Terlambat Membawa Nikmat, Renungan Sekilas Perjalanan Menuju Krayan

Ada saat dalam hidup ketika kita merencanakan segala sesuatu dengan cermat, berharap semua berjalan sesuai waktu dan rencana. Tetapi hidup, seperti juga perjalanan, sering mengajarkan bahwa terlambat bukan selalu berarti gagal. Kadang, keterlambatan adalah jalan lain menuju kedalaman makna.
Saya mengalami ini baru-baru ini, ketika menerima undangan dari seorang sahabat dan tokoh literasi yang saya hormati, Yansen TP — mantan Wakil Gubernur Kalimantan Utara — untuk berkunjung ke Krayan. Sebuah wilayah perbatasan yang tak hanya kaya akan kearifan lokal, tetapi juga menjadi titik simpul penting bagi gerakan literasi di utara Indonesia. Saya dijadwalkan naik speed boat dari Tarakan ke Malinau, tempat transit sebelum menuju Krayan.
Namun, pesawat Super Air Jet yang saya tumpangi terlambat mendarat di Bandara Juwata, Tarakan. Pak Sukri, asisten Pak Yansen, sudah mengingatkan agar saya segera berdiri di lorong pesawat dan maju ke depan begitu roda menyentuh landasan. Kami ingin mengejar waktu. Tapi hukum realitas kadang tak bisa dilobi: ketika saya tiba di pelabuhan, speed boat terakhir menuju Malinau sudah berangkat.
"Sudah. Kita terlambat. Tidak ada lagi speed yang ke Malinau, saya tidak tahu lagi bagaimana caranya," katanya menyambut saya, berdiri di samping Honda CRV edisi awal, mobil antik milik Pak Yansen, demikian saya biasa memanggil tokoh Krayan ini. Saya sendiri, mengandalkan intuisi yang saya miliki, berusaha tenang dan tidak takut gagal mencapai Malinau hari ini. "Multae viae Malinaum ducunt", dalam hati memelesetkan pepatah lama "banyak jalan menuju Roma" (Multae viae Romam).
Pak Sukri sudah memesankan saya satu tiket speed untuk Tarakan-Malinau, juga makanan yang harus saya bawa untuk saya nikmati di atas speed berhubung tidak akan sempat makan di restoran di Tarakan. Meski demikian, Pak Sukri tetap mengarakan CRV antik ke Pelabuhan Tarakan. Di sana hanya ada Speed yang menuju Tanjung Selor, Ibukota Kalimantan Utara dan...
hanya tinggal satu kursi tersisa di speed boat ke Tanjung Selor. Saya mengambilnya.
Saya menikmati perjalanan speed menuju Tanjung Selor karena ini merupakan perjalanan nostalgia, di mana tiga tahun lalu saya berada di ibukota Tanjung Selor ini selama lebih dari dua bulan untuk mengerjakan proyek penulisan buku sejarah. Dari tengah Sungai Kayan dengan deburan ombak di belakang speed, saya melihat "meja terpanjang" bercat biru-putih, juga menara kota dan perasaan seperti terperosok ke masa silam.
Menunggu kedatangan penjemput yang saya belum tahu siapa orangnya di beranda pelabuhan. Saya membunuh waktu dengan membaca-baca pesan di ponsel. Tidak lama kemudian saya dijemput Toyota "double cabin" yang gagah. Dari sana, perjalanan dilanjutkan lewat darat bersama Nasa — keponakan Pak Yansen yang bertindak selaku sopir.
Mobil melaju menyusuri jalan yang membawa ingatan saya ke sebuah momen lima tahun silam. Saat itu, saya, Yansen TP, Masri Sareb Putra, dan Dodi Mawardi — sesama pegiat literasi — menempuh jalur yang sama. Perjalanan fisik yang saat itu juga menjadi perjalanan batin: menyusuri jalan panjang penuh cerita, diskusi, dan canda di tengah semesta sunyi Kalimantan sambil bernyanyi mengikuti suara Koes Plus dari tape mobil.
Kala itu pun kami tidak selalu tepat waktu. Tapi kami tiba — dan lebih dari itu, kami disambut oleh pengalaman yang tak bisa dipesan dengan presisi kalender. Kami disambut oleh waktu yang memberi makna, bukan sekadar jadwal.
Kini saya mengerti, keterlambatan bukan selalu kekalahan. Ia bisa menjadi perantara agar kita memasuki jalur yang lebih filosofis — lebih manusiawi. Bahwa hidup tak harus selalu cepat, bahwa nikmat bisa datang justru saat kita harus menunggu, berbelok, atau melambat.
Sosiolog Norbert Elias pernah menulis bahwa “waktu” bukan hanya ukuran mekanis, tapi konstruksi sosial. Kita merasa terlambat karena sistem mengatur jam-jam keberangkatan dan kedatangan. Tapi apakah batin kita juga ikut terlambat? Atau justru malah lebih cepat dewasa karena dipaksa berdamai dengan hal-hal yang tidak bisa kita kontrol?
Dalam masyarakat modern, kita dididik untuk menyembah kecepatan. Tapi dalam kebudayaan-kebudayaan lokal — seperti di Krayan — kita belajar bahwa lambat bukan lawan dari cepat, melainkan irama yang berbeda dari semesta. Seperti musim yang tak bisa dipaksa panen, atau sungai yang tak bisa disuruh deras.
Perjalanan saya ke Krayan adalah perjalanan menuju ruang sunyi yang tidak dipesan. Ruang yang tidak saya rancang, tapi ternyata saya butuhkan. Ia hadir karena saya “terlambat”. Tapi di situlah nikmat: saya belajar lebih banyak tentang diri saya sendiri, tentang manusia lain, dan tentang waktu yang tak selalu harus dikendalikan.
Dan bukankah begitu juga dengan hidup?
Mobil yang saya tumpangi membelah malam di bawah sinar terang bulan yang membasuh hutan Kalimantan, menuju Malinau sebagai kota transit sebelum menuju Krayan.
Tanjung Selor, 10 Juni 2025