Literasi

Citra Dayak dan Kekuatan Sebuah Narasi

Jumat, 22 Januari 2021, 18:52 WIB
Dibaca 566
Citra Dayak dan Kekuatan Sebuah Narasi

Literasi seperti main scrabble: menyusun peradaban, melalui kata-kata.

Narasi tentang Dayak dahulu, kini, dan masa datang sungguh berbeda. Di mana letak perbedaannya? Perbedaannya terletak pada sudut pandang dan citra yang ditampilkan, sekaligus dibangun.

Literasi membuat citra Dayak baik, lagi positif. Dahulu kala, tidak ada yang menulis dan menerbitkan. Apa yang ditulis, dianggap sebagai kebenaran. Padahal, banyak misinformasi, kurang akurat, dan mispersepsi. Sejak 1992, ketika diadakan seminar internasional kenudayaan Dayak di Pontianak, Kalimantan Barat, gairah menulis dari orang Dayak sudah mulai.

Lahir para penulis Dayak zaman itu, seperti: Masri Sareb Putra, Edy Petebang, Djuweng, Nico Andas Putra, Paulus Florus, Damianus Siyok, Giring Melabo, Amon Stevanus, Endi, Budi Miank, Pio Kristie. Nama-nama anak muda itu mencuat ke permukaan, menjajarkan diri dengan segelintir penulis Dayak senior yang sudah lebih dulu eksis, seperti: Riwut, Ukur, Korrie, Ding  Ngo, Kusni, Elisason, dan Usop.

Kemudian, era milenial dengan adanya media sosial, animo berliterasi orang Dayak makin meningkat. Salah satu pegiat literasi dari Dayak yang patut disebut adalah: Alexander Mering. Ia ikon blogger Dayak. Namanya menggurita, terutama di Kalbar dan Sarawak, Malaysia. Ia bahkan identik dengan "Kampung Literasi".

Namun, gairah "Dayak menulis dari Dalam" yang diperkenalkan Penerbit Lembaga Literasi Dayak yang menjadi mottonya (2015)  makin menggeliat, sekaligus bagai bola salju, menggelinding. Di Kalimantan Tengah, berdiri Komunitas Penulis Literasi Dayak yang diketuai Mugeni (2017), waktu itu Penjabat Bupati Barito Selatan dan kemudian Sekda Provinsi Kalteng. Mugeni banyak melakukan pelatihan menulis, bahkan membiayai riset literasi, seminar, bedah buku, dan penerbitan buku. Hingga kini, komunitas itu masih tetap hidup dan bergairah, melalui WAG-nya.

Baca Juga: Catatan Literasi Revolusi

Lalu kini, sejak 12 Januari 2021, lahir tonggak sejarah baru: Web Ytprayeh.com. Gaungnya belum ada dua minggu menasional, bahkan meng-internasional. Buktinya, pusparagam tulisan yang muncul setiap hari. Saya mengamati bahwa tidak kurang dari 8 tulisan/ hari, diisi penulis top negeri ini. Yang KLIK ribuan jemari. Bahkan, di atas 4.000. Banyak tulisan dibaca di atas 100. Tentu, ini rekor luar biasa!

Itulah branding. Dayak hebat. Hanya saja, selama ini kurang branding. Belum ada yang memikirkan strategi dan apa kendaraan untuk membrandingnya.

Tulisan ini, hanya ungkapan sukacita, atas kehadiran Web ini. Saya hanya mau mengatakan adanya kekuatan literasi. Stigma masa lalu, sudahlah, itu menjadi sejarah.

***

Membaca buku-buku karya penulis dan antropolog asing (barat), tentang Borneo dan penduduknya di masa lalu, saya menemukan narasi tentang sandang, pangan, pa­pan yang serba-minim dan tidak layak, tingkat kesehatan yang buruk, sarana transportasi yang sangat sulit hanya melalui jalur air, pendidikan yang terbelakang, kualitas manusia di bawah rata-rata, pekerja yang tidak terampil, manusia yang pemalas, hanya menyebut etnis Dayak di Borneo, serta peradaban yang dilukiskan masih perlu bela­jar dari negeri asal para penulis.

Akan tetapi, membaca narasi tentang pulau dan penduduk yang sama, saat ini, sungguh bertolak belakang. Narasi yang ditulis adalah tentang kemajuan, kesenian, pendidikan, kesehatan, transportasi antar-desa, wajib belajar 16 tahun, warung dan kafe bertebaran di mana-mana, hotel, Credit Union, mobil mewah, pejabat daerah, serta keberagaman suku bangsa di Kalimantan. Kematian penduduk bukan lagi disebabkan perang, penyakit menular, atau pola hidup yang tidak sehat; melainkan karena penyakit tidak menular dan sebab yang wajar. Kita pun tidak membaca lagi narasi penduduk Kalimantan yang kekurangan gizi atau mengalami stunting.

Narasi positif inilah yang terbaca dalam narasi-narasi di media massa, media sosial, dan buku masa kini. Ditulis dengan gaya bahasa yang enak dibaca dan bernas, membuat tidak bosan membacanya kata demi kata, kalimat demi kalimat, alinea demi alinea, hingga: tamat.

Lalu kini, sejak 12 Januari 2021, lahir tonggak sejarah baru Web: Ytprayeh.com. Gaungnya belum ada dua minggu menasional, bahkan meng-internasional.

Oleh karena etnis Dayak zaman dahulu kala belum berpendidikan, belum berpengetahuan, terbelakang dalam banyak hal apalagi belum melek literasi; maka narasi yang ditulis –dan kemudian terbangun tentang indigenous people pulau Borneo ini serba-miring. Narasi seperti inilah yang akan kita temui pada buku ini di mana dipaparkan sejumlah penulis dan bukunya yang menstigma sekaligus melabeli Dayak sebagai suku primitif.

Citra primitif dan peyoratif etnis Dayak, sesungguhnya berasal dari ulah para pelancong Barat yang menginjakkan kaki di bumi Borneo sejak pengujung abad 18 untuk mencari “nilai berita” dan menjual keunikannya. Salah satu keunikan yang dianggap laku untuk dijual sebagai komoditas ialah praktik pengayauan (headhunting) di kalangan etnis Dayak pada waktu itu. Akibatnya, hingga kini pencitraan tersebut masih melekat kuat terutama di benak masyarakat di luar etnis Dayak, padahal praktik pengayauan itu sendiri sudah disepakati untuk tidak dilanjutkan lagi pada pertemuan besar masyarakat Dayak se-Borneo di Tumbang Anoi, Kalimantan Tengah, pada 1894 yang difasilitasi oleh pemerintah kolonial.

Pasca 1894, setelah diadakannya Perjanjian Damai Tumbang Anoi, di Borneo masih beberapa kali terjadi konflik antara Dayak sebagai indigeneous people dengan beberapa etnis pendatang yang jika dilihat dari casus belli serta modus-nya terdapat kesamaan. Tidak mengherankan, jika kemudian banyak pihak menghubung-hubungkannya dengan tradisi ngayau. Akan tetapi, dilihat dari segi motif, hal itu jelas berbeda.

Kiranya Perjanjian Tumbang Anoi ini perlu mendapat catatan cukup lengkap. Mengapa? Sebab peristiwa bersejarah inilah yang menjadi tonggak mulai hilangnya stigma Dayak sebagai suku-bangsa pengayau sekaligus manusia primitif. Sebelumnya, manusia Dayak dicitrakan sebagai suku-bangsa pemburu kepala manusia tanpa dimengerti betul konteksnya, sehingga dilabeli dengan headhunter.

Hampir semua penulis asing bias di dalam menulis topik ngajau. Para penulis tersebut tidak sampai pada inti pokok atau esensi ngayau, cenderung menggambarkan hal-hal kontroversial yang dianggap bernilai-jual saja.

Apa hakikat ngayau? Faktor-faktor dan motif-motif apa sajakah yang mendorong etnis Dayak melakukan praktik pengayauan? Lontaan (1975: ) menjelaskan setidaknya terdapat 1975: 533-537) mencatat setidaknya terdapat empat motif ngayau. Masri (2010) menambahkan satu motof yan menurut saya sangat mendasar, yakni:  yakni upaya mempertahankan (self defense) diri. Bahkan boleh dikatakan bahwa motif mempertahankan diri ini jauh lebih sering mengemuka daripada motif-motif lain, terutama pra dan pascaperjanjian Tumbang Anoi.

Pertama, melindungi pertanian.

Kedua, mendapatkan tambahan daya (rohaniah).

Ketiga, balas dendam.

Keempat, sebagai penambah daya tahan berdirinya bangunan.

Baca Juga: Dayak - Amerika: Berjodoh karena Literasi

Akan tetapi, Masri (2010) menambahkan satu motif yang menurut saya sangat mendasar, yakni:  upaya mempertahankan (self defense) diri. Bahkan boleh dikatakan bahwa motif mempertahankan diri ini jauh lebih sering mengemuka daripada motif-motif lain, terutama pra dan pascaperjanjian Tumbang Anoi.

Haruslah dilihat dalam konteks menjaga keamanan semesta, mempertahankan klan dan keturunan, lingkungan, harta benda, serta seluruh perikehidupan bahwa sebelum diserang; lebih baik menyerang (ngayau) terlebih dahulu. Hal ini seperti yang kerap dikemukakan Menteri Pertahanan RI, Prabowo Subianto, dalam ungkapan Latin, “Si vis pacem, para bellum” (Jika Anda menginginkan damai, bersiap—siaplah untuk perang”.

 Tidak diketahui siapa yang pencipta peribahasa ini, tetapi banyak yang meyakini bahwa peribahasa ini dikutip dari penulis militer Romawi Publius Flavius Vegetius Renatus (akhir abad 4). Nah, agaknya orang nenek moyang Dayak paham betul meski secara naluriah kebenaran kata-kata itu. Dalam konteks ini, agaknya harus dipahami bahwa ngayau bukan saja sebagaimana yang dicatat dan dinarasikan orang luar, yang tidak mengenal sepenuhnya alam pikiran dan budaya orang Dayak. Ngayau adalah juga bentuk pertahanan diri, yakni ofensif (serangan) bukan hanya defensif (bertahan). Persis seperti dalam taktik permainan sepakbola strategi ini, bergantung kepada karakter dan kekuatan lawan.

Itulah, antara lain bagaimana narasi tentang Dayak dibangun dengan kekurangan pengetahuan dan informasi yang lengkap. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa para penulis di luar etnis Dayak membingkai penduduk asli pulau Borneo tersebut, sehingga membentuk citra sebagai etnis pengayau atau headhunter. Padahal, sejarah mencatat bahwa Dayak bukanlah suku bangsa terakhir di Nusantara yang melakukan praktik headhunting, tapi suku lain, di salah satau pulau besar, selain Kalimantan.

**

APA yang mau saya katakan?

Membaca narasi dan konten Web ini, saya merasa bergetar.

Kita sudah sangat akrab ketika sekolah, mendengar dan mengetahui adanya "kata kerja", selain kata benda dan kata keadaan.

Literasi adalah: Kata yang bekerja!

**

Kita tidak melihat lagi adanya orang Dayak yang pergi ke ladang nyeker dan membawa sumpit. Mereka ke ladang minimal dengan sepeda motor. Bahkan, ada yang ke kebun dengan mobil Hillux. Wanitanya tidak lagi tanpa tutup dada busananya, melainkan menggenggam piala seperti Dewi Liana dan pintar seperti perempuan profesor pakar padi di Amerika.

Kita tidak lagi melihat pejabat Dayak yang hanya ngurus birokrasi, tetapi peduli pada literasi, seni, dan budaya bangsa.

Gejala apakah itu?

Saya kira, kebangkitan baru Indonesia. Justru di era pandemi Covid-19, lahir peradaban baru. Kita tidak akan surut ke belakang, tapi berjalan ke muka.

Literasi dan media adalah dunia nyata! Bukan lagi dunia maya!

***