Literasi

Pesan Yansen TP kepada Warga Dayak (3) Ingat, Dayak Itu Identitas Bangsa yang Setara!

Kamis, 8 Agustus 2024, 08:54 WIB
Dibaca 204
Pesan Yansen TP kepada Warga Dayak (3) Ingat, Dayak Itu Identitas Bangsa yang Setara!
Yansen dan Merah-Putih

Pepih Nugraha

Penulis senior

Selain dikenal sebagai birokrat yang kini menjabat wakil gubernur Kalimantan Utara, Yansen TP adalah penggerak -bukan sekadar pegiat- literasi nasional yang telah menulis buku-buku fenomenal baik apa yang dikuasai maupun disukainya. Apa yang dikuasainya, jelaslah birokrasi, politik, budaya Dayak dan kepemimpinan. Semua tertuang dalam berbagai buku yang ditulisnya. Salah satunya buku Revolusi dari Desa, yang merupakan “buku babon” membangun desa yang bukan sebatas kata-kata, tetapi “ngewongke” desa yang selama ini terpinggirkan menjadi senyatanya. Desa menjadi bermarwah dan memiliki martabat.

Yansen demikian “fasih” menjelaskan bahwa apa yang disebut pembangunan nasional bisa dimulai dari desa. Buku yang bersumber dari desertasi doktoralnya di Universitas Brawijaya ini karenanya teruji secara metodologi dan terwujud secara praksis saat menjabat dua kali sebagai bupati Malinau yang ia jadikan sebagai “laboratorium” dalam menguji pemikirannya tersebut sampai- benar-benar menghasilkan kesimpulan yang sahih. Sedangkan hal yang disukainya berupa pemikiran kebangsaan sebagaimana tertuang dalam buku Mengkhianati Keputusan Sendiri dan Kaltara Rumah Kita.

Untuk itulah saat menjadi pembicara utama pada peresmian gedung rektorat Institut Teknologi Keling Kumang di Sekadau, Kalimantan Barat, Senin 5 Agustus 2024, Yansen memaparkan secara gamblang dan jernih tentang etnis Dayak dalam konstelasi sosial budaya kebangsaan Indonesia. Selaku salah seorang tokoh beretnis Dayak Lundayeh, pemikirannya tentang Dayak menjebol tembok subetnis Dayak yang jumlahnya mencapai 268 yang terbagi menjadi enam rumpun besar itu, yakni Punan, Klemantan, Apokayan, Iban, Murut, dan U’ud Danum itu. Ia ada dan berdiri untuk Dayak secara keseluruhan, baik yang berada di Pulau Kalimantan maupun yang berdiaspora ke luar Kalimantan.

Yansen selalu menenekankan, termasuk kepada insan cendekia warga Kalimantan Barat yang hadir di acara, bahwa Dayak selain aset bangsa dalam rumah besar Republik Indonesia, adalah salah satu “pemegang saham” republik ini. Meminjam pendirian sebuah perusahaan, Dayak bukan semata-mata pemegang saham, melainkan pendiri perusahaan itu secara otomatis karena Dayak inheren dengan rakyat Indonesia lainnya yang memang terbangun dari berbagai suku tersebut. Salah satu filosofi yang selalu ditekankannya, baik dalam buku-bukunya mapun saat menyampaikan gagasannya dalam berbagai forum adalah “bukan tempat yang mengubah kita, tetapi kitalah yang mengubah tempat”. Pendapat ini selintas agak berlawanan dengan peribahasa lama, “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”, tetapi sesungguhnya beririsan.

“Bukan tempat yang mengubah kita” mengindikasikan bahwa warga Dayak yang berdiaspora ke manapun -bahkan Dayak yang mukim di Pulau Kalimantan- wajib memiliki ketahanan budaya, sikap, dan mental yang kuat akan “kedayakannya” yang penuh dengan kearifan itu. Warga Dayak, karenanya tidak mudah terpengaruh budaya “liyan” (orang lain) saat berada di suatu tempat atau wilayah. “Di manapun kita (Dayak) berada, tetaplah Dayak yang memiliki kemandirian dalam bersikap, Dayak yang tidak mudah terpengaruh penetrasi budaya luar,” katanya. “Bukan tempat yang mengubah kita, kitalah yang mengubah tempat.”

Filosofi “kitalah yang mengubah tempat” sebagai kelanjutan dari “bukan tempat yang mengubah kita” memang terbuka untuk diuji, sebab tidak mudah mengubah suatu tempat. Dalam konteks pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur, bukan sekadar mengubah tempat di mana berdiri ibukota Republik, tetapi membangun sesuatu yang baru di tempat yang sama. Secara positif, tempat yang bisa diubah oleh etnis Dayak di manapun mereka berada adalah tempat yang positif dari sisi kemanfaatan. Ketika IKN berdiri di lingkungan di mana etnis Dayak berada, warga Dayak tetap harus memiliki ketahanan mental sebagai etnis Dayak meski warga luar dari berbagai etnis di Indonesia akan berdatangan ke IKN.  

“Tempat bukan menjadi masalah, diri kitalah yang menentukan, sebab kemampuan diri kitalah yang menentukan dan mengubah lingkungan. Fokus utama adalah kapasitas diri kita, menegaskan betapa pentingnya kemampuan diri, sikap, dan Tindakan serta semangat untuk memberdayakan diri sebagai agen perubahan. Pernyataan diri bahwa kita, Dayak, bukan objek tetapi subjek Pembangunan,” papar Yansen.

Untuk memahami jati diri sebagai bangsa Dayak secara keseluruhan, Yansen mengajak hadirin untuk tidak melupakan Sejarah berupa peradaban masa silam Dayak yang telah mendiami Pulau Kalimantan sejak puluhan ribu tahun lalu.

Menurut Yansen, tidak terbantahkan lagi bahwa suku Dayak merupakan penduduk asli Pulau Kalimantan. Meraka telah ada dan hidup sejak ribuan tahun yang lalu. Gua Niah yang ada di Sarawak, Malaysia, dan zaman batu di Sungai Krayan, adalah salah satu bukti antropologis. Bahkan Dayak telah hidup pada zaman prasejarah dengan gaya hidup berkelompok (berkoloni), memeluk kepercayaan animisme, dan hidup dari kekuatan alam.

Peradaban terus berevolusi dan sejak abad ke-4 Dayak mulai mengenal peradaban baru, yakni dengan masuknya kepercayaan baru agama Hindu. “Banyak catatan sejarah perkembangan Dayak, terakhir yang sangat prestisius adalah Tumbang Anoy di tahun 1894 yang biasa disebut ‘Tahun Perdamaian’ Dayak,” kata Yansen seraya mengajak warga Dayak untuk melakukan pengkajian secara akademis dengan menggali dan mendokumentasikan setiap hasil dan produk kajian. “Semua hasil nantinya harus diaktualisasikan, dijadikan muatan lokal di sekolah-sekolah, dipromosikan secara luas dan dilestarikan oleh Dayak sendiri.”

Agar Dayak memiliki kemandirian dengan ketahanan mental yang kuat sebagai etnis yang memperkaya keindonesiaan, Yansen mewanti-wanti bahwa Dayak tidak berada di bawah, di samping, apalagi di belakang, melainkan sama dan sejajar bersama etnis lainnya dalam konteks keindonesiaan dimaksud. “Mengapa demikian, karena kita (Dayak) merupakan salah satu entitas bangsa yang memiliki kesempatan dan kesetaraan dengan etnis lain membangun bangsa dan negara ini,” tekanya.

Yansen menambahkan, Dayak merupakan salah satu suku asli Nusantara yang telah mendiami Pulau Kalimantan sejak puluhan ribu tahun silam. Dayak memiliki kekayaan budaya, tradisi dan sistem adat yang unik dan beragam sehinggan berhak menjadi mitra dalam sistem sosial dan proses pembangunan bangsa yang berhak mendapatksn hak dasar entitas bangsa.

“Dayak merupakan entitas budaya dan etnis asli yang memiliki identitas adat dan tradisi yang khas. Dayak setara mewarnai kehidupan bangsa dan berkontribusi membentuk mozaik budaya bangsa,” kata Yansen kemudian. “Oleh karena itu, Dayak adalah representasi keberagaman Indonesia yang menegaskan identitas kebangsaan Indonesia.”

Kepada hadirin yang Sebagian besar beretnis Dayak, Yansen mengenalkan tiga konsep baru mengenai Dayak, yakni “Dayak Bangkit”, “Dayak Maju” dan “Dayak Indonesia”. Penjabarannya sebagai berikut: “Dayak Bangkit” adalah semangat memperjuangkan hak Dayak, merefleksikan semangat ‘Dayak Bangkit’ memperjuangkan kemajuan; “Dayak Maju” adalah Dayak maju secara sosial, ekonomi maupun budaya, bertekad untuk terus berubah maju dan berkualitas; sedangkan “Dayak Indonesia” berupa penegasan identitas diri dan keberadaan Dayak sebagai bagian integral Bangsa Indonesia. “Pernyataan diri sebagai satu komponen ini penting dalam membangun bangsa, bahwa Dayak adalah salah satu komponen utama bangsa yang terbantahkan,” katanya.

Setelah memaparkan Dayak dalam dimensi waktu masa lalu dan masa kini, sebagaimana sejarawan Yuval Noah Harari, Yansen juga menjelaskan tentang “Lima Perjuangan etnis Dayak dalam konteks “sejarah masa depan”, khususnya dalam memperjuangkan hak-hak mereka di masa mendatang.

“Lima Perjuangan” itu adalah; Pertama, memperjuangkan dan meningkatkan Fasilitas dasar yang berkualitas bagi Masyarakat Dayak. Kedua, memperjuangkan, mendorong dan membangkitkan semangat pendidikan, pengembangan budaya, tradisi adat dan kearifan lokal dalam memperkuat identitas Dayak sebagai bagian integral kehidupan bangsa Indonesia. Ketiga, memperjuangkan peningkatan status ekonomi untuk pertumbuhan dan kesejahteraan Dayak. Keempat, memperjuangkan perlindungan hak-hak Dayak atas tanah dan sumber daya alam sebagai bagian hidup Dayak. Kelima, memperjuangkan kehadiran Dayak dalam konstelasi politik dan kepemimpinan daerah dan nasional.

Pada akhir pemaparannya Yansen mengemukakan arti penting keberadaan Institut Teknologi Keling Kumang bagi warga Dayak, yakni; bentuk kesadaran dan keyakinan diri para intelektual dan cendekiawan Dayak terhadap masa depan bangsa Dayak dalam perjalanan bangsa Indonesia ke depan; bentuk kehadiran kekuatan pembangunan dan pengembangkan sumber daya Dayak sebagai kelompok minoritas; sebagai wadah dan alat pelestarian dan transmisi atau penyebaran nilai-nilai budaya Dayak kepada generasi penerus Dayak; menghadirkan dan meningkatkan akses pendidikaan bagi masyarakat Dayak serta menghadirkan kekuatan kolaborasi lembaga pendidikan yang dikelola Dayak dengan lembaga lainnya; dan penguatan identitas dan membangun kekuatan Dayak mendukung pembangunan berkelanjutan.

“Tempat tidak mengubah kita, tetapi kitalah yang mengubah tempat. Sebagai intelektual Dayak, kita harus selalu optimis, hadir membawa pembaruan. Saya ada untuk semua. Bersama kita pasti bisa dengan terus bersemangat dalam berkerja sama. Dayak bangkit, Dayak Maju, Dayak Indonesia,” pungkas Yansen.


(Selesai)