Filosofi

Cerita Amplop Tertutup

Rabu, 17 Maret 2021, 16:41 WIB
Dibaca 389
Cerita Amplop Tertutup
Guru dan murid (Foto: Minga)

Seorang guru mengeluh pada seorang bijaksana, tentang anak muridnya yang nakal. Murid itu selalu mengganggu teman-temannya. Walaupun sudah dinasehati, dimarahi, dan bahkan dipukul, ia tetap pada kenakalannya itu. Sang guru mengeluh dan bertanya apa yang bisa dia lakukan untuk memperbaiki anak itu.

Sang bijaksana mendengarkan penjelasan sang guru. tersenyum, dan berkata, "teruslah dengan usahamu, kelak dia akan berubah sendiri". Setelah itu sang bijaksana menulis sesuatu di sebuah kertas dan menaruhnya di amplop tertutup. Ia berpesan sang guru membukanya 10 tahun kemudian atau jika mendengar kabar tentang sang anak nakal setelah 5 tahun.

Sang guru kembali mengajar dengan optimisme meningkat. Ia dengan penuh perhatian mencoba membenarkan si anak nakal, tapi nasehat demi nasehat dan hukuman demi hukuman tidak mengubah perilaku si anak nakal. Sampai si nakal lulus ia selalu menjahili teman-temannya, menolak belajar serius dan terus membanyol.

Sang guru merasa gagal mendidik si anak dan menyesali nasehat sang bijaksana.

Sepuluh tahun kemudian, setelah sang guru melupakan kejadian itu tiba-tiba pintu rumahnya diketuk orang. saat dibuka, dihadapannya berdiri seorang tokoh masyarakat, muda, kondang yang sangat terpandang karena kebaikan, kebijaksanaan dan kedermawanannya.

Tokoh itu langsung memeluk sang guru yang telah renta dan berkata, "Terima kasih atas didikanmu, yang membuat aku bisa menjadi seperti saat ini. Semua nasehat dan didikan guru selalu aku ingat hingga saat ini." Saat itu sang guru mengenalinya sebagai si murid nakal didikannya.

Segera setelah si anak nakal yang telah menjelma menjadi orang besar itu pulang, sang guru teringat pada surat sang bijaksana. dikeluarkannya surat itu dari tumpukan kertas-kertas berdebu di meja tulisnya. Dibukanya amplop yang sudah kumal. Di dalamnya ada secarik kertas hanya berisi satu kalimat; "Anak itu akan jadi orang besar."

Sang guru terperangah dan merasa bersalah telah melecehkan sang bijak. Malam itu juga ia mencoba menemui sang bijak yang sudah tua renta.

Sang guru mencium tangan sang bijak dan bertanya, bagaimana ia bisa tahu bahwa sang anak nakal akan menjadi orang besar. Terbatuk sang bijak menjawab, "Dari sifat-sifat anak yang kau ceritakan, bagaimana ia memimpin, mengatasi, menguasai dan mencandai teman-temannya, dia punya kualitas orang besar. Apalagi dari kepedulian dalam suaramu, aku tahu dia ada dalam didikan orang yang tepat."

Sang guru maklum, ilmu ma'rifat sang bijak sangat tinggi. Toh, ia merasa bersalah telah melecehkan sang bijak. Perlahan dia mengeluh,"Kenapa tidak bapak bilang sejak dulu. saya pasti akan lebih memperhatikannya..."
Sang bijak tersenyum dan berkata, "Justru itu, kalau aku beritahu kau dan kamu merubah caramu mengajar padanya mungkin ia hanya jadi preman. Mungkin teman-temannya jadi mengistimewakan dia, dan dia hanya akan jadi sampah masyarakat. Tanpa kau tahu justru caramu mengajar yang disiplin membuat ia jadi orang besar."

Manusia di dunia punya takdir sendiri-sendiri. Ada yang ditakdirkan menjadi orang besar seperti si nakal.  Ada yang ditakdirkan sebagai penuntun dan penunjuk jalan seperti sang guru. Ada yang ditakdirkan seperti anak-anak teman si nakal yang bertugas membuat lingkungan sesuai untuk perkembangan si nakal menjadi orang besar, dan ada juga yang ditakdirkan menjadi sang bijaksana, orang yang tahu tapi tak boleh mencampuri. Sang bijak hanya bisa mengamati dan mencatatnya sebagai pelajaran di kemudian hari...

Semua sama pentingnya, derajatnya sama, kedudukannya sama. Sama-sama manusia. Jika kita berhasil menunaikan tugas keberadaan kita di dunia, maka kita bisa berkata, kita sudah menunaikan tugas kita.

Yang manakah kamu? Si nakal yang jadi orang besar? Sang guru penunjuk jalan? Teman-teman yang menyertai? Atau sang bijaksana? Atau mungkin sudah membaur ke dalam amplop tertutup sang Takdir?

***