Literasi

Batu Ruyud Writing Camp | Dari Rumah Tjilik Riwut Gallery & Resto, Ide Literasi Itu Menjadi (6)

Selasa, 26 Juli 2022, 00:56 WIB
Dibaca 997
Batu Ruyud Writing Camp | Dari Rumah Tjilik Riwut Gallery & Resto, Ide Literasi Itu Menjadi (6)
Yansen TP, Wilson, Yakobus Kumis (Sekjen MADN), dan saya di Rumah Tjilik Riwut Gallery dan Resto, Palangka Raya.

Tahun 2019. Bulan Juli. Ketika bumi Borneo sedang dihadang kemarau panjang. Dihelat di lokus, peringatan 125 tahun Perjanjian Damai Tumbang Anoi.

Pertemuan yang pada 1894 diadakan selama 3 bulan, dari Mei-Juli adalah tonggak sejarah suku bangsa Dayak. Keputusan penting ditelurkan adalah menghentikan praktik 4-H (hakayau, habunu', hatetek) + H (jipen) (perbudakan).

Boleh dikatakan, bulan Juli 1894 adalah "Hari Kebangkitan Dayak Sedunia". Mengapa? Sebab, pada saat itulah. Alih-alih kompeni Belanda, yang menginisiasi dan turut membiayai Pertemuan, dengan akal pelanduk dan kelicikannya berhasil menundukkan suku bangsa Dayak. Dengan taktik "salt starvation" (taktik menyatukan suku-suku yang saling kayau, haus darah) yang coba menyatukan Dayak, kompeni Hindia Belanda gatot --gagal total-- menguasai orang Dayak. Malah, Dayak bersatu-padu.

Dayak seperti simpul hidup: makin diikat, makin kuat. Kian dikencangkan, mereka makin melawan! Itu salah satu watak Dayak.

Saya menamakan kebangkitan, sekaligus bersatunya suku bangsa Dayak sedunia yang-tidak sengaja itu sebagai tonggak sejarah yang dinamakan: sensus Dayakensis.Yakni bangkitnya rasa-persatuan dan kesatuan. Sekaligus, terbangun belarasa yang tinggi sebagai sesama sukubangsa pewaris sah bumi Borneo.

Pada ketika inilah lahir: identitas Dayak. Suatu apa yang dalam khasanah ilmiah, utamanya ilmu antropologi dan etnologi, disebut sebagai: ethnic identity. Sebagaimana yang dikemukakan Caselli dan Coleman (2006: 1) berikut ini. "…if the population is ethnically heterogeneous, coalitions can be formed along ethnic lines, and ethnic identity can therefore be used as a marker to recognize. (… jika populasi suatu etnis heterogen, koalisi dapat dibentuk di sepanjang garis etnis dan, karena itu, identitas etnik dapat digunakan sebagai penanda untuk mengenali.)

Pada 1894  itu, terjadi apa yang nanti saya ulas panjang lebar dalam spirit "burung enggang". Lengkap dengan sisi magisnya. Sebab pertemuan dan perjalanan yang jauh, ketika itu, menjelajah Borneo tidak mungkin tanpa bantuan "dunia atas", yang tak kelihatan. Yakni dunia magis.

Saya langsung dengar dari gendang telinga sendiri. Bahwa utusan macatn dari Jangkang, Macatn Talot dan Macatn Natos, ditemani controloeur dari Sanggau ke lokus. Namun, sang controleur mati di tengah jalan. Akibat tetanus. Kakinya tembus, tertusuk duri kayu dalam perjalanan.

Di dalam risalah Pertemuan Tumbang Anoi (22 Mei-26 Juli 1894), dicatat ada dua controleur yang menghadiri pertemuan. Mereka wakil resmi kompeni Hindia Belanda. Yakni controleur Melawi (Borneo Barat) J.P.J. Barth dan controleur Tanah Dayak A.C. de Heer.

Dikisahkan bahwa perjalanan ditempuh melalui sungai, menggunakan kapal api, hampir memakan lama sebulan. Kedua controleur  berangkat ke Tumbang Anoi pada tanggal 21 April 1894.

Khusus controleur Barth  dari Tanah Melawi, ia terhambat perjalanannya. Disebabkan curah hujan yang tinggi, Sungai Embaloh meluap, memuntahkah debit air ke badan sungai dari hulu. Sementara perjalanan-air de Heer berjalan mulus. Menggunakan kapal api pemerintah kompeni Hindia Belanda,  yang diberi nama "Boni" (baik, jamak: Latin) controleur Tanah Dayak dapat segera tiba di Tumbang Anoi. Ia mudik melawan arus deras sungai Kahayan (yang digubah dan dinyanyikan kemudian hari oleh Alfian). Selanjutnya, ia berpindah dari kapal api dengan menggunakan perahu yang didayung para priboemi. Lalu tiba di Tumbang Anoi dengan selamat.

Dapat dibayangkan. Dengan menggunakan kapal api saja, sebulan lama perjalanan ke lokus. Bagaimana utusan yang berjalan kaki?

Dan bagaimana pula, kode-kode kedatangan dan sambutan di Tumbang Anoi. Dengan bahasa Dayak, mereka tahu sesama. Sungguh, suatu peristiwa yang hanya bisa dikisahkan sembari minum kopi di malam hari. Ketika anak-anak dan wanita tidur semua. Sebab kisah itu konsumsi hanya untuk kaum pria, para wira dan ksatria saja.

Damang Batu[1] adalah "toean roemah" kongres pertama Dayak sedunia itu. Yang tercatat diikuti oleh 152 suku Dayak. Selain itu, terdaftar 138 peserta undangan. Tetamu itu diladeni dan dilayani dengan baik oleh 11 nyai (ibu ibu dan wanita terhormat)  yang bertugas mengatur penginapan, memasak, menyambut, dan melayani tamu.

Mereka utusan dari berbagai penjuru Borneo. Dua controleur, pejabat resmi kompeni Hindia Belanda. Banyak di antaranya temenggung, damang, kepala adat, dan macatn (kepala suku) seperti dikenal di kalangan Dayak Bidayuh, Jangkang.

Yansen rupanya telah lama tebetik keinginan tiba di lokus tonggak sejarah Dayak itu. Sebelumnya, saya cerita. Bahwa wawasan-sejarah kita tentang "gnothi seauton" (mengenal diri sendiri) akan sempurna, manakala pernah menjejakkan tapak kaki di lokus, yang kini termasuk wilayah Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah.

Narasi dan branding Dayak, selama ini, dibangun orang luar. Jika saja ada orang Dayak berliterasi sejak dahulu kala. Niscaya filsafat, logika, etika, seni, dan budaya serta kearifan nenek moyang suku bangsa Dayaklah yang hari ini jadi acuan.

Kami telah berjanji untuk bertemu di kota cantik, Tambun Bungai, Palangka Raya. Di sana pun, kata saya, tempat bersejarah pula. Di kediaman Tjilik Riwut, yang kini "disulap" sang putri, Mina Ida, jadi Gallery & Resto. Terpampang, dengan rapi. Foto-foto Tjilik Riwut masa lalu. Mulai dari penerjunan dari udara, bersama Bung Karno, serta berbagai aksi membela tanah air. Hingga kepada sejumlah aksesoris miliknya: bendera pertama yang berkibar di Palangka Raya, pakaian dinas, serta sejumlah barang peninggalan sang legenda Kalimantan Tengah.

Hal yang paling penting adalah bahwa pada sepojok tempat. Ditutupi dengan kaca, berkunci. Namun ada beberapa sampel: buku-buku karya Tjilik Riwut yang berikut ini.

1) Sejarah Kalimantan (1952).
2) Kalimantan Memanggil (1958).
3) Maneser Panatau Tatu Hiang (1965).
4) Kalimantan Membangun (1979).

Tidak syak lagi. Menyebut Tjilik, ia sosok yang bertalenta banyak. Sebagai pahlawan nasional dan gubernur Kalteng, banyak orang tahu. Tapi hanya segelintir yang mafhum ia penulis buku dan wartawan.

Kalimantan Membangun (1979) dan Kalimantan Memanggil (1958), buku sederhana karya tangannya. "Hanya" menyajikan gambar-gambar, diimbuhi sedikit keterangan. Tapi, para pakar kemudian menyebut bahwa: itulah metode penelitian entografis-deskriptif. Kita wajib bersyukur, sebab "one picture is worth a thousands words" telah ia abadikan. Sebab "verba volant scripta manent" (yang diucapkan berlalu, tapi yang tertulis abadi selamanya). Pepatah petitih ini benar adanya.

Gambar dan sedikit kata yang jika dikaji secara hermeneutika dapat menyibak banyak hal. Cerminan manusia Dayak pada zamannya. Dilengkapi feature seputar pojok buku cilik, di ruang cilik di resto Tjilik yang terbentang di Jalan Jendral Sudirman No.1, Palangka Raya. Dahulu kala, inilah rumah tinggal pahlawan nasional dan pendiri kota Palangka raya ini.

Orang Dayak mulai menarasikan diri-sendiri, dari dalam. Tidak lagi mengutip. Tapi: dikutip. Yansen dan saya telah melakukannya.

Masuk ke dalam Galeri & Resto TjR ini. Seakan pikiran mengembara ke masa lalu. Di mana decak kagum tertuju pada sang legenda: Coba jika tidak ada orang yang memotret dan mengabadikan Dayak di masa lalu. Dari mana kita bisa tahu cerita yang menarasikan diri-kita pula?

Narasi dan branding Dayak, selama ini, dibangun orang luar. Andaikata ada orang Dayak berliterasi sejak dahulu kala. Niscaya filsafat, logika, etika, seni, dan budaya serta kearifan nenek moyang suku bangsa Dayaklah yang hari ini jadi acuan.

Faktanya adalah bahwa tacit knowledge [2] suku bangsa Dayak baru terbuka era 1990-an. Ketika mulai banyak yang berpendidikan tinggi. Banyak sarjana. Beberapa master. Segelintir doktor. Satu dua profesor.

Dan kini. Orang Dayak (mulai) menarasikan diri-sendiri. Dari dalam. Tidak lagi mengutip. Tapi: dikutip. Yansen dan saya telah melakukannya.

Namun, tak ada kata "terlambat". Ketertinggalan di bidang literasi orang Dayak mesti dipacu lebih kencang dibanding sukubangsa lain.

Bisakah? Harus bisa!

Bukankah yel yel ikatan Cendekiawan Dayak Nasional (ICDN) yang diciptakan Yansen membahanakan suatu tekad bulat yang berikut ini, "Dayak bangkit. Dayak maju. Dayak Indonesia!"

Dayak seperti simpul hidup: makin diikat, makin kuat. Kian dikencangkan, mereka makin melawan! Itu salah satu watak Dayak.

Bangkit, dalam hal ini, bangun dari tidurnya yang panjang –koma. Yang selama ini terbuai di alam “tacit knowledge”. Di mana sistem pengetahuan masih belum digali dari alam yang semata-mata mengandalkan hanya ingatan dan keterampilan semata saja.

Sistem pengetahuan orang Dayak, belum dituangkan dalam tulisan, yang sistematis, metodis, koheren, dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Masih sebatas ilmu tak-terungkap. Belum explicit knowledge, seperti orang Yunani, Eropa, Cina, Jepang, dan Timur Tengah, dan sukubangsa lain yang telah sejak lama mengenal dunia tulis-menulis.

Batu Ruyud Writing Camp (BRWC) bercita-cita menuangkan, meski musykil seluruhnya, sistem pengetahuan Dayak (tacit knowledge) itu.

Tentang tacit knowledge manusia Dayak ini. Nantikan bahasan khususnya. Akan dinarasikan setidaknya pada ada dua serial (Bab) tulisan tentangnya.
*bersambung.

Catatan belakang:
[1] Damang Batu dilahirkan di belantara Kaleka Panahan, Tumbang Pama Sungai Pejangei, Kecamatan Tewah kini. Ia memandang bahwa pertumpahan darah yang sia-sia, saling bunuh antarpuak Dayak yang umum terjadi di bumi Borneo saat itu, perlu dihapuskan. Damang Batu pun gencar melakukan pendekatan, baik kepada sesama damang, temenggung, maupun panglima atau kepala suku. Bahkan, seruan perdamaian ini direspons oleh Controleur A.C. Deher sebagai controleur Tanah Dayak di Kapuas. Maka terjadilah peristiwa bersejarah, Pertemuan Tumbang Anoi pada 1894.

 [2] Dari patah-kata Latin “tacere”, orang ketiga tunggalnya “tacit”, per makna kamus berarti: diam, tidak berbicara (Kamus Latin Indonesia, 1969: 847).Yang dimaksudkan, sudah barang tentu, bukan diam dalam arti harfiah, kelu, atau tidak berbicara sama sekali.

Sistem pengetahuan tacit itu adalah pengetahuan yang didapat bukan di bangku sekolah atau kuliah, dari proses belajar-mengajar formal antara guru-murid. Akan tetapi, pengetahuan tacit yang didapat seorang pembelajar-serius melalui serangkaian: pengalaman, pemikiran, kompetensi, dan komitmen. Diolah sedemikian rupa, melalui proses dialektika layaknya ilmu dan teori, menjadi pengetahuan dan kompetensi yang bersistem dan bermetodologi.

Sesungguhnya tacit knowledge, suatu sekolah kehidupan, itu yang memberi kontribusi 95% pada pengetahuan sebagai bekal hidup seseorang. Sisanya, 5% adalah pengetahuan eksplisit, yang didapat di bangku sekolah dan kuliah.