Puisi: Wajah Cinta Fridolin Ukur
Maco-Mahin, kawan-rapat dan teman diskusi saya, hari ini tag agenda di beranda FB saya. Sangat menarik. Sehingga perlu saya bagikan wartanya, kepada sesiapa saja. Acara Baca puisi Fridolin Ukur. Saya lama mengenal sang penyair, sastrawan Dayak berpeci hitam. Dan telah pun menerbitkan biografi dan profilnya, sebagai sastrawan Dayak.
Tak kuasa saya menampik undangan Marco. Hari ini, gabung via ZOOM (cermati posternya - terlampir), pukul 15.00. Mahin menulis prolog: Mari kawan-kawan dan saudara kita bersama-sama membaca Puisi Pak Fridolin Ukur, Sastrawan Dayak.
Berikut ini, saya postingkan beberapa syair Ukur, yang menggugah dan membuat berdiri bulu roma. Kiranya, dapat menjadi bahan untuk dibaca. Khawatir rekan-rekan sulit menemukan karyanya, yang tercecer oleh waktu dan media yang lama bermetamorfosis.
***
Fridolin Ukur
WAJAH CINTA
Terlalu sederrhana
bila malamini kita terpukau, pada
kisah lembut syahdu mesra
tentang dara melahirkan dalam keperawanan
tentang bayi mungil dalam palungan
terlalu dangkal
bila perayaan ini membuat kita terpana
dalam buai khusuk senandung damba
tentang malaikat, domba dan gembala
Akan kubantah
khotbah-khotbah indah
tentang surga
yang hanya membuat terlena
dalam pesona mimpi-mimpi hampa
Akan kutantang
cerita-cerita iman yang alpa
pada kesetiakawanan sesame insan,
tutur khidmat
yang hanya bergema di ruang bicara
larut dalam galau hipokrisi
Karena dia
yang malam ini datang menyapa
melawat, berkunjung mencari kita
memilih sudut yang pling sunyi
ketika terdampar di tikungan malam
menggelepar terkapar di kandang hewan
sebagai bayi tunawisma
dilahapnya dada sang bunda
dihirupnya udara tengik
berbau kotoran domba
Dalam kesetiaan tulus
ditanggalkannya kemuliaan kudus
dimasukkannya dunia penuh bencana
dipeluknya bumi pda dosa
Begitu akrab dengan kemiskinan
begitu dekat dengan kepapaan
sekalipun ia kaya
menjadi miskin karena kita
agar kita menjadi kaya
karena kemiskinannya
Dalam dirinya
Tergambar wajah cinta!
Fridolin Ukur
MALAM PUN PATAH
Di atas tumpukan sampah
kami bangun kemah-kemah
dari sobekan plastik
koran bekas dan karton tua
di bawah jembatan
kami membuka malam
diterpa dingin, badai dan topan;
atas tikar sobek butut
kami tempuh hidup, larut
dalam nestapa tak kunjung surut;
Di rusuk kota paling pengap
Di sana pun tiada tempat menginap,
Di daerah kumuh yang paling gelap
Keseharian kami yang sekarat
Adalah lapar yang memagut-magut
Konon,
ketika Kau dalam kebebasan
memilih nista yang paling papa
ketika kau dalam kesetiaan
memilih kandang tempat bertandang
Malam pun patah
Malam pun tak lagi buntu!
Biar bulan tak secantik dulu
ada bintang mengerdip ramah
atas hidup yang s ayu
membentang dalam debu
Ada ketulusan menyentuh hati
putih lembut, menyanyang sekali
jamahan persahabatan,
membawa harapan
akan kebajikan dan keadilan!
Cipayung Jaya, Desember 1985
Fridolin Ukur
PERISTIWA MALAM
(i)
Betapa gandrungnya dunia ini
merayakan kejantanan
menyanjung kebetinaan
inilah gambar wajah bumi!
Sementara lagu dan bunyi
berpekikan, ada raung insan lara
dalam genangan darah bermuncratan
menghantui mimpi mereka yang tak berdaya
kecupan musim-musim indah
tak lagi memberi makna:
hangatnya musim kemarau
sejuknya udara di musim hujan;
semua itu hanya mengundang kecewa,
derita pun berlanjut
seperti tak pernah usai
bumi kami bumi berbencana
bermusimkan tangis tanpa tawa
rusaknya keindahan
dalam keterasingan yang tak kunjung beranjak
inilah keluh sejagat tak pernah bertepi
(ii)
Begitu tua rindu menghangati dada Hawa
sejak ia malu pada ketelanjangan yang begitu lembut;
keluhnya yang lirih mengaliri nadi-nadi
pengembaraan insan di bawah matahari:
antara lara dan janji
pada kepulihan semesta
kebeningan jernih kudusnya cinta
sudah lama mengabur, menciut dan susut
terpojok ke ujung paling sudut
begitu terlunta, dalam tualang semakin tua
datanglah peristiwa malam ini
membelah duni yang paling hitam;
mimpi dan kenyataan yang saling
cemburu
cahaya dan kelam yang saling mmemburu
berjumpa malam ini
dalam pelukan perdamaian
tak ada lagi rahasia membisu!
(iii)
Dalam peristiwa malam ini
terjadi pembedahan jantung semesta:
punah sudah pilu yang abu, lara yang membusuk
Ada denyut baru: denyut cinta!
Ada darah baru: darah keadilan!
Horison, No. 12, Th. XXXIX, Desember 2005
*