Budaya

Mengenal Dayak Mentebah di Kalimantan Barat

Sabtu, 30 Januari 2021, 15:01 WIB
Dibaca 2.199
Mengenal Dayak Mentebah di Kalimantan Barat

Kurang lebih 150-an tahun lalu. Beberapa antropolog telah berusaha untuk mengklasifikasi suku Dayak. Sebut saja beberapa dari mereka ialah Lijnden, J. Dalton, dan O von Kessel. Seperti yang ditulis oleh P. J. Veth, Kessel mencoba mengklasifikasi suku-suku Dayak secara lebih umum. Ia mengklasifikasi berdasarkan perbandingan bahasa-bahasa, cara hidup, adat-istiadat yang berbeda-beda (P.J. Veth, Borneo Bagian Barat: Geografis, Statistis, Historis 1856, jilid 1, terj. Yeri, Pontianak: Institut Dayakologi, 2012, 156-158). 

Menurut Kessel, suku Dayak dapat dibagi menjadi 5 kelompok. Pertama, ras yang dia beri nama “Utara-Barat”. Ras ini berada di daerah utara-barat pulau Kalimantan, di daerah Sadong, Serawak, Sambas, Landak, Tayan, Meliau, dan Sanggau. Kedua, ras Melayu yang merupakan keturunan yang sama dengan orang-orang Melayu namun mereka tidak masuk Islam dan setia kepada agama nenek moyang. Mereka ini berada di Pantau Utara, di Banting, Batang Lupar, Rejang, dan sampai ke timur Brunai, sebagian di daerah bagian Kapuas, di daerah Blitang, Sepau, Sintang (baik di Melawi maupun di Ketunggau), Silat, Suhaid, Salimbau, Piasa, Jongkong, dan Bunut.

Dayak Mentebah adalah kelompok masyarakat yang sebagian besar bermukim di wilayah bagian hulu Sungai Mentebah, Kecamatan Bunut Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu. Umumnya, Dayak Mentebah bermukim di bagian hulu Sungai Mentebah, yaitu di Kampung Karanti, Nanga Payang, Nanga Dua, Landau Pauh, Landau Kaloy, Jakok, Batu Bekulit, dan Kampung Jerihay.

Ketiga, ras Paris. Yang termasuk ras Paris ialah orang-orang Dayak dari pantai timur di sungai-sungai Kutai, Pasir, dan seterusnya. Di Kapuas, ras Paris ini ditemukan di Sei Malo dan Madai. Keempat, Beyaju yang berada di pantai selatan di daerah Banjarmasin. Kelima, Mankentan dan Punan. Mereka ini golongan nomaden dan berada di daerah hulu Kapuas dan Sei. Mohakam serta berbagai daerah lain. Pengklasifikasian Kessel ini terlalu luas sehingga sulit untuk memasukkan suku-suku Dayak secara terperinci. Walaupun demikian pengklasifikasian ini tetap mempunyai bobot tersendiri terutama berkaitan dengan korelasi bahasa, adat istiadat, dan cara hidup zaman itu.

Selain Kessel, Dr. H.J. Malincrodt berpendapat bahwa suku Dayak dapat diklasifikasi menjadi enam rumpun. Enam rumpun itu ialah: Kenya-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Murut, Klemantan dan Punan (Dikutip dari Masri Sareb Putra, “Lukisan yang Hidup tentang “Si Kecil” Memahani Catatan Seorang Misionaris” dalam Herman Josef van Hulten, Catatan Seorang Misionaris Hidupku di Antara Suku Daya, Jakarta: Grasindo, 1992, xiv-xv).

Dari banyak peneliti itu, kami ingin menggunakan penelitian Tjilik Riwut sebagai acuan meskipun terdapat kritik bahwa Riwut belum menuliskan semua suku yang ada di Kalimantan. Aju Dismas mengusulkan agar penelitian Tjilik Riwut dalam buku Maneser Panatau Tatu Hiang perlu ditinjau kembali agar lebih komprehensif konstruktif (Aju Dismas, Sejarah Penjajahan Sosial dan Politik Suku Dayak di Provinsi Kalimantan Barat Era Kolonial Sampai 2017, Pontianak: Dewanti Press, 2018, 36). Halnya karena belum menyebut Dayak Kanayatn, Dayak Bakatik, Dayak Sungkung, Dayak Djongkang, Dayak Bidayuh, Dayak Kaninjal, dan lainnya yang populasinya cukup besar di Provinsi Kalimantan Barat. Tetapi syukurlah bahwa Dayak Mentebah sudah tercatat oleh Riwut yang merupakan pahlawan Dayak yang menulis tentang kehidupan Dayak sendiri.

Berdasarkan penelitian Tjilik Riwut, suku Dayak terbagi dalam 7 suku besar. Ketujuh suku besar itu ialah Ngaju, Apu Kayan, Iban/Heban/Dayak Laut, Klemantan/Dayak Darat, Murut, Punan dan Ot Danum.

Dari 7 suku besar itu, dibagi lagi ke dalam 18 suku. Dari 18 suku itu, dibagi lagi menjadi 405 suku kecil yang tersebar di seluruh Kalimantan (Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun dan Kebudayaan, Jogyakarta: NR Publishing, 2007, hal. 266). Pengelompokan itu berdasarkan pada bahasa dan daerah tempat tinggal.

Menurut Riwut, terdapat dua kelompok Dayak Mentebah yang tercantum dalam penelitiannya. Pertama, Dayak Mentebah yang termasuk dalam suku Dayak Ngaju (Tjilik Riwut, Maneser Panatau Tatu Hiang: Menyelami Kekayaan Leluhur, Palangka Raya: Pusakalima, 2003, 67). Tempat tinggal rumpun Mentebah ini berada di Sungai Murung anak Sungai Barito, Kalimantan Tengah. Mereka berbahasa Mentebah. Kedua, Dayak Mentebah yang tergolong dalam suku Dayak Uud Danum. Suku Dayak Mentebah ini dalam penelitian Riwut terdapat di daerah Mandai, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

Meminjam pola Tjilik Riwut, dalam tatanan pengelompokan Suku Dayak, Suku Dayak Mentebah tergolong dalam suku kekeluargaan. Maksud dari suku kekeluargaan ini ialah Dayak sebagai pokok utama, suku besarnya ialah Uud Danum, Sub suku Dayak Uud Danum sebagai suku kecil dan suku kekeluargaannya ialah Mentebah. Memang dari pengelompokan ini nampaklah bahwa Dayak Mentebah merupakan sub suku Dayak yang tergolong kecil.

Dari sumber lain, suku Dayak Mentebah adalah kelompok masyarakat yang sebagian besar bermukim di wilayah bagian hulu Sungai Mentebah, Kecamatan Bunut Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu. Umumnya, Dayak Mentebah bermukim di bagian hulu Sungai Mentebah, yaitu di Kampung Karanti, Nanga Payang, Nanga Dua, Landau Pauh, Landau Kaloy, Jakok, Batu Bekulit, dan Kampung Jerihay. Suku Dayak Mentebah di Kapuas Hulu oleh para peneliti lain dikelompokkan dalam kelompok sub suku Dayak Suru' dengan istilah Suru’ Mentebah.

Anggapan ini menurut peneliti cukup beralasan. Hal itu ditinjau dari aspek geografis, budaya, serta bahasa kedua kelompok ini banyak memperlihatkan persamaan. Tetapi meskipun demikian, perbedaan dari Mentebah dan Suru’ sangat mencolok. Hal ini akan dilihat dari pembahasan dalam keseluruhan buku ini.

Baca Juga: Yetrie Ludang, Wanita Dayak Profesor Pinang Merah

Selain dari hasil penelitian di atas, terdapat rumpun Mentebah yang berbahasa dan berbudaya Mentebah, di Kabupaten Sintang. Suku Dayak Mentebah terletak di hulu Sungai Melawi, Kecamatan Ambalau yakni di Desa Kepala Jungai, Desa Jengkarang, dan Dusun Jerabe. Dalam Buku Adat dan Hukum Adat Suku Dayak Mentebah Kecamatan Bunut Hulu Kabupaten Kapuas Hulu yang disusun oleh Stepanus Yotam dan Simon Supeno menyatakan bahwa hukum adat itu berlaku di wilayah:

Kecamatan Bunut Hulu yang mencakup Desa Seluap, Desa Nanga Payang, Desa Nanga Dua, Desa Batu Tiga dan Desa Segitak.
Kecamatan Mentebah yang mencakup Desa Suka Maju, Desa Tekalong, Desa Kepala Gurung, Desa Tanjung.
Di daerah Kabupaten Sintang, sungai Melawi yakni Desa Kepala Jungai, Desa Jengkarang dan Dusun Jerabe.
Atau di mana pun berada yang mengakui garis keturunan Dayak Mentebah.

Dari pemaparan di atas jelaslah bahwa Dayak Mentebah berada di wilayah yang terpencar di Kalimantan. Keberadaannya menyebar minimal di Kalimantan Barat yang berada di dua kabupaten yakni Kapuas Hulu dan Sintang. Mengenai adanya penelitian Tjilik Riwut yang menyatakan Mentebah berada di Kalimantan Tengah tidak bisa diabaikan. Namun dalam tulisan ini, bukan berarti mengabaikan kata Mentebah di Kalimantan Tengah tetapi memang karena keterbatasan penulis dan juga mengingat harus dilakukan pembatasan masalah dalam sebuah tulisan. Penulis belum mengetahui apalagi mendalami Mentebah di wilayah itu.

Patut ditambahkan juga bahwa nama Mentebah yang dijadikan nama suku Dayak ini berasal dari nama sungai yang ada di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Sungai Mentebah ini bermuara ke Sungai Bunut yang merupakan anak Sungai Kapuas. Dari sungai Mentebah terdapat beberapa anak sungai lagi seperti Sungai Suruk. Dari sungai Suruk ini terdapat anak sungai Penongon. di sungai Penongon ini terdapat anak sungai bernama Sungai Petikah yang memiliki anak sungai yang bernama sungai Lama. Sungai ini mengalir dari sumber air di Bukit Pesinduk (Salfius Seko dan Aju, Fakta Kekejaman Jepang di Petikah (draf untuk buku belum diterbitkan), 2019, 55-56).

Penamaan Mentebah untuk komunitas Dayak yang ada di sekitar hulu Sungai Mentebah ini tidak terlepas dari pengaruh kolonial. Menurut Tambun Anyang pada umumnya sungai digunakan untuk nama suku dari masyarakat yang bersangkutan (Y.C. Thambun Anyang, Kebudayaan dan Perubahan Daya Taman Kalimantan dalam Arus Modernisasi, Jakarta: Grasindo, 1998, 2) . Pandangan itu disebabkan oleh karena mereka (orang-orang zaman kolonial) sebagai orang luar melihat terdapat bermacam-macam suku yang berbeda. Di samping itu, orang-orang lokal juga kerap memperkenalkan diri mereka dengan menyebut asalnya dari nama sungai.

Macam-macam Dayak Mentebah

Suku Dayak Mentebah dibagi dalam beberapa jenis yakni Mentebah Landau, Mentebah Tinggang Tajak atau biasa disebut Mentebah Majang, dan Mentebah Darat. Mentebah Landau dan Mentebah Tinggang Tajak/Majang diyakini sebagai Mentebah yang awal mulanya berasal dari Keturunan Temenggung Tolang. Temenggung Tolang ini adalah orang yang diyakini sebagai orang pertama dari Suku Dayak Mentebah.

Kampung Mentebah kuno ialah Landau Benit, setelah itu beberapa menyebar ke Mentebah Anak (di daerah Sungai Mentebah hulu), Nanga Dapan (di daerah Sungai Mentebah), Pintau (di daerah Desa Nanga Dua), Jerihai, Batu Bekulit, Nanga Kiyu (Sungai Kaloi) sampai ke Nanga Dua, Kemaang, Jengkarang, Nono, Jungai, dan beberapa tempat lain di Kapuas Hulu yang sudah tidak ada penghuni hingga sekarang.

Kampung Jerihai menjadi tempat terbanyak dari Mentebah Landau. Sedangkan Mentebah Majang berada di daerah Sungai Tebahung dan beberapa tempat lain seperti kampung Kemaang, Sungai Saput, dan Nanga Matak yang berada di Kapuas Hulu yang sekarang tidak ada yang mendiami tempat itu. Sedangkan Mentebah Darat ialah Mentebah yang menempati kampung Karanti, Jakok, dan beberapa tempat lain di sekitar Sungai Mentebah.

Baca Juga: Dayak dan Kalimantan jadi Inspirasi Film-film Hollywood

Salah satu perbedaaan mencolok antara Mentebah Landau dan Majang terletak pada logat bahasa. Bahasa Dayak Mentebah Majang lebih cepat dibandingkan dengan bahasa Mentebah Landau. Selain itu, menurut kisah beberapa orang tua, Mentebah Majang pernah dipimpin oleh seorang sakti yang bernama Singa Macan Udak Ongak. Dia adalah pemimpin Dayak Mentebah sakti yang mengepalai suku Mentebah di daerah Kemaang. Sedangkan Mentebah Landau dipimpin oleh Pangeran Ucak. Pangeran ini adalah seorang Melayu yang tinggal di daerah Jerihai lalu menjadi seorang Dayak Mentebah.

Penyebaran Dayak Mentebah berdasarkan cerita para orang tua didasarkan pada pengayauan dan penjajahan zaman dahulu. Salah satu kisah yang masih tersisa ialah tentang Dayak Mentebah yang diserang oleh orang Kayan di Tebidah. Ceritanya selama tiga tahun, suku Dayak Mentebah di Tebahung diserang. Karena tidak tahan, Dayak Mentebah di Tebahung menyatukan diri di Sungai Mentebah bersama dengan Dayak Mentebah Landau.

Pengintaian oleh Dayak di Tebidah kepada orang Mentebah kala itu dipimpin oleh seorang yang bernama Tingang Puai. Mereka mengejar seorang sakti Dayak Mentebah yang bernama Singa Macan Udak Ongak.

Dia adalah orang sakti yang berusaha ditembak menggunakan temuras (senjata sejenis senapan yang diisi menggunakan batu jala dan senawa). Namun mereka tidak dapat membunuhnya. Kekacauan itu membuat sebagian besar Dayak Mentebah mencari aman di tempat yang jauh dan lebih pedalaman.

Penyebaran ke daerah Melawi

Di awal penulis mengatakan bahwa di daerah Kabupaten Sintang, terdapat juga Suku Dayak Mentebah. Penyebaran suku Dayak Mentebah yang awalnya berada di daerah Kapuas Hulu hingga menuju daerah Kabupaten Sintang mempunyai berbagai kisah. Dari banyak kisah, ada dua kisah yang dapat menjadi alasan kuat mengapa suku Dayak Mentebah berpencar. Pertama, pengaruh zaman ngayau (berburu kepala) seperti yang telah disinggung di atas. Zaman ini membuat beberapa suku Mentebah mencari tempat aman sehingga tidak diserang oleh pihak lain. Beberapa orang tua berkisah bahwa suku Dayak Mentebah tidak termasuk suku yang mengayau. Suku ini hanya mempertahankan diri dari serangan atau bisa saja hanya membalas ngayau terhadap mereka yang lebih dahulu menyerang.

Alasan kedua ialah adanya penjajahan kolonial. Zaman Belanda dan Jepang membuat beberapa kelompok Dayak Mentebah harus melarikan diri dan mencari tempat baru agar bisa bertahan hidup. Penjajahan Jepang merupakan alasan kuat orang Dayak Mentebah berpencar. Apa yang menjadi penyebabnya?

Era penjajahan Jepang, Petikah, sebuah wilayah yang berada di sekitar Dayak Mentebah yang ada di Kapuas Hulu menjadi tempat romusa (kerja paksa). Selama berpuluh tahun Petikah hanya sebuah legenda. Generasi muda mendengar kisah-kisah di Petikah hanya sebagai mitos. Namun, setelah melalui penelitian ilmiah, Petikah adalah tempat sejarah yang bisu dan belum terungkap (Penelitian tentang Petikah ini dibahas oleh Salfius Seko dan Aju dalam buku Fakta Kekejaman Jepang di Petikah, 2019. Penulis membaca draf lengkap dari penelitian ini).

Di Petikah, banyak orang diperkerjakan secara paksa tanpa gaji. Mereka dipaksa untuk mengambil kekayaan alam khususnya batu sinabar. Dalam penelitian Seko dan Aju, Simon Supeno yang menjadi narasumber mengungkapkan bahwa para pekerja di Petikah tidak hanya dari warga dan suku setempat, tapi dari berbagai suku yang ada. Kisah pedih ini dikenang oleh Supeno katanya, "Sejarah itulah yang harus kita kenang betapa menderitanya saat itu kakek bahkan mungkin keluarga kita, karena di lokasi tambang itu bukan hanya warga Kapuas Hulu, namun dari berbagai suku di Indonesia diculik dan dipaksa bekerja tanpa gaji.” (Salfius Seko dan Aju dalam buku Fakta Kekejaman Jepang di Petikah, 2019).

Buku “Fakta Kekejaman Jepang di Petikah” mengisahkan tindak kejahatan kemanusiaan militer Jepang kepada 2.500 - 3.000 romusha (pekerja paksa) dan jugun ianfu (budak seks) di pertambangan batu cinnabar atau batu tungau di Sungai Petikah, sebagai bahan baku detonator peledak bom. Peristiwa ini terjadi tahun 1942 – 1945 (Aju, “Hantu Romusha di Sungai Petikah” https://independensi.com/2019/11/19/hantu-romusha-di-sungai-petikah/ diakses 21 Januari 2020, pkl. 13.18.)

Berdasarkan buku yang sama, tidak kurang dari 1.000 orang romusha dan jugun ianfu dari seluruh Indonesia meninggal dunia. Mereka dikuburkan secara massal di Sungai Petikah dalam rentang waktu tahun 1942 – 1945, akibat tindak kekerasan militer Jepang, serangan berbagai penyakit, perkelahian antar sesama, sanitasi lingkungan buruk, dan kurangnya pasokan makanan.

da

Baca Juga: ITKK, Perguruan Tinggi Pertama di Borneo dengan nama Dayak

Menurut beberapa kisah, orang Dayak Mentebah banyak yang menjadi korban di Petikah. Ketidakmampuan untuk tinggal di daerah kerja paksa, itulah yang menyebabkan mereka berpencar dan menyusuri sungai Penongon hingga Batu Bekulit lalu mendaki Bukit Madi sampai di Sungai Jengkarang (anak sungai Melawi). Setelah bertahan di Jengkarang sekian lama mereka terus menerus berpencar hingga ke Nono (kampung yang tidak ada penghuni lagi saat ini) dan ke Jerabe (Jerabe kini penduduknya disatukan dengan Jengkarang), Jengkarang hingga ke Kepala Jungai.

Pelarian dari penjajahan memaksa untuk hidup menetap di tempat yang sesuai dan tidak kembali meskipun sudah merdeka. Hal ini karena di tempat yang baru mereka berladang dan mendapat padi. Tanah subur, air bersih, udara segar, makanan melimpah ruah dari alam.

Kisah di Jengkarang menarik disebut di sini. Ada tiga temenggung yang sangat terkenal dalam waktu yang kurang lebih bersamaan. Ketiga temenggung itu adalah Temenggung Malik, Temenggung Kandang, dan Temenggung Anom.

Temenggung Malik berkuasa atas kelompok Mentebah yang berada di Nanga Jengkarang. Temenggung Kandang berkuasa atas kelompok yang ada di Tanjung Jengkarang. Sedangkan Temenggung Anom berkuasa atas kelompok yang ada di Sungai Melawi yang di seberang Nanga Jengkarang. Temenggung-temenggung ini dikenal karena kesaktian dan kekuatan mereka dalam membela suku Dayak Mentebah dalam pelarian terhadap bahaya, pengayauan dan penjajahan. Selain itu, mereka dikenang karena mengkoordinir membangun rumah betang di Jengkarang dan melakukan acara ngantung kereja (upacara penghormatan nenek moyang yang telah meninggal) secara besar-besaran.

Dayak Mentebah kini di mana pun berada masih dalam tahap pendalaman identitas diri. Semangat kesatuan dan kebersamaan terus dirajut meskipun berada di tempat yang berbeda-beda. Kunjungan kekeluargaan rutin dilakukan satu dengan yang lainnya. Pergeseran budaya akibat pengaruh budaya sekitar tidak dapat dipungkiri. Meski demikian, pendokumentasian yang pelan-pelan dilakukan dapat memantik jejak dan kekhasan yang kian hari kian benderang.*)

Deodatus Kolek,
Penulis Dayak Mentebah di Kepala Jungai, Ambalau- Sintang, Kalbar.