Budaya

Planet Ambaw, Catatan Tentang Tidung Dalam Sebuah Masa

Selasa, 23 Februari 2021, 08:20 WIB
Dibaca 1.102
Planet Ambaw, Catatan Tentang Tidung Dalam Sebuah Masa
Planet Ambaw

Judul: Planet Ambaw – Perjalanan Menembus Batas

Penulis: Muhamad Nour

Tahun Terbit: 2021

Penerbit: LovRinz Publishing                                                                                 

Tebal: vi + 71

ISBN: 978-623-289-694-9

 

Harus diakui bahwa sejarah dan kebudayaan Kalimantan sangat sedikit ditulis. Padahal wilayah Kalimantan memegang peran yang tak kalah pentingnya dibanding dengan Jawa, Sumatra dan Sulawesi (Selatan). Peradaban awal di Negeri Bawah Angin (meminjam istilah yang dipakai oleh Anthony Reid untuk kawasan Asia Tenggara) sudah terjadi di Kalimantan di awal era perdagangan laut. Namun sepertinya para peneliti Belanda maupun cendekiawan Indonesia lebih tertarik untuk mendokumentasikan sejarah dan kebudayaan Jawa, Sumatra dan Sulawesi (Selatan). Kita bisa mendapatkan informasi tentang sejarah besar, tokoh-tokoh, peristiwa-peristiwa di ketiga wilayah tersebut. Bahkan folklore dari ketiga wilayah tersebut dengan mudah kita dapatkan. Namun kita sangat kesulitan untuk mendapatkan informasi dari pulau terbesar ketiga di dunia ini. Kalimantan.

Untunglah kesadaran para cendekiawan lokal Kalimantan untuk mendokumentasikan sejarah dan budayanya sangat kuat akhir-akhir ini. Sejak ada Lembaga Dayakologi, pengetahuan kita tentang Kalimantan, khususnya etnis Dayak berkembang cukup pesat. Sayang sekali cakupan studinya kebanyakan baru dari wilayah Kalimantan Barat dan sedikit Kalimantan Tengah. Sangat sedikit informasi tentang Kalimantan Timur, apalagi Kalimantan Utara yang baru lahir. Setidaknya demikianlah yang saya pahami sebagai seorang penggemar sejarah dan budaya Nusantara.

Buku kecil karya Muhamad Nour ini adalah salah satu upaya dari generasi cendekia asli Kalimantan dalam mendokumentasikan sejarah dan budayanya. Muhamad Nour memilih memperkenalkan Tidung, sebuah suku yang menempati Kalimantan Bagian Utara. Harus diakui, suku Tidung kurang dikenal oleh masyarakat Indonesia. Kita terkaget-kaget ketika pakaian adat Suku Tidung dipilih oleh Pemerintah untuk dijadikan gambar di pecahan Rp. 75.000. Ada yang memprotes Pemerintah dianggap menggunakan pakaian adat negeri Tiongkok. Kasus tersebut jelas menunjukkan betapa kurangnya informasi tentang suku yang mendiami wilayah Kalimantan bagian utara ini.

Nour memuat 38 tulisan pendek yang dibagi ke dalam tiga bab. Ketiga bab tersebut adalah: 1. Bangsa Tidung, 2. Masa Kecil, dan 3. Cerita di Rantau. Muhamad Nour memasukkan Tidung sebagai bagian dari suku Dayak. Meski orang Tidung beragama Islam tetapi, Nour lebih suka menggolongkannya sebagai bagian dari Dayak daripada menyebutnya Melayu. Setelah serba sedikit mengulik tentang Tidung dan asal-usulnya, Nour menjelaskan sebelas hantu orang Tidung.

Bagi saya hantu selalu berhubungan dengan hal-hal berbahaya, baik yang disebabkan oleh alam, binatang buas maupun situasi social. Beberapa hantu yang dijelaskan oleh Nour dalam buku ini berhubungan dengan hutan, laut dan binatang buas. Sebagai sebuah suku yang tinggal di tepi laut dan berhutan lebat yang banyak binatang buasnya, ternyata hantu-hantu dalam tradisi Tidung berhubungan dengan laut dan hutan. Meski demikian ada juga hantu yang dikenal secara nasional, seperti halnya puntianak (kuntilanak).

Bagian kedua buku ini sungguh sangat menarik. Nour menjelaskan kehidupan masa kecilnya. Dokumentasi masa kecilnya adalah catatan tentang era Orde Baru di wilayah Kalimantan Bagian Utara. Muhamad Nour lahir dan besar pada era Orde Baru. Ia menjelaskan bagaimana proses masuk sekolah, apa yang dipakukan dan dipelajari di sekolah sampai dengan lulus SMA. Ia merasakan berkembangnya akses pendidikan yang menjadi program andalan Orde Baru di awal tahun 1970-an.

Itulah sebabnya Nour bisa berpindah-pindah sekolah. Saat SD ia diajar oleh guru-guru yang berasal dari berbagai wilayah Indonesia, pemakaian seragam sekolah dan lomba-lomba cerdas cermat dan Upacara Bendera. Hal ini tentu saja berhubungan dengan program pengadaan guru di era Orde Baru yang memanfaatkan boom minyak bumi.

Selain mengisahkan tentang persekolahan di masa kecilnya, Nour juga mengisahkan betapa masa kecilnya masih sangat erat berhubungan dengan alam. Ia berkisah tentang buah cempedak yang baunya mengusik kawan perempuannya. Ia juga berkisah tentang kepiting. Ia juga berkisah tentang tentara yang disebut kombet dan kisah TKI illegal di perbatasan.

Semua kisah masa kecil itu bisa menjadi bahan rekonstruksi Kaltara di masa Orde Baru.

Bagian ketiga buku ini memuat pengalaman Nour sebagai pekerja LSM. Dengan bekerja di bidang social, baik saat masih bergabung dengan Perusahaan Tambang Rio Tinto maupun saat malang melintang di berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional, Nour berkesempatan mengunjungi berbagai wilayah Indonesia. Sayang sekali ia mengisahkan asal saja pengalamannya yang semestinya sangat kaya tersebut.

Semoga di buku berikutnya Nour mau berbagi kisah perjumpaannya dengan berbagai suku dan bangsa dari negeri Indonesia maupun orang-orang manca. (576).

***