Sawit Boleh Asal Utamakan Masyarakat dan Hutan Adat
Sawit boleh, dengan catatan perut, bukan catatan kaki. Itu pun, dengan cetak tebal yang berikut ini.
1. Maksimal (paling luas) 1/5 dari luas seluruh / total lahan, agar tidak merusak lingkungan/ deforestasi.
2. Pola kepemilikannya, harus lebih banyak milik masyarakat dibandingkan dengan perusahaan yang nota bene adalah: pendatang.
3. Memperhatikan aspek hukum, adat, serta sosial ekonomi di dalam cara kepemilikan lahan, proses, pengelolaan (termasuk SDM), distribusi, dan pemasarannya.
Atas catatan awal itu, saya hendak menyoroti kasus dan praktik sawit sebagai komoditas industri di tanah lahir saya.
***
Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) memiliki luas wilayah sebesar 14,680 juta hektar. Dimana 83% dari wilayah provinsi tersebut telah menjadi area industri ekstraktif, terutama pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. Luas konsesi pertambangan mendominasi, yakni mencapai 5,4 juta hektar, dengan jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) sebanyak 686, berdasarkan data yang dihimpun oleh Tim Koordinasi dan Supervisi (Korsup) sektor Mineral dan Batubara (Minerba) KPK Tahun 2014.
Kita bukan anti-sawit. Ia baik, sebagai komoditas industri. Pola kepemilikannya yang perlu diatur. Harus lebih banyak milik masyarakat dibandingkan dengan perusahaan yang nota bene adalah: pendatang.Kecuali sawit mandiri.
Sementara sektor sawit menguasai 4,4 juta hektar dan sektor Hutan Tanaman Industri (HTI) menguasai 2,4 juta Hektar, berdasarkan data yang dihimpun oleh Eyeson The Forest (EOF) jaringan Kalimantan Barat, Tahun 2016. Sanggau merupakan kabupaten dengan jumlah IUP dan Kuasa Pertambangan (KP) terbanyak ketiga di Kalimantan Barat. Luas wilayah Kabupaten Sanggau hanya 1.285.770 hektar, namun ironisnya, luas konsesi industri ekstraktif ditengarai melebihi luas seluruh wilayah Kabupaten Sanggau, yakni mencapai lebih dari 1.300.000 hektar.
Komoditas pertambangan utama di Kabupaten Sanggau dan Kalimantan Barat pada umumnya adalah Bauksit : biji utama aluminium yang terdiri dari hydrous aluminium oksida dan aluminium hidroksida. Bijih Bauksit merupakan bahan baku utama dalam pembuatan alumunium yang banyak digunakan dalam industri pembuatan badan pesawat terbang, perabot rumah tangga, kerangka atap bangunan, bahan pembuatan keramik, besi, hingga kemasan makanan dan pita kaset rekaman.
Konsesi pertambangan di Sanggau berdasarkan data Korsup KPK mencapai 532.115 hektar, dengan jumlah konsesi sebanyak 73 IUP. Wilayah-wilayah kegiatan pertambangan banyak tersebar di Kecamatan Tayan Hilir, Kecamatan Toba, dan Kecamatan Meliau.
Sedangkan Industri sawit dan HTI berdasarkan data yang dihimpun SwandiriInstitute masing-masing menguasai lahan seluas 530.329,95 hektar dan 286.201,62 hektar. (Sumber: SwandiriInstitute, 2016).
Penguasaan tambang akan lahan juga didapati di Kecamatan Tayan Hilir, salah satu pusat pertambangan bauksit di Kalimantan Barat. Terdapat 20 IUP dengan total luasan mencapai 155.702 hektar di Tayan Hilir (KorsupMinerba KPK, 2014). Padahal luas administrasi Tayan Hilir sendiri hanya 105.000 hektar (Setda Kab. Sanggau, 2012). Hal ini tak hanya menunjukkan terjadi tumpang tindih perizinan tambang di Kecamatan Tayan Hilir dan Kabupaten Sanggau, namun juga betapa industri ekstraktif telah mengepung kedua wilayah tersebut.
Di sisi lain, potensi sumber daya alam yang berlimpah ternyata belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau. Bahkan jumlah penduduk miskin di Sanggau pada tahun 2013 meningkat menjadi 20.400 jiwa, padahal di tahun 2012 jumlahnya hanya 18.300 jiwa, sebagaimana data yang disajikan menurut Katadata (2016).
Kecamatan Tayan HilirDesa Subah, sebuah desa di pedalaman Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, yang membutuhkan waktu tempuh empat jam dari Kota Pontianak, merupakan salah satu desa yang menjadi lokasi beroperasinya kegiatan industri ekstraktif pertambangan. Terdapat tujuh dusun di Desa Subah, yaitu Dusun Subah, Dusun Remba Kedodok, Dusun Pulau Legoh, Dusun Terentang, Dusun Telabang, Dusun Munggu Das dan Dusun Remba Hulu.
Jumlah penduduk di Desa Subah mencapai 2.218 jiwa atau 602 Kepala Keluarga (KK) dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 1.163 jiwa dan perempuan sebanyak 1.054 (per Mei 2015). Jumlah penduduk terbesar berada di Dusun Subah dan Dusun Remba Kedokok. Sementara tingkat usia produktif di Desa Subah tergolong sangat besar.
Sebagian besar masyarakat di Desa Subah bermata-pencaharian sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian sebagai nelayan banyak dilakukan oleh masyarakat Dusun Subah sedangkan di dusun lainnya sebagian besar mata pencahariannya sebagai petani.
Menariknya, nelayan di Subah lebih banyak digeluti oleh perempuan, sedangkan laki – laki lebih banyak bekerja sebagai petani. Untuk pertanian, kebanyakan petani berusaha di sub sektor pertanian pangan seperti padi dan holtikultura, serta sub sektor perkebunan yakni kelapa sawit.[1]
Antonius Anam seorang tokoh masyarakat mengatakan di hadapan para jurnalis yang mengunjungi kediamannya di Desa Subah, Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau, Kepala Dusun Subah ini melontarkan ide-idenya. “Tidak ada pilihan lain bagi kami kecuali mengamankan kawasan adat yang masih tersisa,” kata Anam, Selasa (9/6/2015).
Masyarakat Kecamatan Tayan Hilir merasa khawatir lantaran lahan yang mereka kelola terancam oleh hadirnya izin tambang dan kebun sawit. Hal itu dikarenakan dari total luas wilayah Tayan Hilir yang mencapai 119.502 hektar, 51%-nya telah dibebani izin tambang, 54%-nya adalah perkebunan sawit dan 12%-nya adalah Hutan Tanaman Industri (HTI).Jika dijumlahkan luas perizinan sudah melebihi luas Kecamatan Tayan Hilir.
Merasa terancam dengan semakin menyempitnya wilayah kelola masyarakat, beberapa perwakilan warga didampingi oleh SwandiriInstitute mendatangi DPRD Kabupaten Sanggau untuk menyampaikan aspirasi mereka melalui kegiatan rapat dengar yang diselenggarakanSelasa 26 mei 2017.
Dalam audiensi itu Kepala Desa Sejotang, kecamatan Tayan Hilir,Piustomi menyampaikan kegelisahannya terkait tercemarnya Danau Semenduk akibat limbah dari perusahaan tambang yang beroperasi di sana.Danau Semenduk merupakan sumber mata pencaharian dimana nelayan setempat biasa mencari ikan.
Sejak adanya aktivitas PT Mahkota Karya Utama (MKU), Danau Semenduk dijadikan tempat pembuangan limbah pencucian bauksit. Bahkan, di areal danau ini dibangun kanal-kanal dari hasil pengupasan tanah (over burden) yang seharusnya digunakan untuk reklamasi. Sayangnya, perusahaan hingga saat ini belum melakukan kewajiban reklamasi dan paska tambang,” tegas Piustomi.[2]
Desa Sejotang berlokasi sekitar 20 km dari Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Di Desa Sejotang juga terdapat Gunung Sebayan, dimana di gunung ini terdapat tembawang masyarakat. Tembawang merupakan lahan yang dikelola warga yang ditanami buah-buahan. Di gunung ini juga terdapat sumber air bersih yang dialirkan ke rumah-rumah warga melalui pipa.
Desa lainnya di Desa Subah, Sekretaris Desa Subah Toni menyampaikan bahwa di desanya hingga saat ini belum ada listrik. Padahal di wilayah tersebut banyak terdapat konsesi perusahaan seperti PT. Danpac Resources (tambang bauksit), PT MSP, SJAL, dan ACP (sawit).“Ironinya, perusahaan tersebut tidak memberikan kontribusi terhadap kebutuhan dasar energi warga Desa Subah,” ujar Toni.
Melihat permasalahan tersebut di atas dalam penulisan penulis menilai bahwa tindak tegas dan sistem pengawasan dan pengaturan antara UUPLH, UUPPLH serta UUAgraria dalam mengimplementasi undang-undang tersebut belum terealisasi secara baik dan benar, fakta relevan yang terjadi di lapangan belum terealisasi secara baik, bijaksana dan tertib.
Masih banyak perusahaan membuang limbah di danau dan disungai, perusahaan pertambangan maupun perusahaan pekebunan kelapa sawit masih banyak melanggar ketentuan Perudang-undangan, hutan ulayat masyarakat Adat yang nota bene sangat dilindungi oleh negara dan Undang-undang.
***
[1]Masyarakat Adat di Tengah Kepungan Industri Ekstraktif. Kalbar. 2015.
[2] Diskusi Rapat bersama DPRD Kabupaten Sanggau Bersama Kepala Desa Kecamatan Tayan Hilir. 2017.