Literasi yang Menyatukan 4 Sekawan
Manusia sesungguhnya adalah animal lector - makhluk pembaca. Bukan saja pembaca huruf, melainkan juga pembaca dunia.
Literasi, dalam seluruh keluasannya, adalah cara manusia menafsirkan hidup yang terus bergerak.
Banyak orang menyangka literasi hanyalah soal membaca dan penulisan. Padahal sesungguhnya ia beranak-pinak, meluas seperti sungai yang bercabang tanpa akhir.
Berapa jenis Literasi?
Jika kita membuka mata dengan hati tenteram, akan tampak bahwa literasi itu tidak tunggal. Para ahli menyebutnya multiliteracies, aneka kecakapan memahami hidup.
Di antara yang paling pokok adalah:
- Literasi baca-tulis, pohon induk segala pengetahuan.
- Literasi numerasi, kemampuan menaklukkan angka dan mengolah logika.
- Literasi digital, kepekaan baru manusia abad ke-21.
- Literasi finansial, kemampuan mengelola rezeki dengan bijak.
- Literasi budaya dan kewargaan, kecakapan memahami diri sebagai bagian dari bangsa.
- Literasi sains, kemampuan membaca alam sebagaimana membaca kitab suci.
Selain itu, masih banyak turunannya. Literasi media, literasi lingkungan, literasi kesehatan. Semua itu adalah cara manusia menamai dunia agar ia tidak tersesat oleh perubahan zaman yang bergerak seperti ombak pasang.
Mengapa Literasi Baca-Tulis Menjadi Penting?
Di antara semua jenis literasi, baca-tulis tetaplah akar yang paling dalam. Tanpa akar, tidak ada pohon yang dapat berdiri. Tanpa baca-tulis, tidak ada bangsa yang dapat tegak.
Membaca adalah tindakan menyerap cahaya dan menampung hikmah berabad-abad. Menulis adalah tindakan memberi kembali cahaya itu kepada dunia, sebuah tindakan memberi kesaksian, memberi jejak, dan memberi arah.
Di negeri yang luas seperti Indonesia, dengan hutan, sungai, lembah, dan kepulauan, baca-tulis adalah jembatan di atas jurang. Ia mempertemukan manusia yang jauh dan menyatukan pengalaman yang berserak. Itulah sebabnya bangsa yang kuat selalu bertumpu pada warga yang gemar membaca serta rajin menulis. Tanpa itu, wawasan mengecil dan imajinasi mengering. Masyarakat pun mudah digiring oleh kabar palsu yang memecah-belah.
Baca-tulis adalah kerja peradaban. Dengan membaca, manusia menyelamatkan ingatan. Dengan menulis, manusia menyeberangkan ingatan itu kepada generasi berikutnya.
Empat Penggiat Literasi Nasional
Di tengah derasnya arus digital dan kebisingan media sosial, ada empat sosok yang memilih jalan sunyi. Mereka menaruh perhatian penuh pada hidupnya untuk menghidupkan literasi. Mereka ialah Yansen TP, Masri Sareb Putra, Pepih Nugraha, dan Dodi Mawardi. Keempatnya memahami bahwa pekerjaan literasi adalah pekerjaan jangka panjang. Pekerjaan itu kadang melelahkan, tetapi tidak pernah sia-sia.
Yansen TP
Puluhan tahun menekuni dunia birokrasi dan politik, penulis, dan penggerak masyarakat Borneo. Yansen percaya bahwa literasi adalah jalan pembangunan manusia. Ia membesarkan perpustakaan kampung dan memajukan sekolah-sekolah. Menurutnya, membaca bukan sekadar hobi, melainkan cara menumbuhkan martabat.
Masri Sareb Putra
Peneliti, penulis, dan pegiat budaya Dayak. Masri menghidupkan literasi sebagai bentuk belarasa terhadap identitas dan sejarah masyarakat Borneo. Ia menulis untuk menjaga ingatan, meneliti untuk merawat akar, dan mengajar agar orang Dayak menjadi tuan di tanah sendiri.
Pepih Nugraha
Wartawan senior, pendiri komunitas menulis, dan pelatih ribuan penulis muda. Pepih menjaga api literasi seperti seorang penjaga mercusuar, sosok yang tenang namun selalu menyala, agar siapa pun yang ingin belajar menulis tidak kehilangan arah.
Dodi Mawardi
Penulis produktif dan pendiri sekolah menulis. Dodi menunjukkan bahwa menulis bukan bakat melainkan latihan penuh disiplin. Ia membimbing banyak orang membukukan kisah hidupnya dan mengubah pengalaman menjadi pengetahuan yang dapat diwariskan.
Pelatihan Menulis di Malinau
Pada 27 November 2025 nanti, keempat tokoh literasi ini berkumpul. Mereka tidak datang membawa mimbar. Mereka datang dengan kerendahan hati dan tekad untuk melayani. Mereka duduk bersama warga Malinau dan sekitarnya. Hari itu, mereka mengadakan pelatihan menulis untuk siapa saja yang ingin belajar merawat dan menggiatkan kata-kata.
Mereka akan mengajarkan bahwa menulis bukan sekadar merangkai kalimat. Menulis adalah menata hidup. Menulis adalah keberanian menatap diri, menata pengalaman, dan menyuarakan kebenaran. Di ruangan sederhana itu nanti, warga Malinau menulis kisahnya sendiri. Mereka menulis tentang hutan, tentang sungai, tentang keluarga, dan tentang kampung halaman yang hendak mereka jaga.
Pelatihan itu nanti akan menjadi seperti unggun api pada malam yang gelap. Dari sana, cahaya kecil merambat dan membesar, lalu menerangi wajah-wajah penuh harapan. Mereka tahu bahwa literasi bukan kemewahan. Literasi adalah hak setiap manusia.
- Rangkaya Bada