Jayalah Indonesiaku, Bahagialah Warga Bangsanya
Jayalah Indonesiaku, Bahagialah Warga Bangsanya
“Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja. Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05. Atas nama bangsa Indonesia”
Hanya ada tiga kalimat dengan tiga kata kunci dalam teks proklamasi ini yaitu; kemerdekaan, kekuasaan dan Bangsa Indonesia. Pernyataan yang sangat singkat dan padat, namun merupakan tonggak yang mengubah arah sejarah bangsa dan dunia.
Secara singkat, proklamasi ini berbicara mengenai sebuah relasi kuasa baru dalam sebuah wilayah/negara dan bangsa. Proklamasi ini merupakan pernyataan kepada dunia, bahwa pada hari tersebut, telah lahir sebuah negara bangsa yang baru, sebuah negara bangsa yang merdeka dari kekuasaan manapun, sebuah negara bangsa yang diberikan nama Indonesia.
Bagi saya, tak ada makna lain dari Proklamasi ini selain makna relasi kuasa dan berdirinya sebuah negara baru yang merdeka untuk menentukan nasibnya sendiri. Oleh karena itulah para proklamator dan para pejuangnya disebut sebagai founding fathers atau para pendiri bangsa. Persoalan kita memaknai kemerdekaan yang kita miliki saat ini dengan beragam persepektif, itu adalah persoalan lain. ini adalah persoalan kita berada dalam fase mengisi kemerdekaan tersebut. Kita memiliki medan perjuangan yang berbeda dengan para pendiri bangsa tersebut.
77 tahun bukan waktu yang muda jika kita bicara soal umur manusia, tapi 77 tahun adalah usia yang relatif sangat muda dalam rentang usia bernegara. Dibandingkan dengan tetangga kita Thailand, negara Indonesia tampak menjadi seperti bayi. Usia Kerajaan Thailand saat ini adalah 1238 tahun.
Tak ada yang mudah dalam mengelola sebuah negara, apalagi dengan kompleksitas dan warisan sejarah seperti Indonesia. Sejarah dunia telah menunjukan bukti bahwa negara sekelas super power seperti Unisoviet pun bisa gagal dalam mempertahankan eksitensinya dan berakhir bubar.
Negara bisa bertahan jika warga negaranya memiliki kesadaran berbangsa. Negara dan Bangsa itu adalah sebuah konsep imajiner yang membutuhkan kesadaran utuh dari warganya. Mengutip konsep imagine community dari Benedict Anderson, Bangsa itu adalah sebuah komunitas politis dan dibayangkan terbatas secara inheren dan memiliki kedaulatan. Bangsa merupakan sebuah komunitas terbayang, karena mustahil bagi setiap orang dalam sebuah komunitas besarnya/negara/wilayah untuk benar-benar saling berinteraski satu sama lainnya.
Mempertahankan eksistensi negara dengan kultur dan etnis yang homogen saja tak pernah mudah, apalagi membangun negara bangsa yang memiliki kultur, etnis dan sejarah yang heterogen menjadi sebuah kekuatan besar dalam peradaban dunia.
Indonesia itu tak pernah ada sebelumnya, Indonesia itu sebuah kesadaran baru yang muncul dari komunitas dan kerajaan - kerajaam yang ada dalam gugusan pulau - pulau Nusantara yang terjajah. Indonesia adalah composite dari beragam persitiwa, sejarah dan negara bangsa yang pernah ada sebelumnya di gugusan pulau Nusantara tersebut.
Tak mudah membangun kesadaran negara Bangsa Indonesia, bahkan sampai hari ini pun proses kesadaran negara bangsa masih terus kita bangun, karena kita memang diwarisi oleh sejarah yang sangat beragam. masing - masing daerah memiliki riwayat sejarah bangsa dan negara sendiri sebelumnya, Memory warga masih lekat dengan kerajaan, kesultanan dan bentuk otoritas lokal lainnya yang melekat pada kesuku bangsaanya, melekat pada kulturnya, melekat pada folklore dan melekat pada kesehariannya.
Pada fase awal kita menjadi Negara Bangsa Indonesia adalah fase merekatkan kesadaran negara Bangsa tersebut. Para pendiri bangsa menghadapi tantangan ini dengan sangat luar biasa,
Dasar negara dan konstitusi dibangun dengan pendekatan no one left behind. Tidak boleh ada satu bagianpun yang tertinggal untuk tinggal di rumah besar Indonesia. Dasar negara dan konstitusi dibuat untuk menjamin hak2 warga negara dengan beragam sejarahnya bisa menjadi bagian dari Indonesia secara inklusif. Pun demikian, tentu saja ada banyak perdebatan pada masa fundamental ini, tapi mereka bersepakat bahwa Rumah Indonesia adalah untuk semua yang memiliki kesadaran tentang Indonesia.
Dalam perjalanannya yang sangat belia, para pendiri bangsa mulai menghadapi tantangan perpecahan negara, pemberontakan pun terjadi di mana2, PRRI, DI TII, PERMESTA menjadi salah satu bukti bahwa tak mudah mengelola sebuah negara baru, permintaan merdeka dari beberapa wilayah menjadi tak terelakan di fase2 tersebut.
Bagi saya rasanya ini adalah yang lumrah dan natural terjadi pada sebuah negara baru dengan karateristik Indonesia. Saya menganggap ini adalah dialektika kebangsaan yang wajar terjadi di fase awal, sekalipun hal tersebut sampai berujung konflik bersenjata. Amerika pun di masa-masa awal bernegaranya pernah mengalami civil war yang berdarah-darah yang tercatat sebagai perang yang paling banyak menghilangkan banyak nyawa tentara dan warga amerika.
Pun demikian, Indonesia berhasil mengatasi tantangan perpecahan di masa-masa awal ini dan bahkan berhasil merebut Kembali Irian Barat yang belum diserahkan oleh Belanda pada perjanjian Konferensi Meja Bundar (yang akhirnya rakyat Irian Barat memutuskan bergabung dengan Indonesia melalui referendum di tahun 1969, terlepas dari beragam sejarah yang menyertainya). Negara Bangsa Indonesia masih bertahan dan semakin menguatkan identitas bernegara di kemudian hari.
Persoalan bernegara bangsa tidak hanya terjadi secara internal, perpecahan bangsa juga sangat dipengaruhi oleh persoalan-persoalan geopolitik di kawasan dan global.
Memasuki periode perang dingin, Indonesia sebagai negara baru pun tak bisa menghindari dan terseret dalam arus pusaran perang idiologi bahkan perang idiologi berdarah. Hampir sepanjang satu dekade kita berperang secara idiologi yang mengakibatkan hilangnya nyawa yang diperkirakan 500 ribu – 1,2 juta orang, periode ini bahkan sering disebut sebagai Indonesian mass killing periode history, berlangsung sejak tahun 1956 – 1965. Sebuah masa kelam bernegara.
Periode Kepemimpinan Pertama Indonesia, ditutup dengan sejarah kelam dengan beragam misteri politik yang sampai saat ini masih belum terurai secara jelas. Namun sekalipun kelam, kita berhasil melewatinya, kita tetap utuh dan moving forward sebagai sebuah negara bangsa.
Selanjutnya, Indonesia mengalami masa yang berbeda. Orientasi politik yang sebelumnya lebih condong ke Timur, mulai condong ke Barat. Dukungan Amerika dan sekutunya terhadap Rezim baru sangat kuat, hal ini sejalan dengan strategi politik Amerika yang mencoba menghadang gerak laju idiologi sosialisme dan komunisme di Kawasan Asia tenggara,
Sokongan barat tidak hanya pada bantuan restorasi ekonomi dengan beragam pinjaman dan bantuan, tapi juga dukungan politik mereka untuk “mengambil” Timor-Timur, sebuah wilayah merdeka di ujung Timor untuk menjadi bagian integral Indonesia dengan kampanye politik integrasi Timor Timur. Wilayah Timtim (begitu istilah yang diberikan dulu) adalah wilayah strategis dari geopolitik perang dingin saat itu, untuk menghalang gerak laju blok Unisoviet/China memanfaatkan celah di ujung timur.
Dukungan ekonomi, militer dan birokrasi Barat telah memberikan lompatan ekonomi Indonesia yang sebelumnya berada dalam kesulitan yang sangat parah. Kondisi keamanan dan ketertiban dipulihkan dengan cara yang sangat efektif melalui penggunaan instrumen2 militer dan tindakan represif lainnya. Indonesia memasuki masa tenang selama berpuluh tahun, namun juga digambarkan sebagai masa ketenangan semu Sebuah masa tenang yang dikendalikan oleh kekuatan otoritas yang menggunakan kekuatan secara represif.
Model kepemimpinan dan bernegara represif ini boleh jadi merupakan koreksi atas fase awal bernegara yang kurang kuat sebelumnya. Pada masa ini Indonesia tampak memiliki masa damai, tapi dengan pola politik dan kepemimpinan yang acap kali dituduh dictartorship. Masa ini dikenal sebagai masa pembangunan dengan doktrin “stabilitas politik sebagai dasar pembangunan”.
Menjaga kondisi aman dan politik yang stabil adalah kunci dari keberhasilan, maka setiap kali ada yang mencoba memiliki wacana lain dan dianggap mengganggu stabilitas politik, maka dia akan menjadi musuh negara.
Melalui pendekatan ini Indonesia tampak tumbuh berkembang, ekonomi makin membaik dan konglomerasi ekonomi mulai terjadi. “stabilitas” ini tampak nyaman berpuluh tahun tanpa kontrol yang memadai. Kekuasaan tampak menjadi terpusat pada eksekutif dan lembaga lainnya hanya menjadi penghias sistem bernegara, jauh sekali dari yang dicita-citakan oleh Montesquieu saat memfatwakan “trias politica”.
Maka seperti yang dituahkan oleh Lord Acton pada tahun 1887 bahwa : “Power Tend To Corrupt, and absolute power corrupts absolutely”, jatuhlah Indonesia pada masa yang kemudian dikenal sebagai masa surganya KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme).
Mampetnya saluran komunikasi politik, ketiadaan dialektika demokrasi dalam bernegara pada akhrinya mengakibatkan kemarahan publik, Indonesia jatuh Kembali pada fase di mana “people power” menjadi instrumen untuk menggulingkan pemerintahan. Fase ini kita Kenal sebagai masa reformasi. Indonesia untuk yang kedua kalinya terjatuh secara keras, namun kita berhasil Kembali berdiri tegak untuk bergerak mengoreksi diri dan berjalan ke depan.
Babak baru Indonesia dimulai kembali, kita memasuki masa demokratisasi yang terbuka di masa reformasi. Pada masa ini, daerah lebih memiliki otonomi, kebebasan berpendapat dibuka secara luas, dan UUD 1945 tidak lagi menjadi sakral layaknya kitab suci yang tak bisa di amandemen.
Pada masa ini UUD 1945 yang merupakan salah satu fondasi bernegara telah mengalami sedikitnya 4 kali amanden. Perang dingin di masa ini berakhir, dan begitu pula dukungan dunia internasional (barat) terhadap indonesia atas Timor Timur juga berakhir. Tekanan terhadap indonesia makin kuat dan semangat kemanusiaan yang mulai kembali subur dalam bermegara.
Indonesia membuat pilihan rasional dan bermartabat dengan menyerahkan keputusan masa depan warga Timor Timur kepada rakyat Timor Timur itu sendiri melalui referendum. Sejarah mencatat, bahwa Timor Timur akhirnya menjadi sebuah negara baru yang merdeka, menjadi negara saudara termuda Indonesia.
Masa reformasi, memberikan semangat baru, semangat demokrasi yang lebih terbuka, semangat yang memberikan kesempatan bagi warga negara terbaik untuk bisa menjadi pemimpin bangsa.
Calon-calon pemimpin bisa berdatangan dari manapun, Jokowi menjadi contoh terbaik, bagaimana reformasi mampu menghasilkan pemimpin yang bukan berasal dari kelompok elit pemilik partai dan juga bukan pengurus jajaran elit partai. Tapi seperti halnya tantangan banyak dunia, tantangan dalam dunia demokrasi hari ini adalah persoalan dengan oligarki ekonomi dan oligarki kekuasaan.
kita sungguh masih jauh dari demokrasi deliberatif yang digaungkan oleh Jurgen habermas. Tantangan ini masih menjadi pekerjaan rumah generasi hari ini dan mendatang.
Saat ini, 77 tahun kita sudah bernegara, 24 tahun kita bereformasi, dan sampai saat ini pun kita masih saja terus berkutat dengan persoalan persoalan dasar yaitu kesadaran kolektif atas identitas negara bangsa.
Indonesia memang negara yang punya banyak beragam tantangan yang luar biasa besar dengan sejumlah kompleksitas yang dihadapinya.. 77 tahun adalah waktu yang cukup panjang untuk belajar. KIta telah mengalami beragam pengalaman bernegara dari model sistem bernegara, sistem kepemimpinan, sampai sistem politik sudah berkali-kali kita bongkar pasang termasuk sejarah kelam atas pergulatan idiologi juga telah kita lalui.
saya rasa sekarang sudah waktunya Indonesia berjalan menatap ke depan, mengisi cita cita bernegara yang telah dituangkan dalam konstitusi kita. Banyak sekali pekerjaan rumah yang harus segera kita selesaikan bersama, namun saya rasa kita harus bersepakat pada satu hal, bahwa kita sudah final dalam bentuk negara, falsafah negara dan dasar Negara.
kita tak perlu mengulangi kesalahan yang sama di masa lalu.
Jika ada yang berusaha untuk memutar arah jarum jam bernegara,
mungkin kita perlu tunjukan kembali sejarah Indonesia.
Indonesia sudah berkali kali jatuh dalam pusaran politik lokal dan global,
selama itu juga indonesia mampu berkali kali bangkit, dan tiap kali bangkit tiap kali pula kita menjadi lebih baik.
Kita memang banyak tertinggal oleh negara2 lain, tapi bukan berarti kita lebih buruk dari negara lain. Saya memiliki rasa optimis terhadap Indonesia, Rumah kita semua.. Rumah di mana kita semua bisa bahagia, dan itu adalah medan juang kita untuk mewujudkannya.
Jayalah Indonesiaku
Bahagialah Warga Bangsanya
Tabiiik
HP. 04.08.22