Fog Index - Kabut yang Menghalangi Pemandangan ketika Mendaki
Webinar yang diselenggarakan Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Palangka Raya bekerja sama dengan Bibliopedia pada 28/04-2022 mengusung topik "Academic Writing" - Penulisan (Karya) Akademik.
Webinar kebanyakan diikuti mahasiswa Pascasarjana IAKN yang dibuka juga untuk umum ini, menghadirkan 4 narasumber: Rektor IAKN, Dr. Thelhalia Ambung, Direktur Program Pascasarjana dan pengampu mata kuliah "Academic Writing", Dr. Wilson, penulis dan peneliti Masri Sareb Putra, M.A., dan penulis dan seorang cendekiawan, Dr. Yansen, TP. M Si.
Bagaimana Dr. Yansen, TP. M Si. memberikan pandangan dan pengalaman akademis dan sebagai penulis pada Webinar yang diikuti 52 peserta aktif itu, akan ditulis tersendiri nanti. Intinya, seorang akademikus harus punya kemampuan menangkap fenomena sekitar. Diinderai, dicermati, kemudian hasil penelitian itu dipublikasikan untuk kepentingan masyarakat banyak.
"Saya pun demikian waktu akan meneliti disertasi doktoral. Saya berpikir, apa hanya sebatas untuk kepentingan meraih gelar akademis? Tidak! Harus lebih dari itu. Penelitian itu harus berguna dan punya dampak," papar Yansen TP yang juga dikenal sebagai pegiat literasi.
Izinkan saya, tanpa menafikan topik yang dibawakan Narasumber lain, ingin berbagi ihwal topik yang saya bawakan. Yakni ihwal readability, keterbacaan, suatu wacana. Topik yang pernah saya gunakan teorinya untuk meneliti keterbacaan koran Suara Merdeka di Semarang. Saya membedah keterbacaan headline Suara Merdeka versi cetak terbitan 3 Mei 2013 yang ternyata indeks kabut penghalang keterbacaannya cukup tinggi untuk segmen pembacanya. Selain itu, saya juga meneliti tingkat keterbacaan Kompas 2008-2010: Analisis Isi dan Struktural Laporan Berita Berdasarkan Fog Index.
Keterbacaan suatu wacana, sesungguhnya dapat diukur dengan berbagai variable. Variabel yang paling utama adalah bagaimana jumlah huruf, jumlah kalimat, dan kata-kata sukar yang disesuaikan dengan latar belakang dan tingkat pendidikan pembacanya.
Robert Gunning menemukan formula untuk mengukur keterbacaan yang dikenal dengan istilah "The Gunning's Fog Index" atau Fog Readability Formula atau Fog Index. Kemunculan rumus ini mengalami proses panjang dan tidak muncul begitu saja. Gunning menemukan media cetak di Amerika sukar dicerna sehingga susah laku di pasaran. Analisis ini juga berlaku di mana saja, termasuk di Indonesia.
Variabel yang sangat menentukan adalah: jumlah kata dalam wacana, jumlah kalimat, dan jumlah kata-kata sukar sesuai dengan latar belakang pembacanya. Berdasarkan variabel tersebut, Gunning menemukan rumusan bagaimana mengukur keterbacaan suatu wacana agar dimengerti oleh khalayak (pembaca).
Formula ini ditemukan pakar dan praktisi media Amerika Serikat, Robert Gunning (1952). Fog secara harfi ah berarti “kabut” yang digambarkan sebagai penghalang mata pembaca untuk melihat (memahami) suatu wacana. Adapun “index” berarti angka atau jumlah. Semakin banyak kabut maka akan semakin sukar sebuah wacana untuk dimengerti.
Sebagai contoh, ambillah sebuah wacana yang dapat berupa laporan berita suatu surat kabar. Berikan pada pembaca yang tingkat pendidikannya berbeda, misalnya pembaca yang satu berpendidikan SD sedangkan yang lain berpendidikan SLTA. Tentu pemahaman pembaca akan wacana tersebut akan berbeda satu sama lain. Pembaca yang jenjang pendidikannya lebih tinggi akan mudah memahaminya, sementara pembaca yang pendidikannya minim akan merasa sukar memahaminya.
Mengapa terjadi perbedaan di kalangan pembaca memahami wacana yang sama? Inilah yang menjadi perdebatan yang sengit dari dulu sebelum ditemukannya rumusan bagai mana mengukur dan memfor mulasikan keterbacaan (readability) sebuah wacana oleh Robert Gunning.
Robert Gunning pada awal mula mengamati fenomena media (cetak) di Amerika. Ia menemukan kenyataan bahwa ada media yang laku dan ada yang kurang laku. Gunning lalu bertanya-tanya, mengapa hal itu terjadi? Gunning kemudian meneliti sejumlah media, terutama media cetak di Amerika. Ia menemukan bahwa media yang dibaca orang dipengaruhi oleh berbagai variabel. Variabel yang sangat menentukan adalah: jumlah kata dalam wacana, jumlah kalimat, dan jumlah kata-kata sukar sesuai dengan latar belakang pembacanya. Berdasarkan variabel tersebut, Gunning menemukan rumusan bagaimana mengukur keterbacaan suatu wacana agar
dimengerti oleh khalayak (pembaca).
Gunning menuangkan formula temuannya pada buku The Technique of Clear Writing (1952). Pada awal mula, uji coba keterbacaan wacana hanya bagi media yang berbasis bahasa Inggris saja. Akan tetapi kemudian, karena temuan itu berlaku universal, Fog Index pun dapat diterapkan untuk wacana yang berbahasa non-Inggris, termasuk bahasa Indonesia.
Lalu perhatikan rumusan Fog Index. Apa maknanya? Waktu Werbinar, saya telah pun menjelaskannya. Tapi kali ini masih sudi lagi berbagi.
< 8 : sangat mudah
9 – 10 : mudah
11 – 12: sedang
13 – 15 : cukup sulit
16 – 17: sulit
> 20 : sangat sulit
Hal yang saya tekankan. Jika akan menulis, temukan siapa "sasaran" pembaca Anda. Jangan juga lama-lama waktu untuk menemukannya --demikian Yansen TP-- nanti malah habis waktu untuk itu saja.
Lalu menulislah! Tulislah! --kata Pepih Nugraha dalam bukunya. Pepih juga menyinggung bahwa topik penelitian yang dihasilkan sivitas akademika bukan saja berguna, melainkan juga: "seksi", atau menjadi fokus dan menyentuh kepentingan dan interest masyarakat.
Sayang, penulis nasional dan pegiat literasi lain, Dodi Mawardi yang sempat ikut sejak awal, tak sempat memberi tips-tips berdasar kepada pengalamannya menjadi penulis produktif dan pro. Lain waktu, pasti.
Webinar seperti ini, diniatkan, akan berlanjut. Hingga akhir zaman. Sebab literasi tanpa berhenti.