Literasi

Tentara di Garis Depan

Jumat, 16 April 2021, 08:54 WIB
Dibaca 374
Tentara di Garis Depan
Tentara di Garis Depan

Bagaimana rasanya mendapatkan penempatan di daerah 3T (terdepan, terpencil, tertinggal) wilayah Indonesia? Mungkin sebagian besar orang akan berusaha untuk menghindarinya. Entah itu guru, pendidik, insinyur, perawat, dokter, atau pula tentara, kalau boleh berharap, janganlah ditempatkan di sana, kalau masih ada orang lain atau tempat lain yang bisa lebih baik atau menggantikan mereka. Yang terbayang dalam benak mereka adalah segala macam bentuk kesulitan dan keterpencilan, keterbatasan fasilitas, dan segala macam kesusahan lainnya.

Hal ini sebenarnya ironis, lebih dari 75 tahun Indonesia merdeka, pembangunan masih belum merata. Masih terpusat di Pulau Jawa, meskipun sekarang pulau-pulau lain juga sudah mulai dibangun infrastrukturnya. Daerah-daerah 3T juga mulai diprioritaskan dengan program-program khusus untuk penelitian, pengembangan, dan pembinaan lebih lanjut. Dan ini yang menjadi latar belakang dari novel "Garis Depan" yang dikarang oleh adik kelas saya, Robert Kristiawan.

Berkisah tentang kisah Sersan Dua Landung, yang dengan segala kenekatan, kegilaan, dan idealisme bersedia mengorbankan dirinya untuk ditempatkan di daerah 3T, yaitu di Oepoli, Nusa Tenggara Timur, yang dekat dengan perbatasan Timor Leste.

Sedikit "too good to be true", tapi karena namanya juga cerita fiksi, jadi bisa "dimaafkan", Landung memang contoh tentara teladan tapi juga badung dalam artian positif. Sering nekat dan mengorbankan diri, demi suatu kepentingan dan kebaikan yang lebih besar. Tapi ya, cerita James Bond, Jason Bourne, Mission Impossible, atau McGyver kan juga bombastis dan too good to be true, dan kita enjoy saja.

Cerita dimulai dari "kebadungan" Landung dan kawan-kawannya di masa pendidikan yang berujung pada dihukumnya mereka oleh pelatih. Cerita dilanjutkan dengan kenekatan Landung untuk menggantikan temannya, Agung, untuk ditempatkan di daerah 3T di NTT.

Kisah selanjutnya berkisar kepada perjuangan Landung dalam menempuh perjalanan ke lokasi penempatannya, yang makin lama makin sulit dan berat, meskipun juga ada beberapa kemudahan karena ia tentara.

Hal berikutnya, tidak lebih mudah. Sebagai seorang bintara pembina desa, ia harus membina masyarakat di daerah yang begitu terpencil dan kekurangan fasilitas. Landung sampai harus memanjat-manjat pohon untuk mendapatkan sinyal supaya bisa menelepon atau berkirim SMS, baik ke pimpinannya atau ke pacarnya, Sumi.

Di tempat barunya, Landung juga punya idealisme untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mengajari anak-anak di wilayahnya untuk belajar dan membaca. Buku-buku didatangkan dari luar wilayah. Namun, niat baik saja tidak cukup. Landung harus berhadapan dengan masyarakat yang tidak sepenuhnya happy karena anak-anaknya diajari membaca. Mereka lebih senang jika anak-anak membantu mereka berladang atau bercocok tanam.

Tantangan semakin menghebat, yang membuat Landung harus memutar otak untuk mendekati hati masyarakat. Mulai dari makan pinang, menggembala sapi, belajar dan mengucapkan bahasa daerah, diupayakan Landung buat merebut hati mereka, tapi tetap tidak mudah.

Suatu musibah, malah menjadi berkah, yang membalik arah usaha-usaha Landung yang sebelumnya hampir menyerah. Secercah harapan untuk membangun masa depan di Oepoli pun mulai terbuka. Cerita pun ditutup dengan keinginan Sumi untuk ikut ke Oepoli, menemani Landung bertugas, setelah mereka menikah. Apakah ini pertanda akan ada lanjutan cerita yang lebih seru, mengingat beberapa hal masih belum terungkap dengan jelas di novel ini?

Secara keseluruhan novel ini cukup menarik untuk dibaca. Alurnya mengalir, dan diceritakan oleh orang yang memang berpengalaman dan berlatar belakang sebagai tentara sehingga tahu tentang seluk beluk kehidupan tentara, termasuk pengetahuan geografis, dan berbagai istilah yang cukup lokal. Mungkin keterangan tambahan bisa membantu membuat pembaca memahami istilah/bahasa lokal yang ada, biar tidak sekadar menebak-nebak artinya.

Alur cerita agak lambat di awal, semakin cepat di akhirnya. Konflik semakin banyak di akhir, yang jika dielaborasi lebih lanjut akan jauh lebih menarik.

Pesan-pesan mengenai pentingnya misi dan idealisme sebagai seorang tentara yang ditebarkan di beberapa bagian halaman memang kentara, tapi tidak terlalu mengganggu jalannya cerita sendiri. Mungkin bagus buat dibaca para tentara yang akan ditempatkan di mana saja untuk memahami idealisme ini.

Tapi, buat pembaca yang bukan dari kalangan militer, juga bisa memikirkan dan merasakan, bahwasanya Indonesia ini begitu luas dengan berbagai macam persoalan dan segala keindahan yang ada di dalamnya. Maka, teramat naif kalau kita cuma bisa mengeluh persoalan di ibukota atau Pulau Jawa semata, soal listrik padam atau koneksi internet yang nggak beres, transportasi yang macet atau harga BBM yang naik, sementara di satu sudut wilayah Indonesia, jangankankan koneksi Internet, sinyal handphone saja susah dicari, dan jangankan macet, kendaraan dan jalananpun bahkan tidak ada, sehingga bus harus menunggu melewati sungai yang surut karena tidak ada jembatan.

Makanya kita perlu mensyukuri dan mendukung upaya pemerintah untuk melakukan pembangunan infrastruktur di luar Pulau Jawa, termasuk wilayah 3T. Tidak sepatutnya ego kita hanya digunakan untuk kepentingan kita sendiri, tanpa memperhatikan kepentingan saudara-saudara kita di pelosok tanah air.
#inspirasiharian