Budaya

Mungkinkah Sesuatu yang Baik Datang dari Kalimantan?

Jumat, 25 Februari 2022, 20:34 WIB
Dibaca 786
Mungkinkah Sesuatu yang Baik Datang dari Kalimantan?
Salah satu bentuk keramahan yang saya terima dari suku Dayak Uud Danum ketika pertama kali datang di Paroki Ambalau pada tahun 2014. Dokpri.

Ketika mendengar pernyataan Edy Mulyadi (EM) dalam konferensi persnya yang menyebut lokasi tempat ibu kota yang baru sebagai tempat jin buang anak, ditambah lagi oleh Azam Khan yang mengatakan hanya monyet yang mau tinggal di sana, saya langsung teringat dengan salah satu tokoh dalam Kitab Suci.

Natanael namanya. Dikisahkan suatu kali Filipus bertemu dengannya dan berkata: “Kami telah menemukan Dia, yang disebut oleh Musa dalam Kitab Taurat dan oleh para nabi, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazaret.”

Mendengar perkataan Filipus, Natanael langsung mengajukan sebuah pertanyaan sinikal: “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?”

Mendengar pertanyaan Natanael itu, Filipus hanya berkata: “Mari dan lihatlah!”

Nazaret itu hanyalah sebuah kota kecil. Tidak terkenal. Tidak heran kemudian Natanael menjadi sinis ketika mendengar Mesias yang akan datang, yang telah disebut Musa dalam Kitab Taurat dan telah dinubuatkan para nabi, berasal dari Nazaret.

EM cs nampaknya berada seposisi dengan Natanael. Mengetahui bahwa ibu kota yang baru akan dipindahkan ke Kalimantan - sebuah pulau yang dalam benak mereka hanya hutan belantara dan hanya monyet yang mau tinggal di sana – mereka pun memandang rendah dan hina.

Bila hendak dirumuskan seturut pertanyaan Natanael, mereka mau bertanya: “Mungkinkah sesuatu yang baik itu datang dari Kalimantan?”

Sejujurnya, terlalu sukar bagi otak saya untuk menemukan keterkaitan antara penolakan terhadap pemindahan ibu kota ke Kalimantan dengan penghinaan terhadap martabat masyarakat yang hidup di sana.

Pemindahan ibu kota baru ke Kalimantan adalah keputusan pemerintah dan DPR. Bukan kemauan dan keputusan masyarakat Kalimantan. Jangan dikira pemindahan ibu kota ke Kalimantan disambut dengan gegap gempita oleh masyarakat di sana. Termasuk juga oleh masyarakat Dayak yang ada di Kalimantan Timur.

Ada kekhawatiran dan kecemasan yang menyelimuti mereka. Detikborneo.com, 4 Februari 2022, mengangkat berita tentang suku Dayak Balik, suku Dayak asli yang mendiami Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Utara.

Dalam berita tersebut dikatakan kalau suku Dayak Balik sudah tergusur sejak jaman kolonial (Belanda) yang mengeksplorasi tambang minyak di Balikpapan.

Keberadaan mereka makin tergusur ketika pada tahun pada tahun 1907, Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) mendirikan kantor di kota ini, yang kemudian diikuti oleh masuknya investasi dari berbagai perusahaan multinasional.

Perekonomian kota yang tumbuh sangat pesat memancing banyak pendatang ke Balikpapan. Karena para pendatangnya sudah mempunyai bekal pendidikan dan ketrampilan, membuat suku Dayak Balik tergusur ke pesisir Kota Balikpapan hingga Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara,

Pernyataan Deddy Sitorus, anggota DPR dari fraksi PDI-Perjuangan daerah pemilihan Kalimantan Utara, dalam acara Catatan Demokrasi di TV One, semakin menegaskan fakta ketersingkiran masyarakat Dayak.

Pernyataan beliau bahwa pulau Kalimantan selama ini sudah diperkosa selama puluhan tahun; batu baranya diambil, rakyatnya dipinggirkan; hutannya ditebang, rakyaknya diusir, adalah fakta yang kebenarannya takterbantahkan.

Andai saja dalam konferensi persnya EM cs menyinggung isu-isu tersebut, rasanya masyarakat Kalimantan tidak akan keberatan menerimanya. Sebab dengan begitu mereka menyajikan sebuah pemahaman yang tidak hanya membuka ruang diskusi, tapi juga bisa membangkitkan kesadaran kolektif masyarakat Dayak.

Saya pun ingin Bertanya

Dalam kesempatan ini, saya juga ingin mengajukan pertanyaan yang sama. Beda dengan Natanael dan juga EM cs, saya bertanya bukan karena sinis, melainkan lebih sebagai bentuk rasa ingin tahu lebih banyak tentang Kalimantan. Tentang manusia-manusia yang hidup di sana dengan segala kekayaan tradisi dan budayanya.

Sebagai seorang yang lahir dan dibesarkan di tanah Kalimantan, jujur pengenalan saya tentang siapa itu manusia Dayak masih jauh dari lengkap dan sempurna.

Hemat saya, memahami dan menilai suku Dayak – berlaku juga untuk suku-suku lainnya - memang tidak cukup hanya berdasarkan pada “kata orang” saja. Sudah membaca banyak literatur tentang suku Dayak, pun rasanya belum cukup untuk menarik kesimpulan seperti apa dan bagaimana manusia Dayak itu. 

Apalagi bila mengingat kalau suku Dayak yang hidup di bumi Kalimantan itu bukan cuma satu. Ada 7 rumpun suku (Dayak Ngaju, Dayak Apo Kayan, Dayak Iban, Dayak Klemantan, Dayak Murut, Dayak Punan dan Dayak Ot Danum) dan 405 sub-suku.

Oleh karena itu, salah satu jalan terbaik untuk bisa mengenal manusia Dayak ialah hidup bersama-sama dengan mereka. Hal ini tentu saja memerlukan keberanian yang disertai sikap tulus dan rendah hati.

Mengapa diperlukan keberanian?  Sejarah mencatat bahwa pada zaman dahulu pernah hidup tradisi ngayau (pemburuan kepala manusia) dalam suku Dayak. Fakta sejarah ini sudah memunculkan stigma negatif kalau manusia Dayak itu adalah manusia yang barbar. Sehingga muncullah rasa takut dan ngeri setiap kali mendengar kata ‘Dayak’.

Seorang rekan pastor yang berasal dari pulau Jawa pernah mengisahkan kalau dia sempat mengalami rasa takut ketika mendengar pimpinannya menugaskannya ke Kalimantan. Akan tetapi, rasa takut dan segala pikiran negatif tentang Kalimantan menjadi sirna setelah datang di Kalimantan dan hidup bersama-bersama orang Dayak.

Jangan dikira hanya orang luar yang mengalami rasa takut dan ngeri. Saya sendiri sempat mengalaminya ketika kurang lebih selama satu tahun menjalani masa Diakonat (tahap terakhir sebelum ditahbiskan menjadi pastor) di sebuah paroki, yang mana salah satu subsuku Dayak yang ada di situ konon katanya pada zaman dulu suka makan daging manusia.

Meski hal itu terjadi di masa lampau, tetap saja ada rasa takut dan khawatir dalam diri saya. Namun, saya merasa yakin akan diterima oleh umat karena saya datang dengan dan membawa kasih. Bukan perpecahan dan permusuhan.

Suatu kali saya berkunjung ke kampung yang dihuni oleh mayoritas suku bersangkutan. Saya disambut dengan sangat ramah. Setelah selesai mengadakan ibadah bersama di gereja, saya malah diundang untuk menyantap hidangan yang sudah disiapkan oleh umat.

Saya memang tidak percaya pada segala cerita dan stigma negatif tentang manusia Dayak sebelum mengalami sendiri hidup bersama dengan mereka. Pengalaman saya selama menjalani masa Diakonat membuktikan bahwa manusia Dayak itu sejatinya sangat terbuka dan ramah. Tentu saja dengan catatan, mesti ada sikap tulus dan rendah hati ketika bergaul dengan mereka. 

Trisila Hidup Orang Dayak

Dari berkisah tentang “sesuatu yang baik yang datang dari Kalimantan” berdasar pengalaman pribadi, sekarang saya akan menyajikan “sesuatu yang baik” lainnya yang sumbernya berasal dari trisila hidup masyarakat Dayak, yakni Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata.

Merujuk kepada tulisan Dr. Valentinus Saeng dalam buku Kearifan Lokal ~ Pancasila, Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan, trisila itu memiliki makna sebagai berikut:

Adil Ka’ Talino. Artinya, adil terhadap sesama. Prinsip ini mau menegaskan kalau manusia Dayak itu secara hakiki adalah subjek atau diri yang relasional dan sosial. Dengan subjek yang relasional dan sosial mau mengatakan konsep manusia sebagai DIRI yang terbuka, AKU yang berdimensi sosial. Artinya, manusia bukanlah makhluk yang tertutup dalam kesadaran diri yang egois dan individualis.

Bacuramin Ka’ Saruga. Artinya, mengarahkan mata ke surga. Surga merupakan simbol keadilan, kebaikan, kesucian, kebersamaan, tata laku, dan tata pemerintahan yang sempurna. Surga adalah pedoman, rujukan, ukuran dan sekaligus finalitas dari segala sesuatu yang manusia pikirkan dan lakukan selama hidup di dunia. Jadi surga berfungsi sebagai cermin dan harapan akan tata laku dan tata penilaian yang adil, baik, benar, dan sempurna.

Basengat Ka’ Jubata. Artinya, bernapaskan Tuhan yang Mahakuasa. Prinsip ini secara jelas memperlihatkan dimensi transendental hidup manusia dan pengakuan akan Tuhan sebagai sumber kehidupan. Napas hidup yang dimiliki manusia mempunyai asal-usul dari Sang Sumber Hidup sendiri.

Kita melihat betapa kaya dan dalam falsafah yang melandasi hidup bersama masyarakat Dayak. Karena itu, kita bisa memahami kemarahan dalam diri masyarakat Kalimantan Timur dan masyarakat Dayak pada umumnya, ketika ruang tempat mereka hidup dikatakan sebagai tempat jin buang anak. Hanya monyet yang mau tinggal di sana.

Merasa diri dihina, masyarakat Dayak tidak melampiaskan amarah dengan main hakim sendiri. Pun juga kita tidak ada mendengar berita terjadinya perusakan fasilitas umum atau pun bentrok dengan aparat selama aksi atau demo berlangsung. Semua mereka lakukan dengan damai.

Jika demikian, layakkah mereka disamakan atau dikatakan sebagai monyet?

Jadi, mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Kalimantan? Untuk menjawabnya, saya hanya mau mengulang apa yang dikatakan Filipus kepada Natanel: “Mari dan lihatlah!”