Filosofi

Goyajat Botaikng Botanok; Upacara Adat Kematian Tingkat Puncak di Kalangan Suku Dayak Kancikgh

Selasa, 9 Agustus 2022, 08:47 WIB
Dibaca 1.122
Goyajat Botaikng Botanok; Upacara Adat Kematian Tingkat Puncak di Kalangan Suku Dayak Kancikgh

Jika seorang tokoh yang sangat dihormati dan pernah memegang berbagai jabatan semasa hidupnya suatu ketika meninggal, maka penatua adat menyampaikan, mengumumkan dan menanyakan kepada ahli waris bahwa jika pihak ahli waris mampu dan berkenan, maka boleh memutuskan untuk mengadakan upacara tingkat penghabisan yang dalam istilah orang Kancikgh disebut “goyajat botaikgh botanok.”

Upacara adat kematian “botaikng botanok”  tersebut dilaksanakan sebagai bentuk penghormatan dan rasa cinta yang besar kepada si almarhum.

Yang harus disiapkan agar upacara goyajat botaikgh botanok dapat terselenggara adalah: 1) sebuah “lancakng” yaitu peti mayat yang dibuat dari kayu tengkawang (atau kayu tertentu sejenisnya) yang dilubangi dan diukir sedemikian rupa); 2) sebatang nisan dan sebatang mpaguk yang dibuat dari kayu belian dan diukir; 3) babi ukuran minimal 2 renti (sekitar 30 kg) dengan jumlah hitungan sebanyak 16 tulang selangka (4 ekor) belum termasuk konsumsi para petugas dan keperluan adat; 4) Tuak secukupnya untuk menjamu seluruh tamu yang hadir; 5) Ayam minimal 16 ekor belum termasuk untuk lauk pauk untuk menjamu seluruh tamu yang hadir; 6) Lemang secukupnya untuk dibagikan per keluarga 1 ruas lemang belum termasuk yang dihidangkan pada saat malam kedua jenazah disemayamkan; 7). Yancak Majoh dan lain-lain yang diperlukan sesuai kondisi dan status almarhum.

Prosesi goyajat dimulai ketika ketika seseorang menghembuskan nafas terakhir ketika penatua adat mengesahkan bahwa orang tersebut sah dinyatakan meninggal. Pada saat yang sama, Kepala Kampung atau penatua adat yang hadir menunjuk seseorang untuk menjadi pemimpin atau imam prosesi upacara adat dan dibantu oleh beberapa orang sebagai pendamping atau imam pembantu. Jenazah kemudian langsung dimandikan, diberi pakaian dan atribut-atribut kematian kemudian disemayamkan di ruang tengah rumah duka. Pagi esoknya, para petugas yang ditunjuk segera mencari, menebang dan mengerjakan batang tengkawang yang akan digunakan sebagai “lancakng” atau peti mati bagi jenazah. Proses membuat lancakng merupakan pekerjaan yang cukup rumit karena lancakng disamping dilubangi secukupnya juga harus diukir dan dilukis sedemikian rupa. Untuk upacara adat tingkat penghabisan, lancakng harus dilengkapi dengan 7 macam replika burung dan binatang “jat” (pertanda hal-hal buruk), 2 pasang selimpak, sepasang taring (Kancikgh; “taikng”) dan sepasang tanduk (Kancikgh; “tanok”). Oleh karena rumitnya pekerjaan membuat lancakng maka tim yang ditunjuk biasanya terdiri dari 16 orang yang terdiri dari 6 orang khusus pembuat dan pengukir badan lancakng, 6 orang pembuat replika burung/binatang “jat”, 2 orang pembuat selimpak, 1 orang pembuat taring dan 1 orang pembuat tanduk. Tidak cukup siang hari, pekerjaan dilanjutkan pada malam hari sampai selesai. Setelah selesai, badan lancakng yang terdiri dari bagian ekor, bagian badan, bagian kepala dan atribut-atributnya dilukis dengan darah bercampur lemak babi dan arang dan diangkut ke ruangan mendekati posisi jenazah. Selanjutnya, sebelum dimasukkan dengan jenazah, bagian dalam lancakng harus diminyaki dengan minyak kelapa yang dicampur dengan  rempah-rempah. Setelah itu imam mempersilahkan para ahli waris untuk mendekat dan memberikan penghormatan terakhir kepada jasad tampak almarhum yang biasanya diiringi dengan tangis histeria. Selang beberapa waktu kemudian, ketawak (sejenis gong) dibunyikan,  pertanda jenazah siap untuk dimasukkan ke dalam lancakng. Imam dan pembantu-pembantunya mengangkat jenazah dari persemayaman dan memasukkannya ke dalam lancakng.

Dalam setiap proses dan perlakuan baik terhadap jenazah maupun terhadap lancakng oleh Imam harus diiringi dengan doa dan mantra yang dimulai dengan 7 hitungan mundur.  Para ahli waris diminta menghamburkan beras ke fisik jenazah sambil mengucapkan rangkaian doa menurut keperluan dan niat masing-masing.

Setelah jenazah terbaring rapi di dalam liang lancakng, peti kemudian ditutup dan diikat dengan rotan sega sebanyak tujuh ikatan, acara dilanjutkan dengan makan minum pobaeh goyajat (tuak, lemang, daging ayam dan daging babi.

Pada malam yang kedua persemayaman tersebut para ahli waris dan petugas yang ditunjuk diminta untuk berjaga semalaman suntuk di sisi peti jenazah sambil makan minum dan mengadakan permainan-permainan khusus ritual goyajat seperti gendang alu, taja ngkuya, dan lain-lain. Menjelang dini hari kaum perempuan dan petugas dapur diminta bangun untuk menyiapkan makan pagi menjelang keberangkatan ke pemakaman dan apabila tidak ada hambatan dan kendala, biasanya jam 10 jenazah sudah bisa diberangkatkan ke pemakaman.

Prosesi pemberangkatan jenazah harus melalui pintu dengan tangga yang dibuat khusus secara simbolik dan dilakukan dengan ritual pemberangkatan dimulai dari moment menurunkan/mengeluarkan peti jenazah dari rumah, memarkirkan peti jenazah di halaman sebagai tanda persiapan keberangkatan dan memberangkatkan jenazah yang dipikul secara bersama-sama oleh petugas dan ahli waris yang ditunjuk. Sebelum berangkat, seseorang yang sudah ditunjuk diminta untuk melepaskan tembakan dari senjata tradisional khas Dayak Kancikgh yaitu sumpit (jaman dahulu) atau senapan lantak (jaman sekarang).

Sesampai di pemakaman, sebelum merapat ke liang lahat, peti jenazah diistirahatkan di tempat khusus untuk dilakukan ritual mandi, berpakaian dan berhias diri (secara simbolik). Selanjutnya peti jenazah dirapatkan ke dekat liang lahat dimana telah disiapkan tempat dan tikar sebagai tempat makan siang menjamu tamu sebayan (roh-roh kerabat almarhum yang telah duluan meninggal). Segala macam menu hidangan yang dimakan pada saat persemayaman di rumah, diambil serba sedikit dan di hidangkan kembali di tempat tersebut. Ritual ini disebut ritual makan mpogat goyajat. Ritual makan mpogat goyajat dipimpin oleh Imam yang dalam mantranya menyapa dan mengajak roh-roh kerabat almarhum yang telah meninggal untuk berkumpul dan makan dan minum bersama di tempat tersebut. Ritual makan mpogat goyajat berlangsung kurang lebih setengah sampai dengan 1 jam untuk selanjutnya peti jenazah diletakkan di atas liang lahat bersangga kayu pertanda akan segera dikebumikan. Kembali Sang Imam tampil untuk memimpin ritual prosesi “ngolaboh lancakng” atau membenamkan lancakng ke dalam tanah. Sebelum lancakng diturunkan ke dasar liang lahat, Sang Imam memberkati dasar liang dengan menaburkan beras sambil membaca mantra. Imam mengundang semua ahli waris untuk mendekat ke liang lahat. Seusai membaca mantra, Sang Imam mempersilahkan para petugas menurunkan lancakng secara perlahan dan hati-hati ke dasar liang lahat, para ahli waris diminta menghamburkan beras sambil mengucapkan doa-doa sesuai niat masing-masing diiringi dengan isak tangis. Beberapa barang seperti pakaian, dan peralatan yang sering dipakai almarhum semasa hidupnya dibawa satu-satu untuk dikuburkan bersama dengan almarhum dan diletakkan di bagian kaki atau disamping peti jenazah almarhum. Setelah semuanya terkemas secara rapi, peti jenazah kemudian di tutup dengan selimut yang sering dipakai ketika almarhum masih hidup. Selanjutnya, peti jenazah ditimbun dengan tanah sampai penuh sehingga menutupi liang lahat. Sebatang nisan dipasang di bagian kepala sedangkan dibagian kaki dipasang sebatang empaguk (patung dari kayu belian berukir kepala manusia). Di bagian kaki tepat didepan empaguk juga ditanam sebuah tempayan sebagai simbol adat yang mengikat pertalian kekerabatan antara almarhum dengan ahli warisnya.

Liang lahat yang berubah menjadi makam tersebut kemudian dipagari dan diberi atap. Selanjutnya beberapa potong pakaian lainnya yang sering digunakan oleh almarhum semasa hidup disimpan dalam tas atau tempat lainnya dan diletakkan di dalam pagar makam. Prosesi pemakaman selesai, selanjutnya acara dilanjutkan di rumah untuk makan bersama. Malamnya Imam dan para petugas kembali berkumpul untuk menerima “nulang dan pitat pongkoras” semacam tanda ucapan terima kasih dari almarhum lewat ahli waris atas terselenggaranya upacara adat goyajat.

Baca juga: Pokok-Pokok Hukum Adat Suku Dayak Kancikgh

Pada hari ketiga setelah pemakaman dilakukan ritual “nyotu pomabo” di rumah duka. Makna dari ritual nyotu pomabo adalah bahwa setelah selesai menjalani masa duka, tiba saatnya bagi ahli waris untuk mengikhlaskan kepergian almarhum dengan mencoba berusaha melepaskan kesedihan. Oleh karena itu, semua atribut dan asesories yang dipakai pada saat persemayaman dan upacara pemakaman dibuang pada hari yang ketiga sebagai simbol melepaskan kesedihan dan kedukaan.

Menurut cerita, tradisi Masyarakat Suku Dayak Kancikgh jaman dahulu setelah hari ketiga pemakaman jenazah, pihak ahli waris melakukan tradisi "ntimuh" atau menuba, yakni menangkap ikan dengan tuba di sungai tempat almarhum biasanya berladang, tradisi itu tidak lagi dilakukan dewasa ini. Siang hari setelah ritual nyotu pomabo itu juga, sebuah bakul ditutupkan ke tunggul tengkawang yang digunakan untuk membuat lancakng, sebagai pertanda bahwa tengkawang tersebut merupakan tengkawang untuk membuat lancakng. Semenjak hari itu, tunggul tengkawang tersebut disebut “pomadak si almarhum.” Untuk beberapa moment tertentu ketika seseorang meninggal pada musim setelah panen namun belum memasuki musim menugal pada siklus tahun selanjutnya, ahli waris harus membuat pondok kecil bagi almarhum di daerah tempat keluarga tersebut biasanya berladang. Pondok kecil itu disebut “dangau baya.” Karena diyakini oleh Orang Kancikgh bahwa walaupun sudah meninggal, roh (semongat/arwah) almarhum masih akan sering mengunjungi ladang keluarga. Dangau baya dibuat agar arwah almarhum tidak beristirahat di pondok tempat istirahat keluarga yang masih hidup. Selang beberapa bulan  berikutnya, sebagai puncak dari pengabdian dan penghormatan ahli waris kepada almarhum, maka di atas makam almarhum dibuatlah sebuah bangunan yang disebut “bangka” yang mengkiaskan rumah permanen bagi almarhum di dunia akhiratnya. Walaupun berada pada alam yang terpisah, namun Orang Kancikgh meyakini bahwa antara orang hidup dan orang mati masih berlangsung hubungan dan sangat mungkin terjadi komunikasi secara spiritual. Jasad/fisik boleh hancur, tapi roh (spirit, energi) adalah kekal adanya.