Mengulik Keistimewaan Wayang Kulit dan Jalinan Budaya Antar Pulau (1)
Sebagai orang yang lahir di Jawa, saya mengenal cerita tentang wayang, ketoprak, Jantilan, Reog dan gending – gending dari gamelan. Dari ayah saya dan juga guru saya waktu SD. Wayang kulit terutama yang paling saya suka karena ceritanya dan juga sosok wayangnya yang unik. Wayang bentuknya pipih, terbuat dari kulit kerbau, lalu ditatah menggunakan tatah wayang khusus. Pengerjaan wayang memerlukan ketelitian tingkat tinggi. Sebab akan berpengaruh pada bentuk, filosofinya dan juga pengaruh bayangan di layar yang disorot oleh lampu khusus yang diberi nama Blencong.
Sejarah Lahirnya Wayang Kulit
Sebelum melangkah pada pembahasan detail sketsa wayang, sekilas akan saya singgung tentang sejarah wayang. Menurut beberapa versi sejarah wayang muncul ketika kerajaan Majapahit runtuh sekitar tahun 1478 M. Wayang berkembang di kerajaan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah. Tokoh-tokoh pewayangan diambil dari relief-relief candi dan digambar dengan wayang beber. Seiring waktu wayang digubah dan disempurnakan. Ceritanya diambil dari epos Hindu namun kemudian ketika zaman kerajaan Islam pertama yaitu Demak ceritanya disesuaikan dengan agama Islam supaya tidak bertentangan. Wayang sangat berkaitan dengan kisah dari Sunan Kalijaga yang mengajarkan agama dengan pendekatan budaya.
Wayang pipih mulai dibuat pipih lebih kurang tahun 1520 M, bentuknya dua dimensi dengan bentuk miring. Berbeda dengan relief candi yang cenderung tiga dimensi. Awal mulanya wayang digambar dengan dua warna yaitu hitam dan putih. Warna putih dihasilkan dari tulang yang dibakar dan dijadikan bubuk putih, sedangkan warna hitam dibuat dari oyan.
Baca Juga: Salah Kaprah Budaya "Toleransi"
Pola wayang disesuaikan dengan wayang beber. Pada tahun berikutnya 1521 bentuk wayang disempurnakan, jumlahnya ditambah. Tokoh – tokoh wayang disesuaikan dengan cerita Ramayana dan mahabharata. Wayang kemudian dimainkan oleh dalang semalam suntuk diiringi dengan gamelan.
Tahun terus berlalu dan pakeliran atau wayang kulit mengalami perkembangan. Perkembangan mulai dari bentuk pakeliran, tambahan jumlah wayang. Munculnya bentuk – bentuk gunungan, rampogan, binatang, kera. Kelir yang dibuat dari kain, kotak atau peti penyimpan wayang, dan untuk tancapan wayang yang biasanya menggunakan batang pisang.
Di awal tulisan saya sudah menyinggung tentang Blencong. Blencong adalah sejenis lampu penerang di depan kelir kain warna putih. Dulu Blencong dibuat dari api oncor atau api dari minyak kelapa. Di Zaman modern saat ini blencong sering diganti dengan lampu listrik yang bisa berubah warnanya, disesuaikan dengan adegan wayang kulit. Bayangan wayang yang berlubang- lubang itu akan terpantul lewat layar karena cahaya dari blencong. Penonton bisa menonton dari balik layar.
Wayang mengalami penggubahan sejak zaman Pajang ketika dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya, Kemudian Panembahan Senopati dan Sultan Agung.
Masa Sultan agung bentuk mata disempurnakan dengan munculnya istilah liyepan, dondongan, thelengan. Yang membuat istilah tersebut terkenal dengan sebutan Sastra Gending.
Wayang mengandung kandungan filsafat tinggi. Dari ujung kepala sampai kaki tokoh – tokohnya ada makna dan filsafat yang bisa dijabarkan. Dari topinya atau mahkotanya, bentuk mata, bentuk hidung, warna dari wajahnya, bentuk hiasan dan ragam hias pada baju tokoh wayangnya semuanya bermakna.
Contohnya saja tokoh Gatotkaca Ada istilah khusus di tiap bagiannya misalnya di mahkota atau tepat didahinya diberi nama Jamang Sada sealer(sepucuk Lidi), jamang (mahkota susun)Lungsem, dawala, Tali Garuda, Tempurung Kepala, Praba.
Garuda adalah ragam hias yang ada di ujung belakang Gatotkaca atau melingkar digelungnya. Praba dalam kamus KBBI bisa diartikan cahaya, tetapi dalam ragam hias wayang adalah sebentuk ragam hiasan sayap untuk bisa terbang yang selalu dikenakan oleh tokoh seperti Gatotkaca yang bisa digambarkan dapat terbang. Sedangkan istilah kepala Gatotkaca dinamakan Gelung Sapit Urang Praban.
Itu hanya salah satu contoh keterangan tentang makna ukiran wayang salah satu tokoh, masih ada sekitar 200 tokoh wayang yang bisa diterangkan dengan berbagai istilah dan karakter masing – masing. Jadi betapa luar biasanya karya bangsa Indonesia. Dari wayang sedikit banyak mengenal watak, karakter tokoh – tokoh manusia. Ada yang jahat, ada yang baik, ada yang licik, berwatak baik.
Itulah penggambaran wayang yang kalau diartikan bisa diterjemahkan dengan wayang atau bayangan. Filosofinya adalah sebagai bayangan sifat- sifat manusia. Sebagai manusia tiap orang berbeda sifat dan karakternya. Wayang memotret dan merekam karakter tokohnya untuk dijadikan ajaran untuk menyebarkan agama dengan damai lewat kebudayaan, lewat jalan kesenian.
Maka alangkah sayangnya kebudayaan Indonesia yang sangat dikagumi itu bila tidak dilirik oleh kaum milenial. Jangan sampai wayang di daku oleh negara lain semisal Belanda, Inggris atau Amerika dan Jepang. Di negara sana sudah banyak yang menyukai musik gamelan dan sangat mengagumi karya wayang.
Proses pembuatan wayang butuh kesabaran, ketekunan. Misalnya mewarnai dengan teknik sungging (warna bertumpuk atau bersusun dari yang muda ke warna tua dan sebaliknya. Diperlukan ketelatenan hingga warnanya menjadi sempurna.
Kebudayaan dan relasi antar suku
Wayang adalah produk kebudayaan yang sudah diakui sebagai salah satu warisan budaya non bendawi dari UNESCO. Wayang hanyalah salah satu kekayaan budaya yang bisa menjadi andalan untuk mengharumkan nama bangsa di dunia internasional. Tiap daerah pasti mempunyai kekhasannya sendiri termasuk budaya Kalimantan yang berasal dari suku Dayak. Kuatnya pengaruh kebudayaan Dayak pasti ikut mempengaruhi dengan watak, karakter, tradisi yang mengakar kuat di daerah Kalimantan. Ada benang merahnya ketika berbicara tentang budaya Jawa dan Budaya Kalimantan. Nilai nilai kegotongroyongan dan keramahtamahan menjadi ciri budaya Dayak dan Jawa. Maka banyak orang Jawa di Kalimantan dapat dengan cepat menyesuaikan diri dengan adat suku Dayak.
Saatnya terus menggalang hubungan baik antar suku bangsa Indonesia dengan mengedepankan sikap- sikap toleran, terutama dalam hal ajaran kebaikan yang bisa dilakukan dengan pendekatan budaya,bukan dengan cara pemaksaan kehendak, anarkis dan munculnya sikap radikal sehingga memicu perang dan konflik.
Baca Juga: Eliyas Yesaya: Budayawan Lun Dayeh Serbabisa
Pendekatan budaya memberi ruang luas untuk terjalinnya persatuan dan kesatuan, bukan hanya menelan mentah – mentah berita- berita di media sosial yang kadang disengaja oleh buzzer untuk menajamkan konflik. Maka saya menulis ulasan tentang wayang untuk menjalin komunikasi lewat bahasa kebudayaan yang jauh lebih manusiawi daripada pendekatan politik yang kadang – kadang malah menimbulkan emosi dan kecurigaan.
Semoga dengan kuatnya budaya bangsa semakin mempersatukan bangsa dan berkembang hubungan baik antar suku. Misalnya mengembangkan batik yang sejarahnya dari Jawa dikembangkan dengan ragam hias dari suku dayak. Bisa Jadi Wayang dengan tokoh – tokoh yang berasal dari suku Dayak, Siapa tahu ada yang mau mengembangkannya,
Masih banyak kreatifitas lain yang bisa dikembangkan untuk mempererat hubungan antar pulau, antar suku, ras di Indonesia. Jayalah Indonesia.
Referensi: Buku Wayang Kulit Purwa, klasifikasi, Jenis dan sejarah, Soekatno, BA