Literasi

Puisi: Wajah Cinta Fridolin Ukur

Sabtu, 30 Januari 2021, 10:59 WIB
Dibaca 861
Puisi: Wajah Cinta Fridolin Ukur
merawat ingatan akan sang penyair besar, sastrawan awal Dayak.

Maco-Mahin, kawan-rapat dan teman diskusi saya, hari ini tag agenda di beranda FB saya. Sangat menarik. Sehingga perlu saya bagikan wartanya, kepada sesiapa saja. Acara Baca puisi Fridolin Ukur. Saya lama mengenal sang penyair, sastrawan Dayak berpeci hitam. Dan telah pun menerbitkan biografi dan profilnya, sebagai sastrawan Dayak.

Tak kuasa saya menampik undangan Marco. Hari ini, gabung via ZOOM (cermati posternya - terlampir), pukul 15.00. Mahin menulis prolog: Mari kawan-kawan dan saudara kita bersama-sama membaca Puisi Pak Fridolin Ukur, Sastrawan Dayak.

Berikut ini, saya postingkan beberapa syair Ukur, yang menggugah dan membuat berdiri bulu roma. Kiranya, dapat menjadi bahan untuk dibaca. Khawatir rekan-rekan sulit menemukan karyanya, yang tercecer oleh waktu dan media yang lama bermetamorfosis.

***

Fridolin Ukur

WAJAH CINTA

Terlalu sederrhana

bila malamini kita terpukau, pada

kisah lembut syahdu mesra

tentang dara melahirkan dalam keperawanan

tentang bayi mungil dalam palungan

 

            terlalu dangkal

            bila perayaan ini membuat kita terpana

            dalam buai khusuk senandung damba

            tentang malaikat, domba dan gembala

 

Akan kubantah

khotbah-khotbah indah

tentang surga

yang hanya membuat terlena

dalam pesona mimpi-mimpi hampa

 

Akan kutantang

cerita-cerita iman yang alpa

pada kesetiakawanan sesame insan,

tutur khidmat

yang hanya bergema di ruang bicara

larut dalam galau hipokrisi

 

Karena dia

yang malam ini datang menyapa

melawat, berkunjung mencari kita

memilih sudut yang pling sunyi

ketika terdampar di tikungan malam

menggelepar terkapar di kandang hewan

 

sebagai bayi tunawisma

dilahapnya dada sang bunda

dihirupnya udara tengik

berbau kotoran domba

 

Dalam kesetiaan tulus

ditanggalkannya kemuliaan kudus

dimasukkannya dunia penuh bencana

dipeluknya bumi pda dosa

 

Begitu akrab dengan kemiskinan

begitu dekat dengan kepapaan

sekalipun ia kaya

menjadi miskin karena kita

agar kita menjadi kaya

karena kemiskinannya

 

Dalam dirinya

Tergambar wajah cinta!

 

 

 

Fridolin Ukur

MALAM PUN PATAH

 

Di atas tumpukan sampah

kami bangun kemah-kemah

dari sobekan plastik

koran bekas dan karton tua

 

di bawah jembatan

kami membuka malam

diterpa dingin, badai dan topan;

 

atas tikar sobek butut

kami tempuh hidup, larut

dalam nestapa tak kunjung surut;

 

            Di rusuk kota paling pengap

            Di sana pun tiada tempat menginap,

Di daerah kumuh yang paling gelap

 

Keseharian kami yang sekarat

Adalah lapar yang memagut-magut

 

Konon,

ketika Kau dalam kebebasan

memilih nista yang paling papa

ketika kau dalam kesetiaan

memilih kandang tempat bertandang

 

Malam pun patah

Malam pun  tak lagi buntu!

 

Biar bulan tak secantik dulu

ada bintang mengerdip ramah

atas hidup yang s ayu

membentang dalam debu

 

Ada ketulusan menyentuh hati

putih lembut, menyanyang sekali

jamahan persahabatan,

membawa harapan

akan kebajikan dan keadilan!

 

Cipayung Jaya, Desember 1985

 

 

 

Fridolin Ukur

PERISTIWA MALAM

 

(i)

Betapa gandrungnya dunia ini

merayakan kejantanan

menyanjung kebetinaan

inilah gambar wajah bumi!

 

Sementara lagu dan bunyi

berpekikan, ada raung insan lara

dalam genangan darah bermuncratan

menghantui mimpi mereka yang tak berdaya

 

kecupan musim-musim indah

tak lagi memberi makna:

hangatnya musim kemarau

sejuknya udara di musim hujan;

 

semua itu hanya mengundang kecewa,

derita pun berlanjut

seperti tak pernah usai

 

bumi kami bumi berbencana

bermusimkan tangis tanpa tawa

rusaknya keindahan

dalam keterasingan yang tak kunjung beranjak

inilah keluh sejagat tak pernah bertepi

 

(ii)

Begitu tua rindu menghangati dada Hawa

sejak ia malu pada ketelanjangan yang begitu lembut;

keluhnya yang lirih mengaliri nadi-nadi

pengembaraan insan di bawah matahari:

antara lara dan janji

pada kepulihan semesta

kebeningan jernih kudusnya cinta

sudah lama mengabur, menciut dan susut

terpojok ke ujung paling sudut

begitu terlunta, dalam tualang semakin tua

 

datanglah peristiwa malam ini

membelah duni yang paling hitam;

mimpi dan kenyataan yang saling

cemburu

cahaya dan kelam yang saling mmemburu

berjumpa malam ini

dalam pelukan perdamaian

tak ada lagi rahasia membisu!

 

(iii)

Dalam peristiwa malam ini

terjadi pembedahan jantung semesta:

punah sudah pilu yang abu, lara yang membusuk

 

Ada denyut baru: denyut cinta!

Ada darah baru: darah keadilan!

 

Horison, No. 12, Th. XXXIX, Desember 2005

 

*

Tags : literasi