Budaya

Mengetuk Pintu Langit

Selasa, 2 Maret 2021, 18:50 WIB
Dibaca 462
Mengetuk Pintu Langit
Kedatangan kita adalah wujud terkabulnya doa mereka (Foto: Johan Wahyudi)

Jam menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Gerimis masih terasa. Mengenakan jaket. Meninggalkan rumahnya.
Suasana sepi. Sepi sekali. Bahkan jangkrik pun enggan bernyanyi. Juga kodok yang biasanya riuh rendah bersahutan. Suasana dingin yang menusuk-nusuk tulang memang makin bikin nyenyak tidur seseorang.

Malam itu ada tiga target. Target pertama adalah seseorang yang sakit menahun. Sudah berkali-kali berobat, tapi tidak kunjung sembuh. Begitu tiba di depan pintu, diketuk, dan diserahkannya sedikit bingkisan.

Target kedua adalah anak yatim. Ayahnya meninggal belum lama. Meninggalkan 6 enam anak Ibunya kerja serabutan. Nyaris tiada penghasilan. Untunglah dua anak yang besar ikut bekerja sebagai pelayan warung. Begitu tiba di rumah target, segera diserahkan sekadar bingkisan tanpa banyak berkata-kata.

Target ketiga adalah janda tua. Manula. Tinggal di gubuk yang sangat sederhana. Sendirian. Ketiga anaknya sudah tinggal di rumah masing-masing. Tinggallah nenek itu sendirian.

"Assalamualaikum" sapa lelaki itu usai mengetuk pintu. Tidak ada sahutan. Ketuk lagi, tidak ada sahutan. Timbullah rasa deg-degan. Ada apa gerangan?
Diberanikannya membuka pintu. Masuk ke rumah. Gelap. Ada sinar redup dari sebuah bilik.

Masuklah lelaki itu. Terlihat ada seorang perempuan yang tergolek lemah.

"Mbah, jenengan nopo gerah?" tanya lelaki itu sambil duduk di samping dipan. (Mbah, apakah Simbah sakit?)

"Jenengan sinten?" jawab nenek itu dengan balik bertanya. (Anda siapa?)

"Menawi sakit, monggo kulo derekke teng dokter" ujar lelaki itu penuh perasaan berkecamuk. Nenek itu terlihat lemah sekali. (Kalo sakit, mari saya antar ke dokter)

"Kulo mboten sakit. Kulo namung dereng mangan sedinten niki" terang nenek itu dengan suara yang nyaris tak terdengar. (Saya tidak sakit. Hanya lapar karena belum makan seharian)

Dengan sigap lelaki itu mengeluarkan sedikit bingkisan. Diambilnya roti. Disuapinya nenek itu. Setelah sedikit lega, lelaki itu mengambil air dari sebuah termos. Nyaris kosong. Tinggal tersisa beberapa teguk. Sisa bingkisan itu ditaruhnya di atas meja.

Tangan keriput itu terasa merajuk. Menahan agar lelaki itu tidak pergi. Ditariknya lelaki itu. Dipeluknya. Lalu, nenek itu berbisik, "Jenengan sinten?"

Lelaki itu tidak menjawab. Hanya mengelus tangan keriput itu. Lalu berpamitan dengan membawa seribu dosa.

***