Sastra

Tanjung Puting dalam Cerpen

Senin, 24 Agustus 2020, 23:59 WIB
Dibaca 608
Tanjung Puting dalam Cerpen
Pelatihan menulis cerpen dan riset lokasi (setting): tidak biasa.

Tidak biasa. Cerpen ditulis berdasarkan riset setting. Tapi ini fakta. Sungguh terjadi. 15 penulis di bawah naungan kapal pesiar Sultan mengarungi tepian Sungai Sekonyer nan menawan, namun penuh marabahaya sebab merupakan habitat buaya.

Mugeni, sebagai Ketua Komunitas Lembaga Literasi Dayak menginisiasi, sekaligus memodalinya. Dengan kapal pesiar miliknya. Konsumsi 15 penulis cerpen --semuanya penduduk Kalimantan- selama riset berlangsung, pun ditanggungnya.

Hasilnya?

Jadilah buku kc (kumpulan cerpen ini). Dikatapengantari sastrawan kawakan negeri ini, Ahmadun Y. Herfanda. Kita nikmati catatannya.

Memindah Tanjung Puting dalam Cerpen
Oleh Ahmadun Yosi Herfanda
***
Menikmati kisah-kisah seru petualangan menembus rimba Tanjung Puting tentu sangat mengasyikkan. Bayangkanlah, tragedi seorang gadis kota yang dicintai orang utan yang menculiknya ke atas pohon dan sang gadis menjerit histeris karena takut ketinggian, atau kisah gadis bule yang perahunya terbalik di Sungai Sekonyer yang dihuni banyak buaya dan membuat relawan mengira ia tewas dimakan buaya tapi ternyata diculik lelaki Dayak yang jatuh hati padanya.

Kisah-kisah dalam buku ini memang tidak persis seperti itu, namun tetap menarik dan kadang-kadang menegangkan. Ada kisah konflik horizontal tentang pertambangan emas liar yang mencemari sungai. Ada kisah perburuan orang utan yang diwarnai pertarungan yang cukup mencekam. Ada kisah dua telur burung elang yang unik milik seorang bupati. Ada juga kisah seorang polisi yang diterkam buaya Sungai Sekonyer dan dibawa ke sarang raja buaya.

Selebihnya, adalah beberapa cerpen ringan-interesan seputar cinta remaja dan romantika kehidupan warga pedalaman Kalimantan Tengah, dengan latar yang beragam dan membawa masuk pembaca bertamasya ke taman nasional yang penuh pesona itu.

Kita mulai saja dengan menikmati cerpen romantis “Sepotong Hati yang Tertinggal di Camp Leakey” karya Wiwin Ria Hati. Cerpen ini mengisahkan seorang gadis, Amarissa, yang duduk sendiri menunggu boarding di Bandara Iskandar, Pangkalan Bun. Imajinasinya mengembara menyulusuri kenangannya bersama serombongan wisatawan menuju Tanjung Puting. Kenangan indah bersama pemuda Australia, Jeremy, yang menolongnya saat ia terjebur ke kali dan menemaninya di Camp Leakey, pun tak dapat dilupakannya. Sayangnya, momen-momen indah itu tinggal kenangan, karena sang pemuda akhirnya kembali ke Australia.

Menarik pula menyimak konflik dalam cerpen “Buih-buih Tepian Sekonyer” karya Sugiarti. Cerpen ini berkisah tentang keluarga sederhana, Putir dan anaknya yang buta, Segah, di Desa Sekonyer, tak jauh dari Tanjung Puting. Ia terlibat konflik dengan Amang Galih soal penambangan emas liar di Sungai Sekonyer. Putir menentang pertambangan liar itu, dan berarti ia harus berhadapan dengan Amang Galih. Putir menduga, kebutaan anaknya akibat terkena mercuri yang mencemari Sungai Sekonyer, tempat warga biasa mandi dan mencuci pakaian. Sedangkan suaminya menghilang tak kembali tanpa sebab yang jelas. Sebuah kisah hidup warga pedalaman yang cukup menegangkan sekaligus mengharukan.

Orang utan termasuk binatang yang dilindungi. Tapi, perburuan terhadap mereka, dan perusakan habitat mereka, terus saja terjadi. Tragedi orang utan ini dikisahkan dengan cukup mencekam dalam cerpen “Dua Orang Utan dan Dua Orang Kota” karya Sitti Wahidah F. Dirun. Pertarungan antara pemburu, orang utan, dan aktivis LSM tergambar seru dalam cerpen ini, dengan latar Tanjung Puting. Cerpen yang juga mempertemukan antara orang utan dan manusia adalah “Dua Sungai Satu Muara” karya Sisca Amelia. Tapi, dalam cerpen ini manusia hadir bukan untuk memburu orang utan, sebaliknya untuk memisahkan orang utan yang berkelahi.

Cerpen-cerpen menarik

Cerpen-cerpen lain yang juga menarik untuk dibaca adalah “Kelepak Elang di Tanjung Harapan” karya Masri Sareb Putra, “Buaya Sungai Sekonyer” karya Arjoni, “Buih-buih Tepian Sekonyer” karya Emy Nilan, “Pantun si Ading di Sungai Sekonyer” karya Delianae Middil Ranggan, “Maafkan Aku, Suci” karya Liberti Natalia Hia, “Janji Masa Kecil” karya Maya Nurmarini, “WA di Dermaga Pelabuhan Kumai” karya Roslina Hely, “Semburat Rona Pelangi Sungai Sekonyer” karya Siswanto, “Semburat Senja di Dermaga Kumai” karya Julay Julians, “Cinta yang Tergerus Arus Sekonyer” karya Juariyah Hayun Ms, dan “Gerimis Cinta di Haluan Kapal” karya Mugeni.

Dalam cerpen “Ada Juga Kelepak Elang” Masri mengisahkan seorang bupati muda yang gemar berburu dan memelihara burung. Uniknya, yang dipeliharanya adalah burung elang hasil eraman telur yang didapatnya saat berburu.

Kisah pengeraman telur elang oleh induk ayam itu sangat menarik, karena dua telur itu tiba-tiba hilang. Maka, untuk menemukan telur itu, sang bupati pun mengadakan sayembara: barangsiapa yang berhasil memberi tahu siapa pencuri telur elang Bupati yang hilang, akan mendapat hadiah Rp 10 juta. Dan kepada siapa saja yang berhasil menangkap pelaku, akan mendapat hadiah Rp 15 juta.

Kisah lebih seru lagi dapat dinikmati pada cerpen “Buaya Sungai Sekonyer” karya Arjoni. Cerpen ini diangkat dari kisah nyata tentang seorang polisi yang diterkam buaya ketika sedang mencuci muka di tepi Sungai Sekonyer. Si buaya menampakkan moncongnya ke udara sebelum membawa sang polisi ke sarangnya. Di alam buaya bawah air ternyata ada dunia, dan sang polisi pun hidup di sana. Pada suatu hari ada seseorang yang memancing buaya dan mendapat raja buaya. Kisah sang polisi pun terkuak melalui penangkapan raja buaya itu.

Usai membaca 15 cerpen dalam buku ini kita menemukan bahwa Sungai Sekonyer menjadi latar utama yang penting pada sebagian besar cerpen-cerpen tersebut. Sungai yang menjadi habitat buaya bermoncong panjang ini memang merupakan akses utama jalur wisata dengan perahu-perahu klotok menuju Taman Nasional Tanjung Putting (TNTP). Sungai yang melintasi Tanjung Puting ini memiliki banyak misteri, seperti misteri dunia buaya dan adanya mahluk-mahluk gaib yang melindungi kelestarian alam taman nasional tersebut.

Dalam sejarah, Sungai Sekonyer tercatat memiliki peran penting dalam perjuangan melawan penjajah Belanda. Di muara sungai itu para pejuang dari Kota Waringin yang dipimpin oleh Panglima Utar pernah menyerang dan menenggelamkan kapal patroli Belanda, Lonen Konyer. Nama kapal ini kemudian diabadikan menjadi nama sungai, Sekonyer, menggantikan nama sebelumnya, Sungai Buaya.
Inti literasi

Membaca cerpen-cerpen dalam buku ini penting untuk memperkaya wawasan lingkungan dan budaya serta kearifan lokal nusantara. Selama ini kita, yang tinggal di luar Kalimantan Tengah, tidak banyak tahu tentang Tanjung Puting dan tradisi sosial budaya masyarakat di sekitarnya. Kita juga menjadi tahu Sungai Sekonyer yang unik dan misterius, serta menjadi jalur wisata utama menuju TNTP.

Lebih dari itu, dengan terbitnya buku kumpulan cerpen ini kita jadi tahu bahwa gerakan literasi berjalan dengan cukup baik di Kalimantan Tengah. Gerakan ini dimotori oleh Masri Sareb Putra, seorang cerpenis yang meyakini dirinya “lahir untuk menulis” (born to write). Mantan editor penerbit Grasindo ini memang rajin memotivasi anak-anak muda untuk menulis, seperti juga dilakukannya ketika masih menjadi dosen penulisan kreatif (creative writing) di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Serpong. Setelah kembali ke kampung halamannya di Kalimantan, Masri pun tetap giat menularkan semangatnya untuk menulis.

Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang dicanangkan oleh Mendikbud RI memang tidak cukup hanya digalakkan dengan gerakan membaca, tapi juga gerakan menulis. Justru menulislah yang menjadi inti gerakan literasi. Dengan menulis, kita akan “dipaksa” untuk membaca. Kegiatan menulis tidak mungkin berjalan baik tanpa membaca. Sebaliknya, kegiatan membaca akan kehabisan bahan bacaan jika tidak ada yang menghasilkan tulisan untuk diterbitkan sebagai bahan bacaan. Makna paling elementer dari literasi adalah melek baca dan tulis. Dengan gerakan baca dan tulis, masyarakat akan terdorong menjadi masyarakat yang literet dengan tingkat literasi yang tinggi.

Masyarakat dan Pemprov Kalimantan Tengah patut berbangga dan bersyukur atas peran para cerpenis ini dalam dunia literasi di wilayahnya. Keberadaan sastrawan yang rajin menulis dan memotivasi orang lain untuk menulis ini sangat patut dikelola sebaik-baiknya guna ikut mendorong gerakan literasi di Kalimantan Tengah agar tidak tertinggal dengan provinsi lain.

Peran Mugeni juga patut dicatat sebagai apresiasi. Ia mengajar dengan contoh. Sejak mahasiswa di Universitas Lambung Mangkurat, ia rajin menulis puisi dan cerpen yang dimuat koran lokal. Sultan, kapal pesiarnya, ia sediakan lengkap dengan ransum bagi para cerpenis ke lokasi mendalami setting. Ini tidak biasa.

Ketua Komunitas Penulis Lembaga Literasi Dayak ini juga sebelumnya membikin pelatihan untuk guru-guru, dan calon penulis, seminar menulis kreatif untuk menumbuhkembangkan literasi di Kalimantan Tengah. Cerpennya, “Gerimis Cinta di Haluan Kapal” bernas, puitis, juga romantis.

Tidak usah saya berpanjang kata membahas semuanya lagi. Silakan Pembaca langsung mengecap citarasa, dan menikmati keindahannya.
***