Filosofi

Jurong: Filosofi Lumbung Dayak Kancikgh, Sekadau Kalbar

Minggu, 7 Februari 2021, 20:40 WIB
Dibaca 2.002
Jurong:  Filosofi Lumbung Dayak Kancikgh, Sekadau Kalbar

Lumbung padi, penyimpanan pangan, simbol kekayaan Dayak Kancikgh, Sekadau, Kalbar. Bukti bahwa nenek moyang penghuni bumi Borneo ini telah arif-bijaksana, sejak berabad silam. Bulog yang kita kenal saat ini, gagasannya, seperti filosofi jurong ini.

Setiap menjelang akhir siklus bercocok tanam padi yaitu ketika pekerjaan memanen padi telah selesai, kita bisa menyaksikan ritual Naik Jurong di kalangan Suku Dayak Kancikgh (termasuk rumpun Bidayuh).

Baca juga: Bouma dan Botanam - Mengenal Sistem Peladangan Dayak Kancikgh (1)

Dalam bahasa setempat disebut “ngongkat inek.” Ritual tersebut merupakan tradisi turun temurun yang masih dilaksanakan sampai saat ini, walaupun sudah mengalami modifikasi dan penyesuaian dengan berkembangnya ritual serupa yang dibawa oleh Gereja Katolik. Prosesi naik jurong pada intinya adalah memindahkan benda-benda ritual ke dalam jurong (lumbung padi) bersama dengan sejumlah tangkai padi terakhir yang diyakini sebagai “inek” atau pusat spiritual dari seluruh padi yang ada di ladang.

Jurong itu sendiri merupakan sebuah bangunan yang dirancang secara unik untuk menyimpan padi hasil berladang, baik hasil tahun berjalan maupun sisa-sisa padi hasil berladang tahun-tahun sebelumnya.

Secara fisik, jurong mirip dengan rumah, beratap daun sagu atau beratap lempengan kayu berlapis, bertiang kayu belian, namun dindingnya harus dibuat dari kulit kayu tertentu seperti tengkawang, atau meranti. Yang membuatnya unik adalah kerangka badan yang dirancang berada di bagian luar, sedangkan dindingnya di bagian dalam. Memiliki teras dan tangga kayu tunggal yang harus diangkat atau dibalikkan pada saat kita pulang dari jurong.

Baca Juga: Rumah Panjang yang Terancam Tinggal Kenangan (1)

Posisi bangunan jurong harus terisolir atau menyendiri artinya tidak boleh terhubung secara fisik dengan bangunan atau benda-benda lain. Pada setiap tiang penyangga dipasang lempengan kayu bundar untuk mencegah agar tikus dan binatang pencuri padi lainnya tidak bisa naik dan bersarang di jurong.

Orang Kancikgh sangat menghormati dan menjaga jurong-jurong mereka. Tidak ada benda-benda atau binatang kotor, tabu dan jorok yang dibolehkan masuk ke dalam jurong. Pada saat upacara naik jurong, yang pertama sekali naik haruslah orang tua yang diberi tugas memimpin ritual. Sang pemimpin naik tangga sambil melafalkan beberapa bait doa dan mantera untuk selanjutnya meletakkan “inek” ke tempat khusus (biasanya ditengah-tengah paling atas tumpukan padi).

Selanjutnya, menghidangkan beberapa jenis bahan makanan dan minuman sebagai sesajian bagi sang “inek.” Setelah selesai dengan ritual memberi makan “inek” barulah sang pemimpin mempersilahkan semua yang hadir untuk menyantap makanan dan minuman yang sudah disediakan oleh pemilik jurong.

Secara filosofis, menyimpan padi di jurong mengandung makna bahwa manusia harus memiliki cadangan makanan pokok yang cukup terutama untuk mengantisipasi jika terjadi gagal panen di tahun-tahun berikutnya.

Padi yang telah disimpan di jurong tidak boleh dijual, karena menjual padi di jurong berarti mempertaruhkan hidup jika terjadi paceklik di masa depan. Mengambil padi di jurong pun harus dengan cara tertentu dengan maksud mengajarkan kepada manusia bahwa kita hidup harus rapi, cermat dan berhemat dalam menggunakan sumber daya yang sangat terbatas. Walaupun hasil panen di suatu tahun siklus berladang kemungkinan tidak cukup untuk menampung kebutuhan pangan tahun berikutnya, padi di jurong tidak boleh dikuras habis.

Paling tidak harus disisakan barang beberapa “takin” (sejenis keranjang) terutama “inek” dan padi yang dicadangkan untuk benih tahun depan. Dengan demikian maka, paling tidak kelangsungan siklus bercocok tanam bisa dipertahankan untuk tahun-tahun yang akan datang.

Kesejahteraan masyarakat, terutama diukur dari jumlah pangan yang masih tersedia ketika menunggu panen berikutnya yang segera akan tiba.

Menjadi tugas bagi kita semua. Terutama generasi muda untuk melestarikan budaya dan tradisi sebagai jati diri masyarakat yang beradat, beradab, dan berbudaya.

Mari mulai. Perubahan berawal dari diri sendiri. Bergulir makin luas, dari sekelompok elit. Anda dan saya orang di dalamnya!

***

Oleh: Matius Jon
Penulis dan Penggiat Budaya, asal Dayak Kancikgh, tinggal di Sekadau, Kalimantan Barat.