Budaya

Cerpen| Penantian Yang Sempurna

Rabu, 3 Februari 2021, 06:28 WIB
Dibaca 481
Cerpen| Penantian Yang Sempurna
pic: etalasebintaro.com

Hanya ada satu yang belum dimiliki eksekutif muda bertubuh atletis itu. Satu hal yang dibutuhkan agar hidupnya sempurna.

Bu Retno tidak tinggal diam melihat keadaan anak semata wayangnya. Sebab di usia ke-30 ini Dimas belum juga memiliki pendamping hidup.

Ia teringat Ervina, putri bu Subadio sahabat SMAnya. Kurasa Ervina pantas mendampingi Dimas. Ia cantik dan baru saja lulus dari perguruan tinggi di Inggris, gumamnya

“Dimas masih belum berpikir untuk menikah, Bu. Paling tidak dalam waktu dekat ini,” jawab Dimas saat ibunya menyampaikan keinginannya menjodohkannya dengan Ervina.

Setahun kemudian.

Bu Retno mendengar kabar bahwa Fransiska, putri bu Rahmadi baru saja dinobatkan sebagai putri Indonesia. Kembali keinginannya muncul untuk menjodohkannya dengan Dimas. Suatu hari saat bertemu bu Rahmadi di acara arisan, ia mengutarakan niatnya itu. Bu Rahmadi setuju karena ia sudah mengenal dekat keluarga bu Retno.

“Mohon maaf, Bu.  Dimas masih belum bisa memutuskan. Masih banyak proyek di kantor yang butuh fokus dan perhatian. Apalagi Dimas belum lama menduduki jabatan direktur pemasaran,” dalih Dimas menjawab penawaran ibunya yang ke-2. Bu Retno menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.

“Sampai kapan, Dimas? Usiamu sudah 31. Jangan sampai kamu menjadi perjaka tua, kasihan anak-anakmu nanti.”

“Tenang, Bu. Pada saatnya nanti Dimas akan beritahu.”

Dua tahun kemudian.

“Sudah adakah wanita yang meluluhkan hatimu, Nak?” tanya bu Retno penuh harap.

“Belum ada, Bu.” jawab Dimas singkat.

“Tak adakah teman di kantor yang menarik hatimu? Ibu ingin sekali melihatmu memperkenalkan seorang wanita pujaan hatimu. Siapapun dia, bawalah ke rumah. Barangkali kamu tidak suka jika dijodohkan.”

“Bukan begitu, Bu. Dimas pikir soal jodoh itu soal takdir. Semua akan tiba masanya.”

“Iya, tapi sampai berapa lama? Bagaimana kalau keburu kamu tua? Manusia juga perlu ikhtiar untuk menjemput takdir, Nak.”

“Dimas ingin membahagiakan ibu dulu.”

“Kalau yang kamu maksud bahagia itu materi, ibu sudah sangat bahagia. Kamu sudah cukup membahagiakan Ibumu. Tapi kebahagiaan itu tidak lengkap selagi Ibu masih melihatmu hidup sendiri tanpa pasangan hidup. Hidupmu tak sempurna tanpa itu. Begitu pun kebahagiaan Ibu.”

Dimas terdiam. Ia tak bisa terus menerus menolak keinginan ibunya. Dalam diamnya ia merasa kasihan telah membuat kecewa sang Ibu. Demi menyenangkan hati ibunya, di suatu hari yang tak direncanakan ia membuat kejutan.

“Ibu, ini Lusi, teman kantor Dimas. Lusi, ini ibuku.” Lusi mengulurkan sekumpulan jemari lentiknya. Bu Retno membalas jabat tangan Lusi dengan erat. Gadis berkulit kuning langsat dan berwajah oval itu menyunggingkan senyum manisnya. Senyum yang membuat wajah bu Retno berbinar seolah menemukan kembali anaknya yang telah lama hilang. Bayangan anaknya duduk di pelaminan dalam waktu dekat tetiba terbayang di pelupuk matanya. Bayangan ia memiliki menantu yang akan meramaikan hari-harinya bersama putra semata wayangnya. Juga gelak tawa dan canda bocah-bocah kecil yang selalu dirindukannya.

 “Wah, pinter anak Ibu cari calon istri. Sudah berapa lama pacaran dengan Dimas, Lusi?” tanya bu Retno dengan mengarahkan pandang wajahnya yang sumringah pada gadis yang baru pertama kali diperkenalkan itu. Seolah tak sabar ingin lekas membicarakan hari yang ditunggu-tunggu.

“Ah, Ibu. Lusi teman di kantor. Kami belum pacaran.” jawab Dimas yang membuat Lusi tersipu, karena kenyataannya memang demikian. Dimas membawa Lusi untuk menyenangkan hati ibunya. Lusi hanya teman. Entah nanti.

“Ya, semua berawal dari teman. Tapi kalau kalian cocok mengapa tidak menaikkan status kalian? Ibu tidak sabar ingin segera melihat hidupmu sempurna, Dimas.”

“Dimas mengerti, Bu. Tapi tidak perlu tergesa-gesa. Belum tentu Lusi juga mau menjadi pendamping hidup Dimas.” sambil melirik ke arah Susi.

“Ah, pak Dimas bisa aja.” Lusi malu-malu.

“Bagaimana Lusi? Ibu sangat berharap kamu mau."

“Saya sih tergantung pak Dimas, Bu . Tidak mungkin kan saya memulai.”

“Nah, itu Dimas. Semua tergantung padamu. Sudah, tak perlu berlama-lama. Buat apa pacaran lama-lama. Kamu juga pasti sudah mengenal Lusi seperti apa karena ia teman kantormu. Secepatnya tentukan saja kapan kamu mau melamar!”

“Waduh, Ibu.” Lusi dan Dimas terkejut mendengar kalimat perintah bu Retno yang sudah ngebet ingin melihat anaknya menikah.

Hari terus berganti. Kehadiran Lusi untuk sementara mampu meredam tuntutan-tuntutan yang selama ini membombardir Dimas hampir setiap hari. Tetapi itu tak berlangsung lama. Bu Retno mulai kembali menanyakan hal yang sama. Ia ingin memastikan perkembangan hubungan Dimas dan Lusi semakin serius.

“Jadi kapan kamu mau melamar Lusi, Dimas?”

Dimas makin terdesak dan bingung harus berkata apa. Ia harus memutar otak untuk dapat lepas dari pertanyaan-pertanyaan yang tak ingin segera dijawabnya.

“Dimas dan Lusi sudah pacaran, Bu. Tapi biarkan kami saling menjajagi hubungan ini lebih dulu, agar kami bisa lebih mengenal karakter masing-masing. Dimas rasa itu penting, karena pernikahan ini untuk selamanya. Kami perlu waktu satu atau dua tahun ini untuk dapat memutuskan secara matang.“

“Dimas, sebenarnya apa sih yang harus kamu pikirkan atau kamu siapkan selama itu? Hidupmu sudah mapan, karirmu sudah tinggi. Jodohmu sudah di depan mata. Apa lagi sih? Ibu benar-benar tidak mengerti!” nada bu Retno mulai meninggi.

“Dimas yakin, kelak Ibu akan mengerti.”

Hingga di suatu malam yang telah larut, Dimas tak kunjung pulang, juga tak ada kabar berita.

Bu Retno mencoba menghubungi Dimas via Whatsapp Call. Tetapi nada “panggilan”  tak kunjung berubah menjadi “berdering”. Panggilan telepon tak juga diangkat. Chat Whatsapp tak beranjak dari checklist satu. Ibu Dimas semakin cemas.

Lalu dicobanya menghubungi Lusi. Waktu sudah menunjukkan pukul 02 dini hari. Puji syukur, Lusi menyahut panggilan Whatsappnya.

“Selamat malam, Lusi. Maaf, Ibu terpaksa mengganggumu.”

“Ma.. malam juga, Bu. Gak apa-apa.“ suara Lusi terdengar bergetar.

“Lusi, apa kamu tahu ke mana Dimas sepulang kantor hari ini? Ia belum pulang hingga detik ini. Ia tak mengirim kabar apapun.”

“Oh ya, Bu. Lusi tidak bersama pak Dimas, hari ini. Hanya saja… “ lidah Lusi tercekat.  Ia ragu untuk mengatakan sesuatu tentang Dimas.

“Hanya kenapa, Lusi? Katakan ada apa dengan Dimas!” bu Retno tak sabar ingin mendapat informasi tentang anaknya.

“Sebelumnya mohon maaf, Bu. Kami sudah mencoba menjalani hubungan serius dengan pak Dimas. Buat Lusi, pak Dimas adalah sosok yang sempurna. Pintar, baik, mapan dan tampan. Tetapi ada satu hal yang tidak bisa Lusi terima setelah kejadian yang tak pernah terbersit di pikiran Lusi terjadi malam ini. Dan setelah ini, Lusi tak akan melanjutkan lagi hubungan dengan pak Dimas. Mohon maaf bila Lusi telah mengecewakan Ibu.”

“Oh, Tuhan! Maksudmu apa, Lusi? Ibu sangat berharap kamu secepatnya menikah dengan Dimas. Kamu satu-satunya harapanku saat ini.“ bu Retno semakin tidak mengerti arah pembicaraan Lusi.

“Maaf, Bu. Terpaksa ini Lusi lakukan. Berita tentang pak Dimas sudah viral di media TV maupun media social. Lusi tidak sampai hati untuk mengatakannya pada Ibu.”

“Katakan, Lusi. Ibu siap menerima kabar apapun tentang Dimas.”

“Baik, Bu. Pak Dimas ternyata… penyuka sesama. Ia tertangkap basah aparat saat sedang mengadakan pesta maaf.. pesta seks dengan puluhan pria di sebuah kawasan elit kota Jakarta. Kini ia di Bareskrim. Ibu bisa cek beritanya atau saya kirim linknya.”

“Cukup.. cukup, Lusi.” bagaikan kilat menyambar di siang bolong, berita tentang Dimas membuat hati bu Retno terpukul hebat. "Karma apa yang kautimpakan kepada kami, ya Tuhan...," tetiba air bening mengalir deras membasahi layar handphonenya.

Tak ada yang bisa dilakukan seorang ibu dari anak semata wayang itu, kecuali menguras air matanya hingga menjelang Subuh. Ini air mata terakhirku, Nak. Sempurna sudah kepedihan ini, bisiknya lirih.

***

Depok, 3 Februari 2021