Pilih Menolong atau Ambil Gambar? Sindrom Genovese
"Tak ada warga yang menolong saya. Mereka hanya merekam..."
Tanggal 10 Februari 2018, sebuah bus yang mengangkut para anggota Koperasi Simpan Pinjam Permata, Ciputat tergelincir di tebing tanjakan Emen, Puncak, Bogor. 27 orang tewas dalam peristiwa itu. Bus jatuh dan terbalik, terguling guling.
Karmila adalah salah satu penumpang yang selamat. Saat ia berusaha merayap keluar dari bus yang terbalik, ia menyadari sesuatu yg menyakitkan hati.
"Enggak ada warga sekitar yang mau menolong saya dan teman-teman lainnya, mereka cuma ngerekam," tutur Karmila.
Warga yang mengerumuni lokasi kecelakaan tampak mengabadikan kejadian. Baru setelah Karmila dan beberapa korban selamat keluar, beberapa orang bergegas menolong. Tapi sebagian lain hanya terus mengabadikan momen itu.
*Disarikan dari tulisan Tribunnews dan kompas*
Kasus Karmila di atas hanya satu dari ratusan kisah serupa. Dalam hitungan detik dari waktu kejadian, jutaan peristiwa langsung terupload ke sosial media. Luar biasa cepatnya. Bahkan live dari lokasi.
Walaupun fenomena itu menarik, tapi kecepatan upload seperti itu hanya berarti bahwa ratusan bahkan jutaan orang memilih mengabadikan suatu peristiwa daripada ikut serta dalam peristiwa itu.
Kesetiakawanan seolah terkikis sejak manusia jadi lebih setia pada gadget di tangannya daripada sesama manusia di sebelahnya.
Tapi, benarkah ketidakpedulian itu diakibatkan oleh munculnya gawai cerdas?
Ah jangan mau terburu buru ambil keputusan, jangan juga semua kesalahan ditimpakan pada gadget mungil cerdas dalam genggaman itu. Walau konteksnya berbeda, perilaku yang sama sudah muncul jauh sejak sebelum gawai cerdas ada.
Maret tanggal 13 tahun 1964, Kitty Genovese 28 tahun, seorang manajer bar, dianiaya dan ditikam sampai mati di depan gedung apartemennya. The New York Times menerbitkan artikel panjang tentang peristiwa itu. Menurut mereka, ada 38 saksi yg mendengar dan melihat kejadian itu, tapi tak satupun menolong.
Walau akurasi artikel The New York Times itu dianggap meragukan, tapi kejadian itu menarik minat para ahli psikologi. Pembahasan bermunculan tentang ketidakpedulian terhadap sesama. Perilaku tersebut kemudian lebih dikenal sebagai sindrom Genovese.
Tentunya saya bukan ahli tentang psikologi yang bisa mengetahui dan meramalkan perlilaku manusia sebelum terjadi. Boro boro meramalkan perilaku orang, mencoba mengerti hati kekasih saya yg sudah bersama lebih dari 17 tahun saja saya sering gagal.
Baiklah, kembali ke laptop.
Pertanyaan lalu muncul, kenapa banyak orang yang memilih menonton (atau merekam kalau sekarang) daripada menolong orang dalam kesulitan di depannya?
Masuklah theory bystander apathy atau bystander effect (darley - lataney 1968).
Sederhananya dikatakan begini; dalam kondisi tertentu, makin banyak bystander (orang di sekitar kejadian) justru membuat kemungkinan pertolongan semakin kecil.
Kenapa bisa begitu?
Salah satu alasannya ternyata saat memutuskan melakukan pertolongan ada banyak pertimbangan yg dilakukan manusia.
Mengetahui bahwa ada orang lain yg juga bisa menolong, seolah olah mengurangi (bahkan menghilangkan) kewajiban individu untuk menolong. Sebutannya diffusion of responsibilities..
Baca Juga: Media Jurnalisme Warga dengan Semangat Kebangsaan
Saat banyak orang lain yg berada di lokasi kejadian dimana seseorang perlu pertolongan, maka individu akan bertanya pada diri sendiri:
Apakah menolong itu tanggungjawab saya?
Banyak orang yg bisa menolong, apakah harus saya?
Apa untung rugi nya kalau saya menolong? Dst.
Keberadaan gawai dan sosial media hanya memperkuat efek di atas. Individualisme dan kesempatan menyebarkan berita, mendorong kita lebih abai pada kesempatan menolong orang lain. Apalagi saat banyak orang di sekitar kita, yg punya kesempatan sama untuk menolong.
"Mendingan saya ambil gambar atau Selfi.. biar aja yg lain yg nolong." Mungkin begitu pikiran saat itu. Repotnya kalau semua berpikiran sama, maka terjadilah bystander effek tadi. Akibatnya Karmila pun terkesima, puluhan orang memilih mengambil gambar daripada menolongnya keluar dari rongsokan bus.
Yah, asal tahu saja.. dengan tahu kita bisa lebih mudah menghindari jatuh dalam bystander apathy.
Juga waspadai gawai anda..
Gadget yang seharusnya berfungsi menjadi pendukung kegiatan, jangan sampai malah seolah menjadi pusat kehidupan kita. Membuat kita lebih mementingkan mengisi sosial media daripada berinteraksi dengan sesama.
Jangan sampai gawai cerdas membuat Anda jadi bodoh.
***