Riset

Sejarah Komunitas Adat di Krayan

Kamis, 11 Mei 2023, 13:58 WIB
Dibaca 1.354
Sejarah Komunitas Adat di Krayan
Penampakan bumi Krayan view dari udara.

Dari Dr. Yansen TP, salah seorang penulis, dan pegiat literasi nasional kabar penting itu didapat. Kami, tim literasi inti YTPrayeh.com, akan memberikan bekal berupa teori dan praktik metode dan penulisan sejarah suatu klan/ komunitas/ masyarakat adat di Krayan.

Pesertanya para kepala adat, kepala desa, camat, dan para penulis pemula. Demikianlah tujuan dari kegiatan literasi, yang diadakan akhir bulan Mei 2023 di Dataran Tinggi Borneo.

Salah satu syarat pengakuan masyarakat adat adalah: adanya sejarah suatu komunitas adat. Mengapa penting adanya sejarah sosial suatu masyarakat adat itu? Camkan dengan saksama putusan ini:  Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 menyatakan minimal 5 unsur Masyarakat Hukum Adat yaitu:

1.      ada masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling);

2.      ada pranata pemerintahan adat;

3.      ada harta kekayaan dan/atau benda-benda adat;

4.      ada perangkat norma hukum adat; dan

5.      khusus bagi kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial juga terdapat unsur wilayah hukum adat tertentu.

Dalam konteks ini, betapa pentingnya acara ini. Sangat mulia lagi penting kemanfaatannya untuk kemasalahatan umat manusia. Terkhusus penduduk asli pewaris dan pemangku the Hearts of Borneo.

Masyarakat penduduk penghuni Dataran Tinggi Borneo terbentuk secara alamiah berdasarkan tradisi berladang yang sekaligus juga menunjukkan bahwa lahan-lahan yang sudah diladangi itu telah ada pemiliknya. Sejauh mata memandang, seluas itu pula lahan yang bisa dimiliki, asalkan yang bersangkutan membukanya.

Sesuai adat tradisi, barangsiapa yang membuka suatu lahan, dialah pemiliknya. Ituah hukum yang tak-tertulis, tapi benar-benar ditaati setiap warga. Jika ada yang melanggar, maka berhadapan dengan hukum adat setempat, atau diperperkaraadatkan. Sanksinya mulai dari yang paling ringan (berdamai di muka saksi pengadilan adat), hingga pada mengangkat sebuah sumpah. Bagi si pelanggar, diberi tempo untuk mengakui kesalahan. Jika batas jatuh tempo tidak mengaku juga, maka ia akan makan-sumpah. Jatuh sebagai korban di pihak yang salah.

Demikianlah pengadilan adat nenek moyang zaman baheula, termasuk jika ada persengketaan atas tanah adat. Ulayat adat dimengerti sebagai sebuah wilayah permukaan bumi yang terbatas, yang ditempati suatu klan yang diperintah oleh kepala adat setempat, dan berlangsung secara turun temurun.

Ketika itu, yang namanya “Sertifikat Tanah” yang menjadi tanda atau surat keterangan (pernyataan) tertulis atau tercetak dari orang yang berwenang dan dapat digunakan sebagai bukti pemilikan seperti saat ini, belum dikenal.

Pengaturan atas kepemilikan lahan/ tanah di Nusantara baru dikenal pada abad 18. Yakni Undang-Undang Agraria 1870 (Agrarische Wet 1870) sebagai reaksi atas kebijakan pemerintah Hindia Belanda di tanah Jawa. Jadi, di Borneo pada saat itu, yang mengatur kepemilikan dan batas tanah adalah masyarakat asli penghuni wilayah itu sendiri. Merekalah penguasa tanah negerinya.



Beginilah cara nenek moyang kita (Dayak) dahulu membagi-bagi tanah di antara mereka. Mula-mula penduduk Dataran Tinggi Borneo adalah keluarga-keluarga kecil saja. Menjadi kebiasaan ketika itu, lahan untuk berladang yang lokasinya dekat dengan pondok. Semakin tahun, semakin lahan itu jauh dari pondok semula sehingga pindahlah keluarga-keluarga itu ke pondok yang baru. Lama kelamaan menjadi banyak. Lalu membentuk sebuah kampung besar yang antara satu kampung dan kampung lain menjadi jauh oleh sebab sistem ladang berpindah.

Fakta jejak sejarah itu menunjukkan bahwa jauh sebelum kemerdekaan, sudah terpilah dalam apa yang namanya “wilayah adat”. Demikianlah seperti terjadi di sepanjang aliran Sungai Krayan. Di sini telah terbentuk wilayah adat bahkan sebelum kedatangan Hindia Belanda.
***
SIAPA pewaris tanah adat Dataran Tinggi Borneo yang membentang luas, dari sumber mata air Sungai Krayan di Puneng Krayan hingga muaranya di wilayah perairan Sungai Mentarang?
Berikut rekam jejak sejarahnya.

Masyarakat-adat tidak sama sebangun dengan kekolotan dan keterbelakangan. Dalam banyak hal, mereka barangkali lebih beradab dan manusiawi dibanding orang urban.

Di Dataran Tinggi Borneo sejak zama semula jadi, hanya ada satu klan saja. Lama-lama, seiring dengan waktu, keluarga ini beranak pinak, lalu membentuk keluarga baru. Keluarga baru ini membuka ladang/ lahan baru, lalu terpisah dari keluarga asalnya.

Berikut rekam jejak sejarahnya.
1) Lengilo’: Dari Long Padi, Long Liku/ Semamu. Yang dikenal sebagai kepala adat/ penghulunya adalah Pangeran Tanid. Dianggap mengerti adat, ia digambarkan seorang kuat lagi sakti mandraguna. Waktu air bah, hanya ada beberapa gunung yang tampak di bumi Krayan. Untuk menyelamatkan diri, mereka bikin rakit. Mereka duduk di rakit itu dengan pelita penerang dari damar yang disebut juga: ngilo' yang dapat bermakna mencari tempat yang lebih tinggi, atau menggunakan penerang untuk bepergian. Mereka yang selamat mencari tempat perlindungan ketika peristiwa air bah inilah yang disebut sebagai orang Lengilo’.

2) Tanah Lun: Long Berang, Long Sepayang, Pa’ Kemalu. Kepala adat atau pengulunya bernama Balang Siran. Kebiasaan mereka membuka ladang di tanah kering (lun). Ini yang kemudian lama kelamaan menjadi Lun Dayeh. Tapi karena manusia Krayan sama-sama orang ulu yang tinggal di dataran tinggi Borneo, maka secara kolektif disebut Lun Dayeh, yang harfiahnya berarti: orang hulu.

3) Nan Ba’ Disebut demikian, karena mereka biasa bikin sawah di tempat atau tanah yang basah. Klan ini bermukim di eluruh wilayah Long Bawan. Kepala adat mereka dikenal sebagai Palong Piri.

4) Puneng Krayan atau Pe’ Ayan sebutan orang tua dulunya. Karena bermukim di hulu sekali, makanya disebut juga “Puneng”. Dari Pa’ Dalan sampai ke Long Kelupan. Adapun kepala adatnya adalah Libu Paren.

5) Sa’ban. Klan ini bermukim dari Pa’ Bahau, Pa Angau, sampai Pa’ Berau. Kepala adatnya adalah Pengulu Apui. 

Praktis sejak modernisasi menyentuh bumi Borneo, terjadi perubahan radikal. Dimulai sejak Pemerintahan Orde Baru era1970-an, desa-desa yang saling berjauhan dan terbentuk begitu saja oleh masyarakat adat setempat, mulai dilakukan regruping.

Beberapa desa yang sudah disepakati bersama sebagai ulayat tanah adat, di dijadikan satu kawasan sehingga menjadi berbedalah apa yang dipikirkan masyarakat setempat dan yang dilakukan Pemerintah. Sementara dari Pemerintah semangat percepatan itu sedemikian kencang diembuskan, rakyat tidak bisa berbuat banyak. Mereka mengikuti begitu saja, tanpa kuasa untuk menolaknya, sembari berpikir bahwa suatu waktu di kemudian hari akan terbuka ruang untuk memetakan-kembali jejak wilayah adat yang sempat hilang ini.

Adalah seorang Camat di wilayah Krayan bernama Philipus Gaing. Sebagai kaki-tangan Pemerintah di wilayah ini, beliaulah yang melakukan regruping desa, sembari terus-menerus menggalang semangat persatuan dan kesatuan di kalangan Dayak. Beliau ini kemudian berperan aktif dalam berbagai organisasi Dayak, seperti di Persekutuan Dayak Kaltim (PDKT) dan Dewan Adat Dayak (DAD) Kaltim yang di kemudian hari melahirkan organisasi Dayak di tingkat nasional, yakni Majelis Adat Dayak Nasional (MADN).

Setelah menjadi camat di Krayan, Gaing anggota DPRD Provinsi Kalimantan Timur. Ia juga Sekretaris salah satu partai besar di provinsi saat itu. Dalam kapasitasnya inilah Gaing keras mendorong agar Dayak Dayak bersatu dengan membentuk organisasi. Termasuklah berdirinya persekutuan/ perkumpulan etnis Dayak di Kalimantan Timur.

Sebagai putra Krayan, Gaing giat menyatukan etnis-etnis di wilayah itu dalam sebuah organisasi yang kemudian dikenal sebagai Persekutuan Dayak Lundayeh (PDL). Di Kalimantan Timur, putra/i Krayan yang kuliah dan bekerja di sana aktif dalam organisasi ini. Pada awal mula, banyak yang keberatan mengapa Lengilo’ dimasukkan ke dalam Lun Dayeh, bukankah entitas etnis yang berbeda?

Akan tetapi, Yansen TP, seorang Lengilo’ kelahiran Pa’ Upan yang juga aktivis sekaligus pengurus PDKT berpikir dan melihat jauh ke depan. Ia menyadari bahwa memang betul Lun Dayeh dan Lengilo’ berbeda. Namun, biarkan saja ia berproses. Sejarah akan ditulis dan kemudian membuktikan bahwa memang Lun Dayeh dan Lengilo’ tidak sama dan sebangun. Yang penting, membangun semangat persatuan dan kesatuan lebih dulu sebagai sesama pewaris Dataran Tinggi Borneo.

Benih semangat persatuan dan kesatuan di kalangan manusia Krayan itu memang telah lama ada, telah pula diembuskan oleh Pendeta Presswood, tahun 1950. Dalam sebuah acara perayaan Paskah bersama di sebuah kampung di Krayan, yang dihadiri oleh semua jemaat dari berbagai etnis dan golongan, Presswood berkata.
“Hai kamu semua, orang Sesayap!”

Jemaat terdiam. Di dalam hati, mereka protes keras. Maklum, si pendeta asal muasalnya bertugas di Malinau dan di wilayah ini mengalir Sungai Sesayap. Ia mengira, semua orang di Dataran Tinggi Borneo ini adalah orang Sesayap. Maka angkat tangan dan unjuk jarilah seorang jemaat di situ karena merasa terganggu.
“Kami ini bukan orang Sesayap, tuan!”
“Lalu kalian ini siapa?” tanya Presswood.
“Kami ini orang Lun Dayeh,” jawab jemaat pemberani tadi. Dalam kerumunan jemaat itu, masih ada 4 etnis lainnya, tapi tidak protes dan mengangkat tangan. Sehingga Presswood mengira, semua jemaat yang berkumpul di situ adalah orang Lun Dayeh, yang berarti: orang (yang berasal dan tinggal) di hulu (sungai).
Kata Presswood. “O... kalau begitu, mulai saat ini, kalau kamu khotbah dan bernyanyi, kamu pakailah bahasamu. Yakni bahasa Lundayeh.”

Sejak itu, setiap kali berkumpul berdoa dan berserikat, orang-orang Krayan menggunakan bahasa Lundayeh. Meski sebenarnya setiap etnis di Krayan berbeda dan merupakan entitas dengan ciri bahasa dan dialek yang berbeda. Akan tetapi, karena merasa sama-sama “orang hulu”, mau saja mereka dipanggil sebagai Lun Dayeh.

Toh demikian, dari rekam jejak-sejarah, patut diduga bahwa Lengilo’ adalah penduduk asli dan klan pertama penghuni bumi Krayan. Salah satu jejak itu terbukti dari segi linguistik (bahasa). Orang Lengilo’ pandai berbahasa semua bahasa di Krayan. Sebaliknya, orang penutur bahasa lain, belum tentu dapat berbahasa semua bahasa di Krayan. *)