"Apakah kau ingin kembali?" bukannya menjawab pertanyaan Rasi, sosok itu malah melemparkan sebuah pertanyaan yang membuatnya semakin kebingungan. "Kembali?"
"Apakah kau ingin kembali?" pertanyaan tersebut terdengar lagi dari sosok tersebut, "Apakah kau mengatakan aku sudah mati?" Rasi kembali bertanya kepada sosok tersebut, belum ada yang menjawab pertanyaan diantara keduanya.
Sosok tersebut terdiam, "Kuanggap itu sebagai 'Ya', dan aku tidak ingin kembali."
"Mengapa?" tanya sosok itu. Rasi mulai menganggap sosok tersebut hanyalah sebuah mesin atau robot, yang hanya bisa menanyakan pertanyaan. "Setelah semua yang terjadi, aku menolak untuk kembali."
"Mengapa?"
Rasi cukup muak dengan sosok di depannya itu. Baru saja ingin menumpahkan kekesalannya, sebuah suara menggema di ruangan tersebut, memotong kegiatan diantara keduanya. Sebuah suara yang tak asing di telinga Rasi, suara tangisan yang tiap harinya ia dengarkan. "Ibu?"
"Apakah kau ingin pergi meninggalkan sosok yang kau sayangi?" Rasi terdiam seribu bahasa. "Apakah kau ingin pergi meninggalkan Ibumu yang selalu sabar menantimu hingga kau sembuh sepenuhnya?" Ia rasakan bahwa pipinya menjadi basah setelah perkataannya yang kedua.
"Kau menolak kembali? Kau menolak bertemu Ibumu yang mencintaimu?"
"DIAM!" rasa sedih dan amarah bercampur aduk dalam dirinya. Ia sedih karena melihat Ibunya menangisi dirinya yang hanya bisa terkulai lemas setiap hari, yang hanya bisa keluar dan masuk ke ruangan terapi mental.
Ia marah, karena semua yang sosok itu katakan benar adanya.
"Lihat aku, Rasi."
Atensinya kembali kearah sosok tersebut, sosok dengan wajah yang lebih jelas, sosok yang ternyata adalah dirinya. Selama ini, ia hanya berdebat dengan dirinya sendiri.
"Ini adalah yang terakhir, apakah kau ingin kembali?"
Rasi mengangguk, walau hanya dibalas oleh senyum abstrak yang terlukis di wajah sosoknya yang lain. "Kalau begitu, selamat tinggal."
Setelah sepatah kalimat perpisahan tersebut, pandangan Rasi memudar. Sang gadis berpikir bahwa mungkin ia akan kembali.
Tapi sayang sekali, yang barusan ia alami hanyalah perdebatan batin biasa, perdebatan batin yang tidak akan mengubah apapun termasuk takdir.
Perdebatan terakhir sebelum ia akhirnya pergi meninggalkan Ibunya, walaupun Ia sudah bertekad untuk kembali kepada Ibunya.