Penerapan Misiologi Kontekstual di Era Digital
Bagaimana Memanfaatkan Teknologi Tanpa Menghilangkan Jati Diri Sebagai Manusia. Penerapan Misiologi Kontekstual Di Era Digitalisasi
Oleh: Pdt. Jonfretles Kornalius
SEKOLAH TINGGI TEOLOGI SEHATI MALINAU
Penerapan misiologi kontekstual di era digital adalah tantangan yang menarik sekaligus mendesak di era Digital ini. Jika dulu misiologi kontekstual berbicara tentang bagaimana Injil masuk ke dalam budaya lokal, seperti adat Dayak, Jawa, Menado, Toraja atau Batak, kini konteksnya bertambah satu langkah lagi yaitu:
÷Budaya Digital÷
Di era masa kini, "tanah misi" bukan hanya wilayah geografis seperti pedalaman Borneo yang terdiri dari Lima Provinsi. Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, tetapi juga wilayah digital seperti media sosial dan komunitas gaming atau komunitas bermain.
Pertanyaan: Apa langkah konkret untuk menerapkan Misiologi kontekstual di era digitalisasi ini? Dan bagaimana kerangka strategisnya?
Sebagai langkah konkret dan kerangka strategis, dalam menerapkan misiologi kontekstual di era digitalisasi, dan dengan tetap memegang teguh esensi Injil namun relevan dengan pendengar masa kini adalah sebagai berikut:
1. Pergeseran Paradigma: Disebut Inkarnasi Digital
Prinsip dasar misiologi yang dapat kita angkat dari Alkitab adalah "Inkarnasi" sebagaimana yang tertulis dalam injil Yohanes 1:14. Firman itu menjadi manusia dan diam di antara kita. Dalam konteks digital, gereja atau pelayan misi harus "berinkarnasi" ke dalam dunia digital, bukan sekadar menjadi turis.
Bukan Sekadar Alat, Tapi "Tempat": Jangan memandang internet hanya sebagai alat distribusi khotbah. Pandanglah internet juga sebagai "dunia baru" di mana orang hidup, bersosialisasi, dan mencari makna. Misionaris digital harus "tinggal" di sana (interaktif), bukan hanya menyiarkan satu arah melainkan aktif berinteraksi melalui media sosial digital sebagai sarana Misiologi kontekstual.
Bahasa Hati: Di dunia digital, "bahasa" bukan hanya lisan, tapi visual (lewat perilaku, video pendek, infografis). Misi kontekstual berarti mengemas teologi yang dalam ke dalam format yang mudah dicerna dan dipahami tanpa menjadi dangkal.
2. Strategi Global dan Lokal
Penerapan Misiologi Kontekstual di era Digitalisasi tentu menutut langkah-langkan konkret dan strategi dengan menggunakan metode pendekatan yang dinamis untuk mèncapai tujuan. Metode Pendekatan ini sangatlah relevan di Pulau Borneo. Internet bersifat global, tetapi hati manusia tetap merindukan sentuhan lokal. Penting dipahami bahwa nilai-nilai budàya Kearifan Lokal, merupakan tolak ukur terjadinya transformasi terhadap norma peradaban bagi setiap suku atau etnis yang bermukim di Pulau Borneo
Mengangkat Kearifan Lokal ke Platform Global:
Misiologi kontekstual berarti menggunakan simbol, musik, dan cerita rakyat setempat untuk menjelaskan kebenaran Alkitab.
Contoh 1: Menggunakan filosofi Rumah Panjang untuk menjelaskan konsep Tubuh Kristus (menggambarkan persekutuan yang rukun dalam satu atap).
Contoh 2: Menggunakan alunan Sape' dalam musik penyembahan digital, seperti yang mulai banyak dilakukan seniman Kristen Dayak untuk menjangkau jiwa orang
Kalimantan di mana pun mereka berada.
Tradisi Lisan Baru:
Masyarakat adat seringkali memiliki tradisi lisan yang kuat untuk menyampaikan apa yang terkandung dalam hati dan pikirannya. Era digital sebenarnya adalah kebangkitan kembali tradisi lisan. Menggunakan narasi atau kesaksian hidup, bukan sekadar poin-poin doktrin kaku, dengan menggunakan narasi dan kesaksian hidup, ini malah lebih relevan bagi budaya lisan maupun bagi generasi digital saat ini dalam komunitas suku Dayak pada umumnya khususnya generasi z yang teresolasi di daerah pedalaman.
3. Membangun Komunitas Hibrida
Digitalisasi berisiko menciptakan isolasi. Dalam penerapan Misiologi kontekstual hahasiswa STT Sehati Malinau harus mampu menjawab kerinduan manusia akan koneksi nyata.
> O2O (Online to Offline): Pintu masuknya adalah konten digital secara online, tetapi tujuannya adalah membawa orang ke dalam persekutuan nyata dan positif sesuai tujuan komunitas untuk mempersatukan persepsi.
> Pemuridan Digital: Membuat grup kecil via Zoom atau WhatsApp bagi mereka yang berada di pedalaman atau perantauan, dan menggunakan materi yang disesuaikan dengan pergumulan hidup mereka sehari-hari, misal: tentang menjaga alam atau hutan sebagai mandat Ilahi, yang sangat relevan bagi masyarakat Borneo.
4. Tantangan Etis dan Teologis
Dalam menerapkan misiologi digital, ada beberapa batasan yang harus dijaga:
a. Algoritma vs. Roh Kudus: Jangan terjebak mengejar viral atau janji semata. Misiologi berfokus pada transformasi hati, bukan jumlah yang menyukai atau like.
b. Kontekstualisasi vs. Sinkretisme: Saat menggunakan budaya pop digital atau budaya lokal, pastikan esensi Injil tidak terkontaminasi atau bercampur aduk dengan nilai duniawi yang bertentangan dengan tujuan utamanya.
Contoh:
Penerapan Praktis Studi Kasus: Konteks Pulau Borneo yang terdiri dari berbagai etnis dan budaya yang berbeda-beda.
Bayangkan sebuah pelayanan misi digital yang berbasis di Kalimantan Utara:
> Elemen : Penerapan Misiologi Kontekstual Digital
> Visual : Menggunakan motif ukiran Dayak dalam desain ayat harian di Instagram atau whatshap untuk menunjukkan bahwa kekristenan tidak "asing" bagi budaya setempat.
> Audio : Podcast renungan dalam Bahasa Indonesia bercampur dialek lokal, membahas isu relevan seperti: pertanian, perkebunan, peternakan, dan pendidikan anak di pedalaman dari sudut pandang Alkitab.
> Isu Sosial : Mengangkat isu pelestarian hutan Kalimantan sebagai bentuk ibadah aktual, menyuarakan suara profetik gereja melalui blog atau jurnal pribadi di internet dan video dokumenter konteks Borneo.
Kesimpulan:
Sebagai kesimpulan, Misiologi Kontekstual di era digital adalah tentang membawa air kehidupan yakni Injil Yesus Kristus ke dalam cawan yang baru yaitu Digital & Budaya Lokal. Dalam Prinsip kontekstuan cawannya boleh berubah bentuk sesuai zaman dan budaya, tetapi airnya harus tetap murni. Bagi masyarakat pedalaman yang kini semakin terkoneksi internet, pendekatan ini bukan lagi pilihan, melainkan keharusan agar iman Kristen tetap relevan bagi generasi muda di era digital ini.
Memperhatikan betapa pentingnya kolaborasi Misioalogi kontekstual diera digitalisasi, STT Sehati Malinau berupaya untuk meningkatkan mutu pendidikan agar dapat bersaing sehat di era digitalisasi ini, secara khusus pada bidang Misiologi Kontekstual sesuai nilai-nilai peradaban yg sedang berkembang saat ini. Komitmen dan tekat yang bulat merupakan langkah konkret yang dapat membawa terwujudnya visi terkait penerapan Misiologi Kontekstual di era Digitalisasi lewat Sekolah Tinggi Teologi Sehati Malinau Kalimantan Utara. TYM.