Filosofi

Fakta! Guru dan Kursi Kosong, Bagaimana Nasib Anak Bangsa di Masa Pandemi?

Kamis, 29 April 2021, 21:13 WIB
Dibaca 938
Fakta! Guru dan Kursi Kosong, Bagaimana Nasib Anak Bangsa di Masa Pandemi?
Dokumentasi: Lorensius Almanto

Masa Pandemi Covid-19 belum berakhir. Sejak 15 Maret 2020, mendadak sekolah diliburkan sampai pada batas waktu yang belum bisa ditentukan. Teringat dalam benak saya, kejadian ini bermula pada pertengahan Ujian Satuan Pendidikan (USP) bagi kelas XII yang sedang berlangsung saat itu. Dengan demikian, terhitung hampir 3 semester Pembelajaran Tatap Muka (PTM) ditiadakan.

Menyikapi ketidakmungkinan dilaksanakannya PTM, maka berbagai metode pembelajaran ditawarkan agar proses pembelajaran bisa tetap berjalan di tengah wabah yang dapat menjangkit ini. Upaya penerusan sistem pembelajaran dilakukan dengan metode Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).

Sudah lebih dari satu tahun, peserta didik belajar secara daring. Kekhawatiran akan penularan covid-19 memaksa guru dan peserta didik untuk berpisah di antara ruang dan waktu. Guru tak ubahnya hanya mengajar kursi kosong di dalam kelas. Sementara peserta didik, mereka harus tetap berada di rumah masing-masing untuk belajar dan dalam pengawasan orang tua.

Belajar secara daring/online bagi guru dan peserta didik di perkotaan tentu tidak akan banyak mengalami kendala. Namun bagaimana nasib sekolah yang ada di pelosok desa dengan fasilitas internet yang tidak memadai? Tentu saja nasib anak bangsa di sana patut dipertanyakan.

Dampak positif dari pelaksanaan PJJ terlihat dari meluasnya jangkauan informasi materi yang dapat diakses oleh peserta didik. Materi yang disampaikan oleh guru dapat diakses menggunakan smartphone atau teknologi modern lainnya, dimana pun dan kapan pun oleh peserta didik. Dalam hal ini, baik guru mau pun peserta didik dituntut untuk terampil dalam menggunakan teknologi. Keterampilan dalam mengakses teknologi dapat mendukung kompetensi diri sebagai generasi milenial  di era digital.

Beberapa dampak negatif yang timbul akibat PJJ adalah kehilangan pembelajaran kognitif. PJJ dapat mempersulit guru dalam melaksanakan pembinaan pengembangan karakter secara langsung, akibatnya, banyak peserta didik yang jadi pembangkang. Karena terlalu banyaknya dispensasi dari guru mengakibatkan peserta didik diam-diam melepas tanggung jawab sebagai pelajar. Mereka menjadi acuh tak acuh pada sistem PJJ.

Selain itu, banyak peserta didik terpaksa harus bekerja untuk membantu keuangan keluarga di tengah krisis finansial akibat pandemi covid-19 ini. Terlalu asyik mencari uang membuat mereka lalai untuk mengakses pembelajaran.

Beberapa peserta didik binaan saya mengaku bahwa mereka tidak respek terhadap sistem PJJ, karena mereka beranggapan bahwa PJJ bukanlah sistem pembelajaran yang mereka inginkan. Harapan peserta didik, mereka sangat ingin tetap belajar bersama dengan guru di dalam kelas agar dapat berinteraksi secara langsung. Sejak diberlakukannya sistem PJJ, peseta didik merasa belajar bukanlah sebuah keharusan, lagi pula dispensasi dari guru pasti mereka dapatkan. Itu sebabnya, mereka lebih memilih untuk bekerja dari pada belajar.

Pembelajaran Jarak Jauh juga dapat mengakibatkan peserta didik stres karena sulitnya mengakses PJJ dengan berbagai metode yang ditawarkan. Tidak semua generasi milenial melek teknologi. Apalagi dengan keberadaan peserta didik yang berasal dari pedalaman. Kondisi jaringan internet yang tidak memadai memaksa mereka harus ketinggalan proses pembelajaran untuk beberapa kesempatan.

Selama masa pandemi ini, beberapa peserta didik kami harus pulang ke kampung halaman dan melaksanakan PJJ dari sana. Karena sulitnya akses internet, memaksa mereka untuk naik dan turun bukit dalam mencari sinyal internet. Alhasil, hujan deras dan cuaca buruk pernah mereka lalui.

Jika PJJ dilakukan secara virtual dengan memanfatkan beberapa aplikasi video conference yang mengharuskan guru dan peserta didik melaksanakan tatap muka secara daring dalam waktu yang bersamaan,  tentu dapat memepersulit peserta didik yang berada pada daerah tanpa sinyal. Akibatnya, anak menjadi tertekan karena tidak mampu memenuhi tuntutannya sebagai pelajar.

Dampak negatif paling fatal dari metode pembelajaran jarak jauh adalah kecenderungan peserta didik untuk putus sekolah. Keterbatasan komunikasi antara guru dan peserta didik menciptakan jarak yang semakin jauh. Guru tidak mampu lagi mengontrol aktivitas dan pergaulan peserta didik secara penuh. Akibatnya, peserta didik yang merasa jenuh dan kurang motivasi, mengakhiri masa depannya dengan pergi tanpa permisi (putus sekolah).

Sebentar lagi pergantian Tahun Ajaran 2021/2022 akan tiba. Apakah di awal tahun ajaran baru nanti, guru akan tetap mengajar kursi kosong di dalam kelas? Bagaimana dengan nasib anak bangsa yang sudah tertinggal selama 3 semester di belakang? Entahlah. Semoga pandemi segera berakhir!