Orang Mapnan Hulu Kelai
Kebanyakan dari kita menyebut orang-orang di pedalaman Kalimantan sebagai Orang Dayak. Atau kalau kita sudah mempunyai sedikit pengetahuan tentang Dayak, kita bisa sebutkan beberapa suku yang disebut Dayak tersebut; seperti misalnya Iban, Kaharingan, Kahayan, Lundayeh dan Punan. Hampir tidak ada dari kita yang tahu bahwa banyak suku-suku yang dibilang sebagai Orang Dayak yang tersebar di pedalaman Kalimantan, mempunyai nama suku versi mereka sendiri. Seperti misalnya Orang Wehea di Nehas Liah Bing, Orang Ga’ai di Hulu Sungai Segah dan Orang Mapnan di Hulu Sungai Kelay. Pada umumnya mereka disebut sebagai Orang Punan. Namun mereka sendiri tidak mau disebut sebagai orang Punan. Sebab sebutan Punan adalah sebutan yang dipakai oleh para antropolog untuk mengelompokkan penduduk yang masih nomad yang tersebar di pedalaman dalam kelompok-kelompok kecil dan tidak saling berhubungan.
Menyusuri Sungai Kelay dari Kampung Long Gie ke hulu sampai Long Suluy, dengan menggunakan ketinting 10 PK, memerlukan waktu kurang-lebih 11 jam. Sepanjang perjalanan ini kita melewati kampung-kampung Orang Mapnan. Kira-kira 2 jam perjalanan dari Long Gie ada kampung bernama Long Duhung. Dua jam berikutnya adalah Kampung Long Boy dan berturut-turut diatasnya adalah Long Lamcin, Long Ngui Kian dan akhirnya kampung yang paling hulu adalah Long Suluy. Semua kampung yang saya sebutkan diatas, kecuali Long Gie dihuni hampir 100% Orang Mapnan. Sedangkan Kampung Long Gie hanya kira-kira 50% penduduknya Orang Mapnan, selebihnya adalah Orang Kenyah, transmigran dari Jawa dan beberapa dari pulau-pulau di timur.
Saya mengenal mereka sejak kira-kira tahun 2004 yang lalu. Sejak awal saya selalu menyebut mereka sebagai Orang Punan. Baru setelah beberapa kunjungan saya tahu bahwa mereka sebenarnya tidak suka disebut sebagai orang Punan. Karena menurut mereka Orang Punan tidak pernah ada. Mereka menduga bahwa orang Eropa yang dulu masuk ke pedalaman kesulitan menyebut Mapnan, sehingga mengucapkannya Punan.
Banyak orang yang menyamakan Orang Punan dengan Orang Dayak. Namun Holmsen dan Karafet (Katherine Holmsen: OUT OF THE FOREST AND INTO THE MARKET: SOCIAL AND ECONOMIC TRANSFORMATIONS IN A BORNEAN FORAGING SOCIETY; Department Of Anthropology The University Of Arizona, 2006; halaman 28), menyebutkan bahwa secara genetik Orang Punan berbeda dari suku-suku Dayak lain yang sudah berbudaya pertanian. Mereka mungkin berasal dari penduduk yang menghuni pedalaman Kalimantan jauh sebelum migrasi dari utara terjadi.
Menurut penuturan mereka, Orang Mapnan berasal dari hulu Sungai Kelay. Adalah Pohon Durian yang menurunkan nenek moyang mereka. Manusia laki-laki dan manusia perempuan. Mereka melihat burung yang berkelamin, mereka pun menirunya dan akhirnya berkembang menjadi Orang Mapnan. Begitulah cerita mereka tentang asal usul mereka. Mula-mula mereka mempunyai tempat berkumpul di Long Pelay Lama. Tempat berkumpul ini bisa dibilang kampung. Namun sebenarnya mereka hanya bertemu kurang dari tiga bulan setahunnya. Waktu-waktu lain dihabiskan di dalam hutan. Perilaku yang demikian masih terus berlangsung sampai awal tahun 1950-an. Saat mereka pindah ke Long Payan, kampung yang lebih hilir, mereka mulai membangun rumah yang menetap, meski waktu ke hutan masih tetap sekitar sembilan bulan. Sekitar tahun 1960, mereka memecah menjadi tiga kelompok besar, yaitu Long Suluy, Long Pelay dan Long Duhung. Long Suluy selanjutnya menjadi Long Suluy dan Long Ngui Kian, sedangkan Long Pelay menjadi Long Lamcin, Long Lamjan dan Long Boy. Dan Long Duhung tetap menjadi Kampung Long Duhung meski sudah pindah ke hilir. Pada saat mereka pindah lokasi, nama kampung asal tetap mereka bawa. Seperti misalnya Long Pelay, meski sudah pindah ke Long Lamjan, mereka masih memakai nama Long Pelay sebagai nama resmi kampung mereka.
Bang Delay
Pada jaman kerajaan Sambaliung, Orang Mapnan dikenal sebagai serdadu yang tangguh. Mereka, selain dijadikan budak, dijadikan serdadu untuk melawan suku-suku Dayak lainnya. Kemampuan mereka untuk mengayau membuat mereka dijadikan serdadu. Salah satu tokoh yang dianggap pahlawan oleh mereka bernama Bang Delay. Dalam kisahnya, Bang Delay berhasil melawan 150 serdadu yang menyerang Kampung Long Pelay Lama. Kampung tersebut diserang untuk menangkap penduduknya yang akan dijadikan budak. Namun Bang Delay, sang serdadu, berhasil mempertahankan kampung tersebut dan bahkan membunuh 150 serdadu yang menyerangnya.
Membuat rumah
Dahulu kala, orang Mapnan hidup di hutan dalam rombongan lima-enam keluarga. Mereka bergerak mengikuti pergerakan babi dan perkembangan pohon buah. Cara mereka membuat tempat berteduh ditentukan berapa lama mereka akan tinggal. Saat mereka berhenti untuk kurang dari seminggu, mereka hanya membangun dinding miring dari tajak kayu yang dipasangi dengan daun-daun nipah. Jika mereka bertujuan untuk menetap lebih lama, mereka akan membuat bangunan beratap daun nipah yang dianyam dan memasang dinding dari kulit kayu Dngah (meranti kuning). Kulit kayu meranti kuning tahan bertahun-tahun sebagai dinding. Mereka menebang kayu meranti, mengambil kulitnya untuk dinding dan membiarkan kayunya lapuk di hutan.
Perjodohan dan pernikahan
Dahulu mereka dijodohkan sejak masih kecil. Biasanya mereka dijodohkan dengan kelompok yang berbeda. Jika sudah waktunya untuk dinikahkan, keluarga lelaki akan datang dengan membawa sumpit. Upacara dilakukan dengan meletakkan parang yang ditutup dengan kain putih, diatasnya diletakkan dua daun yang baru saja dipetik, dan alat pendulang emas. Jika besoknya daun tersebut layu, maka upacara pernikahan bisa dilanjutkan. Namun apabila tidak layu, maka mereka tidak berjodoh dan upacara pernikahan tidak dilanjutkan. Selanjutnya mempelai laki-laki disandingkan dengan mempelai perempuan. Mempelai laki-laki membawa sumpit dan mempelai perempuan membawa bubu (untuk mencari ikan). Setelah upacara selesai, mereka harus masuk kamar dengan tikar yang sudah disediakan oleh pihak keluarga mempelai perempuan. Namun saat ini perjodohan oleh orangtua sudah tidak berlaku lagi. Mereka sudah memilih pasangannya masing-masing. (Man, Ding dan Boaz, Long Pelay)
Namun semenjak mereka memeluk Agama Kristen, upacara pernikahan mereka menjadi sangat simpel. Kedua mempelai menuju altar, didoakan pendeta dan resmi jadi suami istri.
Hukum perzinahan
Peraturan tentang perzinahan sudah dikenal oleh Orang Mapnan sejak mereka masih berkelana di hutan. Jika ada yang berzinah, si laki-laki harus pergi berperang, meninggalkan kelompoknya. Jika mereka berhasil hidup, maka si lelaki tersebut akan diterima kembali. Namun kebanyakan dari mereka mati. Sedang si perempuan harus menebus kesalahannya dengan menyerahkan bumbung bambu yang penuh berisi emas. Jika si perempuan belum mampu mengumpulkan emas untuk memenuhi bumbung bambu, ia tidak diperkenankan kembali kepada kelompoknya. Kebanyakan dari perempuan tersebut tidak mampu memenuhi denda adat tersebut, dan tinggal terpisah sendirian di hutan sepanjang sisa hidupnya. (Boaz, Long Pelay)
Binatang-binatang penting orang Mapnan
Anjing: sebagai alat berburu.
Babi: makanan. Selain sebagai makanan, dahulu kala, sebelum mereka mengenal Agama Kristen, mereka memakai babi untuk meramal masa depan dengan cara melihat hatinya. Tetua adat akan menyelenggarakan upacara untuk menyembelih babi yang sudah disiapkan sebelumnya. Dengan melihat ciri-ciri hati babi yang disembelih, ketua adat bisa mengetahui masa depan mereka. Jika dirasa masa depan akan jelek di tempat mereka tinggal, mereka akan segera pindah.
Burung bence: jika muncul saat akan berburu ke hutan, maka rencana berburu harus dibatalkan.
Labi-labi (Kura-kura): makanan yang paling enak, terutama telurnya.
Rusa: makanan.
Ikan (berbagai jenis; yang paling terkenal adalah ikan SAPAN, sejenis arwana perak): makanan.
Beruang: makanan. Beruang juga dianggap sebagai binatang yang paling ganas dan berani melawan manusia. Beruang juga adalah pesaing mereka sebagai pemangsa buah-buahan.
Monyet: makanan. Monyet adalah pesaing untuk mendapatkan buah-buahan.
Upacara dan kesenian
Orang Mapnan mempunyai berbagai kesenian dan upacara. Berikut adalah beberapa diantaranya:
Wak Yok (Suara Monyet). Orang Mapnan menirukan suara monyet untuk mengundang binatang buruan, khususnya babi dan rusa. Mereka mengerti suara monyet yang sedang memakan buah. Pada saat monyet makan, biasanya sisa buah dan biji akan dilemparkan ke bawah dan dimakan oleh binatang lain. Suara monyet tersebutlah yang ditirukan oleh mereka untuk mengundang binatang buruan.
Sei Guu’k (air buah; upacara memanggil babi dan buah). Orang Mapnan melakukan upacara memanggil binatang buruan dan buah sebelum mereka masuk ke hutan. Dengan upacara ini mereka memanggil binatang buruan dan pohon buah untuk mendekat kepada mereka. Upacara ini sudah dilarang oleh Gereja saat ini, karena dianggap menggunakan kekuatan magis untuk melakukannya.
Jiek adalah menyanyi bersama untuk menyambut kemenangan.
Ngenai adalah menyanyi untuk menyatakan kegembiraan. Jika mereka mendapat tamu dan merasa senang, maka mereka akan menyanyi bersama sepanjang malam untuk menyatakan kegembiraannya. Jenis nyanyian Ngenai bermacam-macam, sesuai dengan waktu. Pada saat sore nyanyian berirama lambat, namun semakin malam semakin cepat. Irama yang cepat dipilih untuk mengusir kantuk. Nyanyian ngenai biasanya berhubungan dengan kisah apa saja yang terjadi di hutan; seperti misalnya kisah beruang, buah dan monyet.
Menjadi Kristen
Orang Mapnan baru menjadi Kristen sekitar tahun 70-an. Sebelumnya mereka sudah mengenal agama Islam. Pada saat Kerajaan Sambaliung, Sultan sudah pernah meminta mereka untuk menjadi Islam. Namun mereka tidak mau, karena Islam melarang mereka makan babi. Padahal babi adalah makanan utama mereka.
Pada tahun 1957, seorang pendeta keturunan Bali (Pendeta Putu) menginjili mereka. Namun mereka belum mau menerima kekristenan. Baru pada tahun 1975, ketika seorang pendeta Dayak dari Kerayan menemui mereka, mereka menerima untuk memeluk agama Kristen. Sampai saat ini Orang Mapnan hampir 100% memeluk Agama Kristen dan bergabung dalam Gereja Kemah Injili Indonesia (GKII). Sejak saat itulah mereka memakai nama-nama Kristen. Mereka juga mulai meninggalkan kegiatan-kegiatan yang berbau magis, seperti mengayau, memanggil binatang dan pohon buah dengan kekuatan magis. (Sumber informasi: Dolof Ding, Long Pelay)
Penamaan anak
Orang Mapnan memberi nama pada anaknya sesuai dengan benda terdekat pada saat anaknya lahir, seperti nama buah, air, sungai dan pohon. Nama Manm yang berarti batas, diberikan pada anak yang lahir di dekat batas kampung. Namun saat ini mereka sudah menambah nama Kristen di depan nama aslinya, seperti Daud Ngui, Dolof (Adlof) Ding, Eliaz Guying, Yakob Legiu, Debora M’nung, dan sebagainya. Bahkan akhir-akhir ini nama Jawa seperti Irawati, Sriwati, Juprianto dan Dewi sudah mulai umum dipakai.
Demikianlah beberapa informasi yang saya kumpulkan selama saya berinteraksi dengan Orang Mapnan Hulu Kelay dari tahun 2004-2009.
[1] Katherine Holmsen: OUT OF THE FOREST AND INTO THE MARKET: SOCIAL AND ECONOMIC TRANSFORMATIONS IN A BORNEAN FORAGING SOCIETY; Department Of Anthropology The University Of Arizona, 2006; halaman 28