Politik

Ruang Publik: Sing Sapa Salah, Bakal Seleh

Sabtu, 27 Maret 2021, 18:01 WIB
Dibaca 1.668
Ruang Publik: Sing Sapa Salah, Bakal Seleh

Public sphere (ruang publik) itu telanjang. Karena itu, keramat. Barangsiapa menyalahgunakannya, akan celaka. Menggenapi pepatah dalam bahasa Jawa: Sing sapa salah, bakal seleh. Siapa yang salah, bakal jatuh.

Public Sphere (ruang publik),  media, dan masyarakat telah lama menjadi objek kajian akademik.

Nicolas Garnham dalam The Media and Public Sphere (Routledge, 2004: 359) menyatakan bahwa teori public sphere (PS) dikembangkan dari konsep Jürgen Habermas, salah satu tokoh Sekolah Frankfurt.

Ia antara lain mencatat, “..as articulated in particular Habermas argued that, just as the participatory democracy of the Athenian agora depended upon the material base of slavery, …. “

Sementara itu, dalam buku Studies in Ethnometdhology (Blackwell Publishing Ltd., Oxford, 2003), Harold Garfinkel membahas PS, dengan mengacu pada konsep Habermas juga dan mencatat "by the public sphere" we mean first of all a realm of our social life in which something approaching public opinion can be formed.”

Jadi, PS dilihat sebagai bagian dari praktik demokrasi. Di mana tiap-tiap warga bebas menyatakan pendapatnya –melalui media apa pun, termasuk media cetak dan elektronika. Bahkan, kini di media sosial. Suatu migrasi perpindahan penggunaan media yang terjadi terutama tiga tahun belakangan ini. Di mana media pengarus-utama (main stream) berbagi, bahkan beralih kuasanya ke me media sosial.

Tantangannya adalah: kebebasan menyatakan pendapat bisa berlangsung massif. Bahkan di luar etika dan kepatutan. Kadang melanggar norma. Tidak jarang, mencederai kemanusiaan.

Dahulu, kebebasan menyatakan pendapat ini pada zaman Yunani kuno dilakukan di alun-alun. Alun-alun adalah ruang publik waktu itu, terutama di kota Athena. Sesuai dengan perkembangan zaman, ruang publik di Yunani dan di Eropa pada umumnya merambah dan meluas di kafe-kafe.

Tradisi menyatakan pendapat sebagai bentuk demokrasi ini terutama subur di Eropa dan Amerika. Di ruang-ruang publik, terutama kedai-kedai kopi dan kafe, ramai orang berdiksusi. Bebas. Mereka dapat menyatakan pendapat mengenai apa pun juga yang menyangkut kehidupan bersama (publik). Orang bebas menyatakan pendapat tanpa rasa takut dan tanpa dibatasi pihak mana pun, termasuk penguasa, pihak keamanan, dan atasan.
***

Pada zaman Orde Baru, tidak ada ruang publik baik di tempat terbuka dan di tempat umum. Semua takut karena dibungkam dan diancam. Namun, begitu Reformasi (1998), ruang publik terbuka. Orang mulai berani bicara, entah di ruang terbuka, entah di media apa pun.

Wimar Witoelar dikenal pada zaman Reformasi dengan talk show-nya di stasiun radio dan TV. Radio republik Indonesia (RRI) PRO2 FM dikenal dengan public sphere-nya yang kritis (waktu reformasi), yang benar-benar tidak memilih narasumber untuk menyatakan pendapat.

Kini ada beberapa stasiun TV dan radio yang menyediakan PS, namun kadang sudah direkayasa (ditentukan siapa narasumbernya). Beberapa memang memberi kesempatan langsung kepada masyarakat untuk berkomentar ata suatu topik tertentu (dengan menelepon). Beberapa stasiun radio menyebutnya “talk show interaktif”.

Media cetak juga juga menyediakan PS, antara lain lewat rubrik “Pembaca Menulis/Surat Pembaca” atau rubrik “Opini”. PS juga tercermin dalam kedai-kedai kopi dan kafe-kafe, serta acara-acara talkshow.

Di kafe-kafe, termasuk di kafe Plaza Semanggi, bilangan Sudirman, Thamrin, Menteng, Senayan, Kemang, di sudut-sudut kota Jakarta, PS juga tumbuh subur. Topik pembicaraan cukup luas, mulai dari masalah politik, ekonomi, sosial, kesra, dan kebudayaan pada umumnya.

Hal yang agak berbeda dengan pengamatan Habermas yang dahulu melihat bahwa peserta diskusi terbuka di kafe-kafe pada umumnya kaum pria, kini kaum wanita juga banyak. Akan tetapi, ditinjau dari kelas sosial mereka sama: kelas menengah ke atas. Jadi, public sphere bukan sekadar diskusi dan merupakan ungkapan demokrasi, akan tetapi juga menjadi sebuah life style.

Dengan demikian, sesungguhnya PS di Indonesia saat ini masih ada sebagai ungkapan demokrasi dan representasi gaya hidup kelas menengah. Namun, ada warna sendiri sesuai dengan zamannya.

***

Bagaimana zaman now?

Ruang publik untuk bertatap muka, atau berdiskusi langsung, praktis telah  terbatas. Terutama selama setahun ini, akibat dampak pandemi Covid-19. Melanggar aturan, bisa kena jeratan pasal jika berkerumun dalam jumlah banyak. Karena itu, suatu pertemuan terbatas jumlahnya. Lebih banyak media yang bekerja sebagai the extension of man. Webinar, video call, atau zoom meeting adalah pilihan untuk "bekerja dan bertemu". Kecuali topik atau masalah yang dibicarakan atau ditangani benar-benar dianggap urgen, baru bertemu langsung.

Saya menyaksikan di tayangan sebuah video, orang-orang berkunjung ke rumah pribadi Moeldoko. Ketika mendengar alasannya, bahwa sebagai tuan rumah tidka bisa menolak tamu yang datang, masuk akal saja. Namun, tamu yang datang itu ternyata bukan tamu biasa. Ini pertama kali dibantah bahwa yang datang "tamu biasa", bukan tamu politik.

Kemudian AHY mengadakan konferensi pers. Mengumumkan akan ada rencana kudeta atas Partai Demokrat. Karena diumumkan di ruang publik, isu itu bergulir deras, dan panas. Lagi-lagi ada bantahan bahwa tidak ada niat sama sekali ambil partai orang lain, apalagi kudeta.

Tapi publik menjadi tercengang begitu ada Kongres Luar Biasa (KLB). Di luar dugaan. Endusan bahwa akan ada kudeta Partai Demokrat terbukti. Sebaliknya, Moeldoko terbukti juga berbeda perkataan dan perbuatannya.

Ruang publik telah menjadi panggung drama. Publik menyaksikan para aktor di sana. Mereka bisa melihat dan menilai. Jika ruang publik adalah arena dan ajang membentuk opini publik, maka sebenarnya telanjang bulat fakta yang dipertontonkan.

Kebenaran lambat laun akan terungkap. Jika bukan sekarang, nanti pada saatnya. Tempus omnia revelat. Waktu akan mengungkap semuanya!

Dalam panggung, ruang publik itu, publik (harusnya) bisa menilai. Yang benar tetap benar. Yang salah, akan jatuh. Dalam peribahasa Jawa, "Sing sapa salah (bakal) seleh."

Siapa yang salah. Ia akan jatuh dengan sendirinya.

***

Penulis Sarjana Filsafat, S-2 bidang kajian media. Pengajar bidang kajian media dan mata kuliah "Creative Writing".

 

Tags : politik