Filosofi

Spiritualitas Burung Enggang (Hornbill)

Selasa, 26 Januari 2021, 09:08 WIB
Dibaca 1.947
Spiritualitas Burung Enggang (Hornbill)

Para misionaris hadir di tanah Dayak untuk memberitakan Injil. Kabar sukacita bagi mereka yang dilindas dan tertindas. Mereka telah memenangkan orang Dayak dan sebaliknya orang Dayak telah dimenangkan oleh warta sukacita, pembebasan lahir dan batin, yang dibawa oleh para misionaris.

Kemenangan ini bukanlah soal pertempuran, pertandingan ataupun persaingan. Namun, suatu kemenangan yang didasarkan pada sebuah keharusan bagi siapa saja yang pernah mendengar pemberitaan tentang Injil Tuhan. 

Sungguh tidak dapat disangkal, jauh sebelum Indonesia merdeka, yang memberi bantuan kesehatan, obat-obatan kepada orang Dayak adalah para misionaris itu. Mereka juga memberi pendidikan bagi orang Dayak, di Kalbar di Nyarumkop.

Para misionaris telah menjadi segala-galanya bagi orang Dayak. Hidup di tempat yang langka akan kemewahan dan jauh dari kecukupan. Tetapi hidup di antara orang Dayak merupakan kemegahan bagi mereka. Jika mereka ditanya tentang upah, mereka akan menjawab, “Inilah upah kami, kami ada bersama orang Dayak”.

Kesulitan yang dialami misionaris awal nampak dari catatan Sanders (lihat Nasib Orang Dayak). Catatan itu menampilkan kesulitan dari dimensi kehidupan manusia yang hakiki yakni politik, ekonomi, kondisi geografis, dan budaya. Namun dalam situasi yang demikian Sanders tetap yakin bahwa di tanah Dayak “misi akan bisa lebih baik hasilnya”.

Masyarakat Dayak sangat menjunjung tinggi keberadaan dan kehidupan burung. Burung enggang salah satunya. Enggang atau Rangkong atau Tinggang (bahasa Inggris: Hornbill) adalah nama suatu jenis burung besar anggota keluarga Bucerotidae yang memiliki paruh yang besar di mana di atas paruhnya terdapat tonjolan menyerupai cula.

Pastor Looymans, seorang misionaris yang pernah menginjakkan kaki di tengah orang Dayak di Sejiram, Kapuas Hulu-Kalimantan Barat pada tahun 1891 mengalami kesulitan yang tidak mudah. Dia seorang diri dengan kondisi yang tidak terlalu sehat. Dia sempat sakit dan dirawat di rumah sakit selama kurang lebih delapan bulan.

Kesulitan yang dihadapi terhadap orang-orang Dayak kala itu adalah bagaimana dia mengajak orang untuk bertobat. Orang Dayak sulit untuk meninggalkan kepercayaan mereka. Kadang-kadang untuk menghibur hati orang Dayak, dia memberi mereka garam, obat-obatan atau hadiah-hadiah kecil lainnya.

Pastor Looymans juga berusaha untuk memperbaiki kehidupan ekonomi orang-orang Dayak dengan beternak babi dan kambing dan membuka kebun kopi yang tidak terlalu besar. Dia memberi teladan kepada orang-orang Dayak dalam kehidupannya sehari-hari. Tanpa ada kata-kata paksaan yang keluar dari hidup misionaris ini. Kehadirannya di tengah orang Dayak menarik untuk diikuti.

Baca Juga: Dayak Katolik: Menyibak Jejak-Jejak Sejarah Masa Lalu

Tidak mengherankan dalam catatan sejarah Gereja Keuskupan Sintang, Kalimantan Barat dalam waktu tujuh bulan, Pastor Looymans sudah membaptis 58 orang anak-anak. Sejak saat itu, anak-anak mulai rajin datang dan menghadiri misa kudus di kapel kecil dekat pastoran. Setelah misa, anak-anak bermain dan bahkan juga makan di pastoran.

Sedikit demi sedikit jumlah anak terus bertambah. Mereka mulai mau mengikuti Pastor Looymans untuk pergi ke kampung-kampung memberitakan Injil. Jika tidak pergi ke kampung-kampung, anak-anak diajar untuk membaca, menulis dan berhitung. Pastor Looymans mulai memberi pendidikan bagi orang-orang Dayak.

Perlu diketahui bahwa memulai sebuah sekolah di kalangan Dayak pada waktu itu cukup sulit. Para misionaris harus pergi ke kampung-kampung mencari anak-anak yang mau sekolah. Anak-anak dan orangtua diberi pengertian tentang pentingnya sekolah, dibujuk dengan kata-kata, dan kadangkala harus diberi hadiah agar mau sekolah.

Tidak hanya itu. Para misionaris tetap harus pergi ke kampung-kampung agar anak-anak yang sudah sekolah tetap mau melanjutkan sekolahnya karena kerap tidak lagi dizinkan oleh orangtua mereka. Hal ini dikarenakan ada isu bahwa anak-anak yang sekolah tidak lagi kembali kepada orangtua mereka dan dibawa pergi. Isu ini membuat pedih hati para misionaris. Sebab mereka sulit mencari anak-anak yang oleh orangtua mereka kadang disembunyikan di ladang atau di loteng rumah ketika mendengar pastor datang ke kampung mereka.

Merujuk pada laporan Pastor Sanders, pengalaman-pengalaman yang di ataslah yang dimaksudkannya bahwa misi akan banyak kesulitan. Namun layaknya Yohanes yang menunjuk kepada Yesus sebagai ‘Anak Domba Allah’ (Yoh 1: 29, 36) demikianlah Pastor Sanders menunjuk Yesus kepada orang-orang Dayak.

Pastor Sanders dan para misionaris setelahnya berjalan, berkeliling, menyusuri daratan dan pinggiran sungai untuk melihat manusia di kampung-kampung Dayak. Perjalanan yang cukup melelahkan dan penuh dengan risiko ditempuh hanya untuk menunjuk Yesus kepada orang-orang yang katanya jika ada misi di sana “menurut perkiraan manusiawi, bisa lebih baik hasilnya”.

Apa yang menggerakkan Pastor Sanders ini sehingga dengan berani dan sungguh optimis bahwa di tanah Dayak “menurut perkiraan manusiawi, bisa lebih baik hasilnya”? Apakah dia melihat bahwa orang Dayak kala itu nampak bodoh, tak berdaya, mudah untuk ditipu, bermental pecundang,  dan jika diajari hal-hal baru mereka akan mengikuti?

Atau apakah Pastor Sanders melihat bahwa pengalaman orang-orang Dayak yang dijajah, ditindas, disingkirkan oleh orang-orang Melayu yang sampai-sampai Pastor ini mengatakan bahwa “nasib orang Dayaklah dalam segala hal paling menyedihkan” menjadi kesempatan untuk mewartakan Yesus yang tersalib bagi orang-orang Dayak? Atau sikap optimis dari Pastor ini berangkat dari adat-istiadat, gerak-gerik, cara hidup, cara pikir, kepercayaan lokal dan kebudayaan yang nampaknya merintis untuk memperkenalkan Yesus.

Burung enggang

Kebanyakan masyarakat Dayak sangat menjunjung tinggi keberadaan dan kehidupan burung. Burung enggang salah satunya. Enggang atau Rangkong atau Tinggang (bahasa Inggris: Hornbill) adalah nama suatu jenis burung besar anggota keluarga Bucerotidae yang memiliki paruh yang besar di mana di atas paruhnya terdapat tonjolan menyerupai cula. Burung ini memiliki bulu yang tebal. Ekornya panjang dan berwarna loreng-loreng, hitam dan putih. Suaranya indah dan keras. Biasanya burung ini beristirahat dan bersarang di puncak pohon yang tinggi. Burung ini hidup bebas di belantara hutan Kalimantan dan Sumatera.

Di banyak tempat burung Enggang sudah dikenal dan diyakini sebagai burung suci dalam suku Dayak. Bahkan dalam tradisi adat dan budaya Dayak, burung Enggang merupakan simbol kehadiran “Alam Atas” yaitu alam para Dewata yang bersifat “maskulin”. Hampir seluruh bagian tubuh burung Enggang (bulu, kepala, paruh) menjadi lambang kemuliaan, kebesaran dan persatuan suku Dayak.

Bulu yang indah dari burung ini, dilambangkan sebagai pemimpin yang dikagumi oleh rakyatnya. Sayapnya yang tebal, menggambarkan pemimpin yang melindungi rakyat. Suaranya yang keras, menandakan perintahnya yang selalu didengar oleh rakyat. Ekornya yang panjang, dilambangkan sebagai pertanda kemakmuran bagi rakyatnya.

Bisa jadi Pastor Sanders melihat orang-orang Dayak dalam konteks menghidupi spiritualitas burung Enggang ini. Dasar dari kehidupan orang Dayak adalah menantikan sebuah gerbang di mana semua orang dapat masuk dan berdiam di dalam sebuah harapan yang mampu memimpin, melindungi dan memberi kemakmuran dan kesejahteraan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa orang Dayak kala itu hidup dalam penjajahan dan tak ada siapapun yang membela, termasuk pemerintahan. Kini gerbang itu telah dibuka dengan misi yang berlanjut hingga sekarang. Burung Enggang baru melayang di bumi Kalimantan yangnampak pada salib yang berlumuran darah Anak Domba. Orang Dayak mengikuti apa yang ditunjuk oleh Pastor Sanders yakni misi yang mewartakan Yesus. Inilah sebuah pencarian yang tak dicari orang Dayak namun datang dengan sendirinya. Misi membuka gerbang manusia Dayak baru.

Para misionaris ini benar-benar memegang teguh pesan “Yang meneladan Tuhan Yesus, dikobarkan oleh cinta kasih. Dengan menngenali bahkan di dalam diri orang-orang tak beriman sebagai anak-anak Allah, yang ditebus dengan harga yang sama dari darah ilahi, ia tidak terusik oleh kekasaran mereka. Mereka tidak berkecil hati berhadapan dengan kekerasan hati akan adat istiadatnya, tidak merendahkan atau menghina mereka, tidak memperlakukan mereka dengan keras dan kejam, namun mencoba menariknya dengan segala kelembutan kebaikan Kristiani, untuk menuntunnya suatu hari ke dalam pelukan Kristus” (Maximum Illud, no. 28).

 ***