Bertemankan Aktor, Mengapa Tidak?
"Mas Pepih, bisakah kita bertemu sebentar, ngopi-ngopilah, sudah lama kita ga ngopi."
"Oh okay, di mana kita ngopi, Mas?"
"Di PIM 3 aja ya, di Union, besok malam. See you!"
Itu percakapan saya dengan Jeremy Thomas, teman lawas saya. Sudah nyaris empat tahun kami tidak ngopi (untuk mengatakan tidak bertemu). Kami biasa ngopi di Monolog, Plaza Senayan. Itu waktu saya masih bekerja di Harian Kompas.
Bagi pecinta sinetron, Jeremy Thomas adalah nama yang familiar. Ia aktor yang hampir setiap hari tampil di sebuah sinetron yang mencapai 400 episode di tahun 1980an. Dari kiprahnya di seni peran inilah Jeremy menemukan "personal branding"-nya sendiri.
Belakangan ia menjadi brand ambassador sebuah produk kopi asal Jerman dan mendapat kerjasama pembuatan iklan untuk sebuah produk minuman pembangkit energi. Selain tentu saja masih main sinetron.
Okelah, tetapi bukan itu yang mau saya ceritakan. Ini soal pertemanan. Bagaimana kebaikan (dalam berteman) akhirnya mempertemukan kembali kami selama empat tahun terakhir. Dalam kurun waktu itu, saya tidak lagi 'aware' atas peristiwa demi peristiwa yang menimpa Jeremy dan keluarganya.
Tetapi saat bertemu di Union itu, Jeremy tanpa sungkan bercerita tentang masalahnya, kebetulan masah hukum yang sama dengan yang pernah dialaminya.
Persoalan hukum yang sebenarnya sudah berketatapan (inkracht) yang seharusnya tidak bisa dihidupkan kembali. "Sepertinya perkara zombie," saya berkelakar.
Empat tahun lalu kami dipersatukan karena peristiwa hukum dan selesai dengan "inkracht" itu. Sekarang, kami dipersatukan karena "remah-remah" atau sisa-sisa hukum yang lama, kasus mati yang kemudian dihidupkan kembali." Jeremy tentu punya tim lawyer yang tangguh.
Saya tidak masuk ke persoalan hukum yang teknis dan njlimet, meski saya pahami alurnya. Lha wong saya pernah jadi wartawan bidang hukum di tahun 1996, saat itu mantan Pemred Budiman Tanuredjo baru saja diangkat readakturnya, yang sebelumnya dipegang Jimmy S Harianto. Fungsi saya ya nemenin ngopi Jeremy saja.
"Lusa saya ke Polda Metro, lanjut ke Kejaksaan Tinggi. Kalau Mas Pepih mau ikut, dengan senang hati," kata Jeremy yang biasa memanggil saya "Mas".
Saya dibayari ngopi oleh Jeremy dan sebelum pamit saya bilang, "Okay, saya temani Mas Jeremy di Mapolda nanti!"
***