Literasi

Kaltara Menulis

Kamis, 10 Februari 2022, 13:56 WIB
Dibaca 353
Kaltara Menulis

Pepih Nugraha

Penulis senior

Saya membawakan materi presentasi di acara "Seminar Literasi" di Tanjung Selor, Kalimantan Utara dengan judul yang sangat pendek; "Tulislah!" 

Judul presentasi 10 halaman yang hanya satu kata ini sesuai dengan judul buku yang sedang dalam proses penerbitan sebuah penerbit major besar di Jakarta dengan judul "Tulislah: Proses Kreatif Menulis Berita, Feature dan Fiksi".

Seminar Literasi itu sendiri bertajuk "Kreatif Membuat Konten di Era Digital", diselenggarakan selama dua hari, 8-9 Februari 2022 dalam rangka Imlek oleh komunitas Budha di Tanjung Selor di bawah pimpinan Hendy Dermawan.

Mengapa saya menyampaikan judul sependek itu dan bernada imperatif pula? Karena dimaksudkan untuk mengajak orang menulis!

Di manapun saya menyampaikan pelajaran menulis, sifat imperatif itu selalu saya sampaikan; "Tulislah!" atau "Menulislah!"

Imperatif membuat nyaman orang yang kena perintah? Tidak ada. Tetap saya tidak segan-segan meminta orang untuk menulis, karena ada sementara orang yang belum yakin dia menulis dan bahkan tidak yakin kalau dia bisa menulis 

Maka imperatif itu diperlukan dalam literasi. Memang lebih penting hasrat menulis datang dari para penulis sendiri. Ia harus mampu melihat kemampuan tersembunyi dirinya.

Saya mendapat undangan langsung dari Hendy kira-kira seminggu sebelum acara berlangsung. Saat itu saya katakan bersedia karena saya tidak bisa menolak undangan orang baik.

Hendy bukan orang "kemarin sore" di mata saya. Sejak saya berkecimpung dalam kegiatan literasi Kaltara dan ketika saya harus tinggal di Tanjung Selor selama 3 minggu, kemudian disusul tinggal selama lebih dari satu bulan di ibukota Kaltara tersebut, Koh Hendy -demikian saya memanggilnya- kerap membantu menemani, mengajak ngobrol, ngopi, jalan kami semua, pegiat literasi Kaltara.

Saya harus menempatkan Hendy sebagai pegiat literasi Kaltara. Tentu berbeda "kasta" dengan Yansen Tipa Padan yang sudah masuk kaliber tokoh literasi nasional, bukan lagi sekadar Kaltara. Namun keduanya sama-sama menjadi "role model" penggerak literasi Kaltara, meski yang dilakukan Koh Hendy baru sebatas "debutan".

Dengan reputasinya yang demikian hebat, sudah pada tempatnya jika Yansen diletakkan sebagai tokoh literasi nasional. Artinya selain menggerakkan warga maupun komunitasnya untuk berliterasi, ia sudah berada di level nasional. Sudah menjadi tokoh literasi nasional.

Tentu predikat "tokoh literasi nasional" tidak digapai dengan cara instan atau "ujug-ujug", tetapi merupakan proses dan akumulasi serta pergulatan yang ajeg dan berkesinambungan dalam bidang literasi; menulis buku, pembicara dan seterusnya. Saat ini Yansen telah menulis dan menerbitkan tujuh buku.

Subjek penulisannya beragam, mulai buku ilmiah karena mengemas ulang disertasinya, maupun buku umum yang enak dibaca. Bahkan buku terakhirnya, yaitu "Menghianati Keputusan Sendiri" lebih merupakan memoar politiknya di mana di sana terungkap kegalauan yang ternyata diperlukan orang banyak. 

Mengapa menghianati keputusan sendiri? Karena sebelumny ia bertekad tidak akan terjun ke politik setelah menjabat 2 kali sebagai bupati Malinau, tetapi karena desakan masyarakat yang memintanya untuk terus mengabdi kepada rakyat, maka dengan "terpaksa" ia terjun kembali ke dunia politik, lebih intensif berada di Demokrat sebagai wakil ketua umum partai, sampai kemudian mencalonkan diri sebagai wakil gubernur Kaltara dan berhasil.

Menyemai Pemikiran

Pernah suatu waktu Yansen mengungkapkan bahwa dirinya ajeg ingin berkegiatan di bidang literasi, ingin menyemai pemikirannya kepada orang lain dengan harapan pemikirannya itu dijadikan sebagai penyemangat agar warga Kaltara khususnya dan warga negara Indonesia pada umumnya untuk terus menulis, dimulai dari hal-hal yang kecil.

Karena Yansen juga sebagai seorang birokrat dan doktor di bidang administrasi pemerintahan maka, apa yang ia tulis tidak jauh-jauh dari pengalamannya itu, bahkan buku Gerdema merupakan hasil dari disertasi di Universitas Brawijaya.

Sekarang tatkala Yansen sudah menjabat wakil gubernur Kalimantan Utara, sesungguhnya geliat literasi di provinsi paling bontot ini, terus dilakukan. Bahkan sebelumnya, saat Provinsi Kaltara ingin memiliki buku sejarahnya sendiri, Yansen-lah tokoh literasi terkemuka yang berdiri di depan gagasan ini. Sayang penulisan terhenti karena satu dan lain hal, namun tidak menutup kemungkinan buku Sejarah Kaltara dapat terwujud (atau diwujudkan) di masa depan.

Terhentinya (untuk sementara waktu) penulisan Sejarah Kaltara bukan berarti menghentikan kegiatan literasi di provinsi paling utara Pulau Kalimantan ini, Yansen tetap berliterasi bersama para pegiat literasi lainnya, terbukti Yansen berhasil menyelesaikan buku yang kemudian diterbitkan akhir tahun 2021 rencananya akan diluncurkan akhir Februari 2022 ini. 

Kemudian yang tidak bisa dipungkiri adalah, bahwa geliat literasi Kaltara telah dimulai lagi oleh kegiatan Seminar Sehari yang dibesut Hendy Dermawan dan kawan-kawan. Kegiatan ini seolah-olah melanjutkan tradisi literasi yang sesungguhnya baru terdengar tatkala Yansen menjabat sebagai wakil gubernur di Kalimantan Utara.

Jelas Yansen sudah menancapkan tonggak literasi di Kalimantan Utara dengan kegiatan-kegiatan yang tidak jauh dari penulisan buku, seminar, pelatihan dan seterusnya, kemudian apa yang dilakukan Hendy adalah meneruskan estafet kegiatan literasi Kaltara.

Terlebih lagi, Hendy yang merupakan "double minority" (warga keturunan Tionghoa sekaligus Budha) bahkan di Tanjung Selor atau di Kalimantan Utara, sanggup mengemas seminar sehari sebagai cermin kebhinekaan.

Mengapa cermin kebhinekaan, sebab para peserta yang hadir di seminar sehari tersebut berasal dari berbagai kalangan, tidak memandang usia, pendidikan, strata, suku, agama. Hadir warga etnis Tionghoa, etnis Dayak, Bulungan, Tidung, Batak, dan seterusnya, berbaur menjadi satu dalam satu kegiatan literasi. Betul-betul bhineka. Mereka inilah yang bakal menjadi tonggak literasi Kaltara berikutnya, yang akan terus mengusung kegiatan literasi di Kaltara khususnya dan Kalimantan pada umumnya.

Saya tak henti-hentinya mengompori -dalam kebaikan tentu saja- bahwa teman-teman di Kaltara harus selalu menyuarakan yang tak tersuarakan atau "voicing the voiceless", apalagi sebagai "double minority", yang punya keresahan, harapan, keinginan, bahkan kemarahan dan semua ungkapan itu harusnya ditulis, disuarakan, sehingga orang lain mendengar suara-suara mereka yang selama ini tak terdengar. Itulah esensi yang saya kemukakan dalam pelatihan selama dua hari tersebut.

Pujian patut dilayangkan kepada Hendy yang menyelenggarakan seminar leterasi bersama komunitasnya. Juga Yansen Tipa Padan yang mendukung acara ini dengan memberi kata sambutan dalam bentuk rekaman video, di mana pesan yang disampaikannya benar-benar menjadi penyemangat hadirin.

Lanjutkan!

Alangkah eloknya jika kegiatan seminar literasi ini diduplikasi untuk diselenggarakan di lima Kabupaten dan Kota yang ada di Kaltara, yaitu di Bulungan, Nunukan, Tana Tidung, Malinau dan Tarakan dengan pola yang sama, tetapi tentu saja dengan proximity yang berbeda dari para pembicara dalam menyampaikan materinya.

Harapan saya sebagai salah seorang yang didapuk sebagai pembicara -selain Masri Sareb Putra- agar kegiatan seminar literasi ini tidak hanya berhenti di seminar dua hari, tetapi harus dilanjutkan dengan aksi lanjutan, yaitu menulis, mengisi konten media sosial, menulis buku, memoar dan seterusnya, yang memungkinkan Kaltara menjadi provinsi terpandang di bidang literasi

***