Filosofi

Menghormati Keladi Raksasa di Pedalaman Ambalau Kalbar

Jumat, 22 Januari 2021, 16:51 WIB
Dibaca 1.693
Menghormati Keladi Raksasa di Pedalaman Ambalau Kalbar
dokpri

Dalam kepercayaan kami jika menemukan keladi ini tidak boleh ditebang malahan di sekitarnya harus dibersihkan.

Belum lama ini, saya ngobrol dengan Otong kenak. Otong kenak dalam bahasa dayak Uud Danum berarti anak laki-laki ganteng. Dia berkisah tentang pengalamannya saat berburu.

Berburu merupakan kebiasaan laki-laki Dayak Uud Danum. Sekalipun si Otong kenak sudah tinggal di kota namun tak menghilangkan kebiasaan itu. Setiap libur, saatnya mudik untuk berburu.

Otong kenak pun berkisah, “sewaktu saya berburu dengan Amai (bapak), biasanya untuk menemukan hewan buruan terutama babi kami akan mencari jejak kaki dan kubangannya. Jika sudah menemukan kedua petunjuk itu berarti sudah dekat dengan target buruan.

Kalau yang kami temukan kubangan babi, kami akan segera mencari tempat persembunyian tak jauh dari kubangan itu. Babi hutan biasanya akan kembali ke kubangan untuk mandi dan bermalas-malasan. Yah, begitulah babi hutan meskipun kubangan yang ‘jorok’ adalah tempat paling menyenangkan bagi mereka.

Di tempat persembunyian kami hanya perlu ngipak (mengintai) babi datang. Bagi pemburu jejak dan kubangan babi hutan tidak sekedar petunjuk tapi juga menghemat waktu untuk mendapat babi buruan.

Baca Juga: Hobi Menulis Seperti Merawat Tanaman

Dalam perjalanan mencari petunjuk itu saya dikejutkan dengan penampakan bunga keladi atau talas yang tak biasa. Kami biasa menyebutnya talih. Dalam bahasa sehari-hari kami menyebutnya keladi.

Keladi yang kami temui ini berukuran raksasa. Ukurannya lebih besar dari manusia dewasa. Spontan saya bertanya kepada Amai, “Ama kok ada bunga keladi sebesar ini?”, Amai dengan tenang menjawab seolah-olah itu bukanlah hal yang spektakuler, “jenis keladi itu memang tumbuhnya di dalam hutan belantara seperti ini.”Maklum Amai telah berpengalaman menjelajah hutan dan berburu pemandangan semacam itu hal biasa.

Lalu saya bilang, “Amai kalau di kota keladi besar seperti ini dijadikan tanaman yang menghiasi rumah, di sini justru tumbuh liar. Kalau di kota malah di cari-cari dan koleksi.”

Jenis keladi yang kami temui ini tidak bisa dimakan. Jika kita kena getahnya akan terasa gatal bahkan rasanya hingga menembus tulang.

Mungkin inilah tercetus istilah “tua-tua keladi”. Sudah tua tapi ‘gatal’.

Dalam kepercayaan kami jika menemukan keladi ini tidak boleh ditebang malahan di sekitarnya harus dibersihkan.

Lebih dari itu, jika membawanya pulang untuk ditanam harus berkomitmen untuk merawatnya. Sebab jika menanam namun tak mengurusnya dengan baik maka bisa kena pomadik atau madi. Kena kutuk, sakit penyakit.

Bagaimana pun juga tanaman adalah makhluk hidup yang layak dirawat dan diperlakukan dengan baik. Begitulah kami, hutan dan isinya harus diperlakukan dengan baik. Sedemikian rupa kami memperlakukan hutan bahkan dari hal kecil seperti tanaman keladi ini.

Saya merenung sejenak, betapa bersyukurnya bisa masuk dalam hutan. Biarpun kami mendapat hewan buruan tetapi saya merasa senang dapat melihat bunga keladi raksasa ini. Tak mungkin momen langka ini dilewatkan. Insting anak milenial, cekrek! dapat foto (gambar) keladi ini.

Baca Juga: Pasak Bumi: Tanaman Perkasa dari Borneo

Tanaman keladi merupakan tanaman hias harga bisa mencapai jutaan rupiah. Nilai jualnya tinggi. Tumbuhan keladi berdaun lebar dan berumbi. Umbinya ada yang dapat di makan dan ada yang tidak. Kita biasa mengenal umbi yang dapat dimakan dengan sebutan talas. Talas dikenal dalam bahasa Latin Colocasia esculenta. Sementara keladi merupakan sekelompok tumbuhan dari genus caladium yang masuk dalam suku talas-talasan - araceae. Keladi menjadi salah satu tanaman hias yang digemari.

Suatu kebanggaan tersendiri masih dapat melihat hutan rimba nan asri. Bagi kami orang pedalaman, hutan adalah supermarket. Kami hanya perlu masuk hutan dan mengambil apa yang diperlukan sayuran, buah, daging, hingga tanaman hias yang indah dan tentu saja gratis. Ambil secukupnya.

Semoga hutan rimba ini tetap lestari.

***