Upacara Adat Tolak Bala, Kearifan Lokal Suku Dayak Jawatn Menangkal Pandemi
Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang melanda dunia sepanjang tahun 2020 sampai dengan pertengahan 2021 ini membawa kecemasan yang mendalam bagi seluruh lapisan masyarakat, tidak terkecuali mereka yang termasuk komunitas Masyarakat Adat di berbagai pelosok tanah air. Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah dalam memutus mata rantai penularan COVID-19, diantaranya adalah:
- Melakukan pengawasan terhadap arus keluar masuk warga ke suatu wilayah, baik negara, kawasan, daerah, bahkan sampai ke lingkup yang lebih kecil yaitu RT dan RW;
- Sosialisasi dan operasi penegakkan hukum Protokol Kesehatan 5M (rajin mencuci tangan, selalu menggunakan masker, menjaga jarak, menghindari kerumunan dan membatasi mobilitas); dan
- mempercepat vaksinasi kepada warga masyarakat.
Di tingkat akar rumput, warga yang tergabung dalam beberapa komunitas Masyarakat Adat juga tidak tinggal diam melakukan berbagai upaya yang bersifat kearifan lokal dalam rangka menangkal dan mencegah merebaknya penyakit yang disebabkan oleh virus corona ini, misalnya dengan melakukan upacara "balalak" (Dayak Kanayatn dan Ketungau), "boajat boniant" (Dayak Kancikgh), "tolak bala" (Dayak Jawatn, Sawe, Taman Sekadau dan lain-lain). Inti dari berbagai sebutan upacara adat tersebut adalah menyampaikan permohonan kepada Duata Petara (Sang Pencipta) dan roh leluhur agar memberikan perlindungan bagi warga Masyarakat Adat dari dampak penyebaran wabah yang berpotensi mengancam nyawa manusia. Upacara Adat ini juga lah yang dilakukan oleh Komunitas Masyarakat Adat Suku Dayak Jawatn di Desa Mondi, Kecamatan Sekadau Hulu Kabupaten Sekadau Kalimantan Barat pada Sabtu, 10 Juli 2021.
Di kalangan komunitas Masyarakat Adat Suku Dayak Jawatn itu sendiri, upacara ini dinamakan upacara adat "tolak bala", yaitu upacara adat yang bertujuan disamping untuk mengusir berbagai macam penyakit terutama wabah atau pandemi, juga memohon kepada Duata Petara (Sang Pencipta) dan roh leluhur agar memberikan perlindungan kepada segenap warga dari segala macam bencana baik alam maupun wabah penyakit.
Prosesi upacara tolak bala di kalangan Masyarakat Adat Jawatn dimulai dengan ritual “Nyatuk Pemuang”, yaitu menyapa dan memberikan minuman adat (tuak) kepada roh-roh tak kelihatan yang dilakukan dengan cara “nimak menarak” agar roh-roh tersebut tidak mengganggu kelancaran upacara tolak bala. Tuak-tuak yang telah diisi ke dalam cawan kemudian ditimba (nimak menarak) sedikit menggunakan jari tangan sambil mengucapkan beberapa patah kata mantera dengan tujuan menyapa roh-roh tak kelihatan agar menerima dan menikmati tuak tersebut dan agar upacara yang akan dilaksanakan berjalan dengan lancar.
Baca Juga: Ritual Beajat Suku Dayak Taman Sangke
Setelah nyatuk pemuang, upacara dilanjutkan dengan ritual “madah mantak” yaitu memberi tahu kepada Duata Petara tentang maksud diadakannya upacara tolak bala ini, namun untuk saat ini, bahan-bahan yang dipersyaratkan masih dalam kondisi belum dimasak ("mantak" atau mentah). Ritual madah mantak dipimpin oleh Tua Menteri atau orang tua yang ditunjuk untuk menyampaikan doa dan mantera dalam bahasa Jawatn disebut "pomang buca". Pada ritual madah mantak ini dilakukan juga ritual bekibau menggunakan ayam, yaitu ritual mengucapkan pomang buca sambil mengibas-ngibaskan ayam ke depan hadirin. Setelah ritual bekibau dilanjutkan dengan ritual "jujong sengkolatn" atau pemberkatan menggunakan beras mantak. Setelah itu ayam dan babi langsung disembelih, namun tetes darah pertama yang keluar harus digunakan untuk mereciki beras mantak yang telah tersedia. Selanjutnya, para hadirin diminta menggigit pisau yang digunakan untuk memotong hewan kurban tersebut sambil menandai kening mereka dengan darah sebagai pertanda dan doa agar diberikan kekuatan mental dan semangat dalam menghadapi ancaman penyakit.
Setelah madah mantak, babi dan ayam yang telah disembelih tersebut langsung dikerjakan dan dimasak sesuai dengan cara yang diminta oleh pemimpin ritual. Setelah dimasak, maka dari ayam dan babi tersebut diambil organ-organ tertentunya untuk dijadikan sesajian. Selebihnya dihidangkan kepada hadirin untuk dijadikan sebagai santapan upacara.
Sebelum menyantap hidangan yang telah dimasak tersebut, dilakukan ritual “madah mansak” yaitu memberi tahu kepada Duata Petara dan roh-roh leluhur untuk hadir ikut bersantap bersama hadirin yang ada. Bahan-bahan yang harus tersedia sebagai persyaratan ritual madah mansak adalah:
- Beras 3 mangkok adat (beras komakng mansak);
- Ayam 3 ekor;
- Lemang 3 ruas;
- Tuak 3 botol;
- Telur ayam 3 biji;
- Babi;
- Rajah yang telah dilengkapi dengan bahan-bahan seperti: kain peroca', tuak dalam cangkang telur, ilupm sirih pinang; uang tebusan nyawa;
- Vegetasi obat-obatan tradisional seperti: daun lomba', ngkabut antu, akar malam, unggun kelumpak dan ai' tada' be ulu.
Pemimpin ritual memohon dan meminta kepada Duata Petara melalui simbol atau media yang disebut “rajah” untuk menghadang roh-roh pembawa wabah atau pandemi agar tidak masuk ke kampung dan mengganggu warga, melainkan dipaksa agar berbalik ke asalnya. Oleh karena itu, upacara ini selalu dilakukan di batas kampung atau diluar pintu gerbang masuk kampung. Rajah yang selanjutnya dipanggil sebagai “Raja Alang, Raja Mulang, Raja Penyemongat” adalah segenggam beras komakng mansak yang diperciki dengan darah babi dan darah ayam, disajikan di atas wadah dari tikar pandan. Ke atas beras tersebut diletakkan juga uang penebus jiwa, tuak dalam cangkang telur, umpan makan, dan sirih pinang (ilupm). Rajah kemudian diludahi dengan ampas kunyah sirih pinang, kemudian setiap hadirin yang ada dipersilahkan meludah sembari menolak rajah tersebut dengan kaki kiri. Pada saat yang sama, sang pemimpin ritual tak henti-hentinya mengucapkan doa dan mantera.
Adapun inti dari doa pomang buca yang diucapkan oleh pemimpin ritual terekam dari salah satu kalimat yang berbunyi sebagai berikut:
“Aku minta ke kapm Raja Alang, Raja Mulang, Raja Penyemongat, sumpaya ngalang ngadang pemogi penatang jolu bedama antu Korona nyak, sumpaya bebalit, disuruh pulang ke Nanga, pulang ke daerah asal e, inang ngacau ngeraru bala ensia, terutama kami Iyang Jawatn di Desa Mondi tuk, sumpaya kapm Raja Penyemongat nguat semongat kami iyang Jawatn sekalian, terutama iyang Mondi tuk, baitpun nang tinggal di kampokng, di Sekado, di Pontianak ntah done-done sumpaya ibarat e tih korin bosi korin gak semongat e, hidup sehat dan selamant.”
Setelah pemimpin ritual selesai mengucapkan doa dan manteranya maka para hadirin dipersilahkan menyantap hidangan yang tersedia.
Selesai menyantap hidangan, upacara dilanjutkan dengan “ngantung rancak” yaitu menyajikan bahan-bahan sajian ke dalam sebuah wadah yang dibuat dari anyaman bambu. Wadah yang disebut rancak tersebut kemudian digantung di sebatang bambu yang sengaja ditancap condong ke arah jalan datang. Pada saat itu, pemimpin ritual sekali lagi mengucapkan doa dan mantera agar roh-roh pembawa wabah tersebut berkenan menikmati sajian dan setelahnya agar segera putar balik ke asalnya, sebab jika masuk ke kampung maka mereka akan dihadang oleh “rajah” yang memang sudah di siapkan dan diperintahkan untuk berperang melawan roh pembawa wabah penyakit tersebut.
Tahap terakhir atau penutup dari prosesi Tolak Bala ini adalah ritual “ngobat semongat” atau ritual ngikat semangat yaitu ritual menghimpun, menyatukan dan melindungi seluruh jiwa warga kampung dari ancaman wabah dan pandemi. Sang Pemimpin ritual mengucapkan doa dan mantera yang bertujuan memanggil semua jiwa warga kampung agar bersatu, dikuatkan dan dilindungi dari wabah penyakit yang sedang melanda dunia. Setelah selesai mengucapkan doa dan mantera, sang Pemimpin ritual kemudian menegaskan aturan, kewajiban dan pantang yang harus ditaati oleh warga kampung. Tujuan dari berpantang adalah agar semua jiwa atau semangat yang ada dilingkungan kampung tersebut tidak ada yang tercecer dan terpapar oleh roh pembawa wabah penyakit.
"Bejalan Betungkat Adat, Tidi Bebantal Malu"
"Kuuurrr Semongat."