Mitos Kemiskinan Penyebab Terorisme
Pernyataan atau kesimpulan yang menuduh kemiskinan (ekonomi) sebagai salah satu penyebab terorisme merupakan pernyataan atau kesimpulan yang tidak hanya serampangan tetapi sekaligus menghina kaum miskin! Entah bagaimana tuduhan itu dibangun, tetapi bila kita mau sedikit mengolah nalar, jelas sekali bahwa itu adalah tuduhan sembrono. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), jumlah orang Indonesia yang terlibat terorisme tahun 2016 sekitar 2,7 juta orang. Padahal, pada tahun yang sama, Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa jumlah penduduk miskin sebanyak 28 juta orang lebih. Logika sederhananya, bila benar kemiskinan ekonomi menjadi penyebab orang terlibat terorisme; seharusnya minimal 22 juta orang Indonesia menjadi teroris. Faktanya, jumlah teroris hanya sekitar 9,6% dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin Indonesia. Apalagi terbukti bahwa orang yang tidak miskin pun bisa terlibat terorisme. Sebut saja pelaku bom bunuh diri Surabaya. Pelakunya adalah seorang pengusaha, memiliki rumah, punya mobil dan motor. Apakah keluarga teroris ini miskin? Jelas tidak! Sebut lagi suami-istri yang ditangkap polisi di Condet, Jakarta Timur setelah peristiwa bom bunuh diri di Katedral Makassar baru-baru ini. Ia punya show room mobil bekas. Jelas, orang ini tidak miskin!
Belum lagi bila kita telusuri asal daerah teroris. Peneliti terorisme Al Chaidir menyebutkan beberapa daerah yang paling rawan menjadi sarang teroris antara lain Poso (Sulawesi Tengah), Solo (Jawa Tengah), Makassar (Sulawesi Selatan), Ciamis (Jawa Barat), Sumateri Utara dan Batan (Kepulauan Riau). Untuk Kabupaten Sulawesi Tengah, misalnya, kabupaten/kota termiskin berturut-turut adalah Tojo Una-una, Donggala, Parigi, Moutong baru Poso. Poso nomor 5 termiskin dari 14 Kabupaten/Kota. Jawa Tengah sama saja. Solo sama sekali tidak termasuk 10 besar kabupaten/kota termiskin di Jawa Tengah. Lima kabupaten/kota termiskin Jawa Tengah adalah Wonosobo, Brebes, Purbalingga, Rembang, dan Sragen. Nusa Tengga Barat, kabupaten/kota termiskin adalah Lombok Barat, Lombok Timur, baru Bima. Untuk Sulawesi Selatan, Makassar justru merupakan kota terakhir paling miskin dari 24 Kabupaten/Kota. Bila benar kemiskinan merupakan penyebab terorisme; mestinya kabupaten/kota yang menjadi sarang terorisme adalah Tojo Una-una atau Wonosobo atau Lombok Barat atau Jene Ponto dan bukan Bima, Poso, Solo, Makassar, Ciamis dan Batam.
Jadi, bagaimana para komentator itu menyimpulkan bahwa kemiskinan ekonomi merupakan (salah satu) penyebab terorisme? Kita hanya bisa menduga-duga. Kemungkinan besar metode pengambilan kesimpulan itu adalah seperti berikut: dari seluruh teroris yang tertangkap (kalau tidak salah angkanya sekitar 10.000 orang), diambil sampel untuk diamati dan diwawancarai. Bisa jadi memang, sebagian besar dari para teroris itu hidup miskin. Di sinilah cacat logika itu terjadi: karena sebagian besar teroris yang tertangkap itu hidup miskin; lalu disimpulkan bahwa mereka menjadi teroris karena miskin. Faktanya, puluhan juta orang lain yang hidup miskin tidak menjadi teroris. Fakta lain, kabupaten/kota paling miskin tidak menjadi kabupaten/kota sarang teroris. Jadi, kesimpulan bahwa kemiskinan ekonomi menjadi penyebab terorisme tersebut sangat tidak berdasar. Itu ibarat menemukan fakta beberapa orang meninggal setelah bermain badminton lalu disimpulkan bahwa badminton menyebabkan kematian. Sangat konyol!
Lalu, bagaimana seharusnya kita menyimpulkan kalaupun kita harus menghubungkan antara terorisme dan kemiskinan? Pernyataan atau kesimpulan yang benar adalah, para teroris tersebut kebetulan hidup miskin. Sebab, faktanya ada juga teroris yang tidak hidup miskin. Fakta lain, ternyata sarang teroris bukanlah kabupaten/kota termiskin di provinsinya.
Yang tidak bisa dibantah sejauh menyangkut penyebab terorisme di Indonesia adalah, para teroris itu menjadi teroris karena dogma. Karena dogma mereka menjadi teroris, entah mereka tidak miskin atau kebetulan miskin. Entah mereka berpendidikan cukup atau kebetulan tidak berpendidikan. Entah mereka tidak menyadari adanya ketidakadilan sosial atau kebetulan menyadarinya. Begitulah seharusnya kita berpikir. Dengan demikian, masalah menjadi jelas dan solusinya pun menjadi tepat sasaran.
Penghinaan
Jelas, menyatakan bahwa kemiskinan ekonomi menjadi penyebab terorisme merupakan pernyataan yang tidak berdasar. Lebih daripada itu, pernyataan tersebut sekaligus juga merupakan penghinaan dan pelecehan terhadap kaum miskin. Mengapa?
Mengikuti argumentasi Henry Tajwel, seorang psikolog sosial terkemuka, kelompok teroris tersebut (entah JAD, JI, MIT atau yang lain) dipastikan memiliki pandangan superioritas atas kelompoknya dan inferioritas terhadap kelompok lain di luar kelompoknya. Maka bisa dimengerti bila mereka bersikeras ingin mengubah ideologi negara dengan ideologi yang mereka anut. Mereka bercita-cita menciptakan tatanan kehidupan negara yang ideal dan yang ideal adalah yang sesuai dengan ideologi mereka. Perkara apakah benar cita-cita mereka tersebut merupakan tatanan kehidupan yang ideal merupakan soal lain.
Di sisi lain, bunuh diri—apa pun tujuannya dan bagaimana pun caranya—merupakan bentuk frustasi atau bahkan keputusasaan, selain faktor psikologis seperti depresi. Memang, kemiskinan sering kali dituduh sebagai salah satu penyebab orang bunuh diri. Menariknya, WHO tahun 2014 menyatakan bahwa negara berpenghasilan tinggi memiliki angka bunuh diri yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara berpenghasilan rendah, yaitu 12,7/100.000 penduduk (untuk negara berpenghasilan tinggi) dibanding 11,2/100.000 (untuk negara berpenghasilan rendah). Dr. John Campo dari OHIO State University membeberkan beberapa penyebab orang bunuh diri, yaitu depresi, pelecehan, kekerasan dan latar belakang sosial.
Apa yang bisa kita baca dari data-data di atas? Tidak semua orang miskin atau bahkan hanya sangat sedikit orang miskin yang merasa frustasi atau putus asa dengan kehidupan ekonominya sehingga nekad melakukan bunuh diri. Dengan kata lain, dengan segala keterbatasannya, orang-orang miskin itu tetap menghargai dan mempertahankan hidup. Mereka sungguh-sungguh berjuang untuk bisa tetap hidup.
Bagaimana dengan para teroris? Teroris adalah orang-orang yang frustasi dan putus asa melihat kenyataan bahwa kehidupan begitu sulit atau bahkan mustahil mengikuti ideologi mereka. Kefrustasian dan keputusasaan itu lalu dinyatakannya dengan teror! Teror yang merusak kehidupan, teror yang mengancam dan merenggut kehidupan orang lain, bahkan teror dengan mengakhiri hidupnya sendiri.
Bagaimana mungkin kita memparalelkan orang-orang dengan kondisi kejiwaan semacam ini dengan kaum miskin? Fakta lain, para teroris jelas merupakan orang-orang yang asosial. Terorisme merupakan bentuk ekstrem dari kondisi asosial mereka itu. Padahal, kalau kita mau melihat kenyataan, kaum miskin justru orang-orang yang sangat menjunjung tinggi kehidupan sosial.
Jadi, jelaslah bahwa mengaitkan terorisme (atau para teroris) dengan kaum miskin merupakan pelecehan dan penghinaan terhadap kaum miskin. Dengan demikian, segera hentikanlah menyebar mitos bahwa kemiskinan merupakan penyebab terorisme!