Politik

Menimbang Terbentuknya Poros Ke-4

Kamis, 7 September 2023, 17:42 WIB
Dibaca 339
Menimbang Terbentuknya Poros Ke-4

Pepih Nugraha

Penulis senior

Selepas pengkhianatan yang dilakukan Anies Baswedan dengan bos besarnya Surya Paloh terhadap Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Demokrat mengambil dua sikap final: 

mencabut dukungan untuk Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden, dan secara resmi keluar dari Koalisi Perubahan untuk Perbaikan (KPP).

Demokrat sempat emosional. Wajar, karena apa yang dilakukan Surya Paloh dengan "mengawinkan" Anies Baswedan dengan Muhaimin Iskandar, jelas-jelas menjegal kesempatan AHY selaku cawapres. Padahal melalui surat yang ditulisnya, Anies menginginkan AHY kelak yang akan mendampinginya. 

Tetapi, mandat yang konon diberikan Surya Paloh kepada Anies untuk memilih cawapres sesuai hatinya itu terbukti mandat ompong belaka. Nyatanya, Surya Palohlah yang berkuasa menentukan Cak Imin buat mendampingi Anies.

Masih menjadi pertanyaan besar mengapa Surya Paloh tiba-tiba memilih Cak Imin dan bukannya AHY. Padahal, AHY adalah orang dalam KPP dan Cak Imin orang luar, bahkan sudah menjadi bagian dari Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) bersama Prabowo Subianto.

Sebagai politikus dan bahkan "kingmaker", Surya berkepentingan menggoyang koalisi lain sebagai pesaingnya. Latar belakang Nasdem, partai yang dipimpinnya, membajak para caleg potensial dengan gelontoran Rupiah sudah menjadi "kredonya" di dua pemilu lalu, sehingga cara yang sama dilakukan untuk "membajak" Cak Imin yang dalam kondisi "bagai layangan putus tali" atau dalam konteks pacaran hanya di-PHP Prabowo yang tak kunjung "menikahinya". 

Di sisi lain, Surya melihat ke-NU-an Cak Imin yang bakal menangguk suara penting di Jawa Timur. Pilihannya tidak pada AHY atau Ahmad Heryawan lebih karena memenuhi "rasa keadilan", sebab PKS akan tersakiti jika Surya lebih memilih AHY untuk pendamping Anies. Demikian pula sebaliknya. Maka, Cak Imin ibarat mendapat durian runtuh -bukan sekadar durian dalam kardus- dengan didapuk secara mendadak sebagai cawapres. Memang itu tujuannya.

Belum bibir kering, sudah terdengar ada upaya meng-KPK-kan Cak Imin untuk kasus "durian dalam kardus" yang belum tuntas. Tujuannya bukan menerungku Cak Imin, tapi sekedar "memblejeti" kelakuan Cak Imin di masa lalu, yang mempengaruhi elektabilitas Anies. Ini semacam serangan balik terhadap Cak Imin. Siapa yang menyerang? Pastilah orang-orang yang tersakiti.

Bagi Demokrat, pengkhianatanan Anies dan Surya Paloh ini semakin memperkuat keyakinan bahwa pemerintah (Jokowi) yang selama ini dituduh mengobok-obok Demokrat dan bahkan mau merebutnya lewat tangan Moeldoko, hanyalah isapan jempol belaka. Bahkan, di jalur hukum Demokrat AHY tetap menang sampai di putusan Mahkamah Agung. Masih mau menuduh Jokowi?

Syukurlah tidak ada pernyataan bahwa Jokowi berada di balik penjegalan AHY, sekaligus menunjukkan sikap yang lebih dewasa. Ketika Surya dipanggil Jokowi usai penjodohan "Acakin" (Anies-Cak Imin), semakin memperkuat bukti bahwa Jokowi ingin mengetahui langsung duduknya perkara mengapa pilihan itu yang diambil?

Lalu apa yang harus dilakukan Demokrat yang ketua umumnya (AHY) dikhianati dan disakiti sedemikian rupa? Jawabannya: melangkah ke depan! Tidak usah terlalu larut dan hanyut di kubangan masa silam yang menyakitkan. Itu tidak akan selesai hanya dengan tangisan atau kemarahan. Harapan masih ada di depan. 

Pilihan bagi Demokrat ada tiga: pertama, bergabung secepatnya ke KKIR atau PDIP; kedua, tidak bergabung ke mana-mana dengan memposisikan diri sebagai oposisi murni; ketiga membentuk "poros ke-empat" bersama PPP dan PKS.

Ketiga kemungkinan ini bisa ditempuh, tetapi pilihan ketiga (terakhir) sangat seksi dan memungkinkan asalkan ketiga partai itu -Demokrat, PPP, PKS- sepakat membentuk koalisi baru di luar tiga koalisi yang sudah terbentuk.

Kuncinya ada pada PPP yang kini berkhidmat pada PDIP dengan menyatakan diri "bersama" partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri. Tetapi, kebersamaan bisa goyah mengingat Sandiaga Uno yang kini menjadi bagian dari PPP digadang-gadang sebagai cawapres. Bagi Sandiaga yang berkantong tebal, kembali menjadi cawapres bukanlah kemajuan. Ia harus naik kelas menjadi capres. 

Dan, jalan menuju capres baginya kini benar-benar terbuka dengan turbulensi yang terjadi di tubuh KKP di mana Demokrat yang merasa dikhianati tiba-tiba undur diri. AHY kini menjomblo. Bukankah ini kesempatan untuk membentuk koalisi dengan mengajak AHY?

Secara hitungan ambang batas Presidential Threshold 20 persen, ketiga partai ini mencapai 20,5 persen. Artinya, mereka bisa membentuk "poros ke-empat" dengan komposisi Sandiaga Uno sebagai capres dan AHY sebagai cawapres. Jika pasangan ini terbentuk, maka ada penyegaran dari peserta kontestasi Pilpres 2024 sebagai "pasangan milenial", yang bisa jadi menjadi nilai tambah. 

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sendiri selaku Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat mengungkapkan adanya tawaran membentuk koalisi baru, yakni gabungan Demokrat, PKS, dan PPP. Tawaran itu, menurut SBY disampaikan oleh salah seorang menteri aktif di Kabinet Indonesia Maju pimpinan Presiden RI Joko Widodo.

"Kita juga tahu seorang menteri, sekarang ini, menteri masih aktif dari kabinet kerja pimpinan Presiden Jokowi, secara intensif melakukan lobi, termasuk kepada Partai Demokrat dengan menawarkan mengajak membentuk koalisi yang baru, koalisi Demokrat, PKS, dan PPP. Yang bersangkutan mengatakan yang disampaikan itu, inisiatif ini sudah sepengetahuan 'Pak Lurah'. Kata-kata sang menteri, bukan kata-kata saya," papar SBY saat memberi arahan dalam Sidang Majelis Tinggi Partai (MTP) Demokrat di kediamannya, Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Jumat 1 September 2023.

Jika tawaran itu memang sudah ada, tinggal dimatangkan saja pembentukan poros ke-empat itu karena sangat memungkin baik diri sisi misi-visi maupun gizi (cuan). Ingat, Sandi itu pengusaha muda berkantong tebal, yang bisa mengajak bohir lainnya bergabung.

Bagi pemilih, semakin banyak pilihan berarti semakin banyak alternatif, yang berarti akan semakin baik. Mereka tidak semata-mata dihadapkan pada pilihan orang-orang tua dan manula yang akan mereka jadikan sebagai pemimpin nasional.

***