de Sophisticis Elenchis, Narasi Sesat-nalar dalam Politik yang Mejerumuskan
Tulisan yang sangat bermanfaat....saya baca 2 kali๐
Demikian salah seorang Pembaca berkomentar tentang tulisan dengan topik "Thaumasia: Pangkal Mula Berfilsafat". Aleksander Leban, pembaca itu, memancing hasrat saya berbagi. Menulis tentang topik seperti ini lagi.
Kali ini mengenai "de Sophisticis Elenchis". Yakni narasi Kesesatan Nalar dalam Politik yang mejerumuskan, namun dianggap sebagai sah-sah saja. Terutama dalam politik. Entah untuk mengkaunter isu. Entah untuk membangun agenda setting.
**
Beruntung saya belajar Filsafat Formal selama 4 tahun di jenjang S-1. Dan dua semester di jenjang S-2. Juga belajar bahasa Yunani koine. Sehingga bisa langsung bertemu, dan membaca babon naskahnya. Dari naskah Politeia karya Plato, hingga babon logika mahakarya Aristoteles, Organon.
Kita langsung saja to the point. Saya sarikan serba-terbatas mengenai de Sophisticis Elenchis.
Kesesatan-kesesatan berpikir atau kesalahan nalar sudah lama menjadi pusat perhatian para pemikir, terutama Aristoteles (384 s.M. – 322 s.M.). Ditelitinya. Dan ditemukannya kesalahan berpikir yang dengan sengaja dibangun untuk menyesatkan banyak orang. Pada zaman Aristoteles hidup, kaum sofis menggunakan keterampilan retorika dan kepintaran mereka untuk menyesatkan orang.
Teknik di dalam, dan untuk, menyesatkan orang ini meski isi pernyataan salah namun dalam bangun logika tampak lurus, oleh Aristoteles disebut dengan “de Sophisticis elenchis”. Dalam bahasa Indonesia, dapat diterjemahkan sebagai “tentang kesesatan-kesesatan berpikir kaum Sofis”.
Mengamati fenomena pada zamannya di mana kaum Sofis cenderung menggunakan kepintaran mereka untuk menyesatkan orang, Aristoteles berpikir keras. Sang filsuf menemukan sekaligus membuktikan bahwa landasan kebenaran dari preposisi kaum Sofis sangat lemah. Landasan untuk dijadikan premis tidak benar sehingga simpulannya juga tidak benar.
Aristoteles berhasil mengenali kesalahan-kesalahan mendasar tersebut dan kemudian mengkritisinya. Sebagaimana dicatat oleh W. A. Pickard (2007), Antony Flew (1998), dan Nicholas Capaldi (1987) inilah salah satu jasa besar Aristoteles dalam logika selain temuannya mengenai silogisme.
Tanpa mengamati dan berhasil membongkar kesesatan-kesesatan berpikir kaum Sofis, kita tidak pernah tahu betapa sering tidak ada korelasi antara kebenaran (isi pernyataan) dan berpikir lurus atau berpikir logis. Betapa sesat pikir dapat digunakan untuk memengaruhi publik agar publik bersimpati dan memberikan dukungan kendatipun argumen yang diajukan sebenarnya dibangun atas dasar kepalsuan, bukan pada kebenaran.
Sebagaimana kita ketahui bahwa mahakarya Aristoteles tentang logika tertuang dalam buku Organon. Ia sendiri tidak menulis, namun murid-murid Aristoteles yang mengabadikan pemikirannya dalam Organon yang terdiri atas beberapa buku yakni.
1. Kategori (Latin: Categoriae) memperkenalkan 10 klasifikasi Aristoteles. Kategori-kategori yang dimaksudkan terdiri dari substansi, kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, situasi, kondisi, tindakan, dan passi.
2. Interpretasi (Latin: De Interpretatione, Yunani: Perihermenias) memperkenalkan konsep Aristoteles tentang proposisi dan penilaian, dan berbagai hubungan antara afirmatif, negatif, proposisi universal dan khusus. Ini adalah kontribusi paling penting dari Aristoteles untuk filsafat bahasa. Buku ini juga membahas masalah kontingensi masa depan.
3. Prior Analytics (Latin: Analytica Priora) memperkenalkan metode silogisme, berpendapat untuk kebenaran dan membahas inferensi induktif.
4. The Posterior Analytics (Latin: Analytica Posteriora) berkaitan dengan demonstrasi, definisi, dan pengetahuan ilmiah.
5. Topik (Latin: Topica) bagaimana membangun argumen dan simpulan yang valid bahwa kemungkinan bukan sesuatu yang pasti. Dalam risalah ini, Aristoteles menyebut Predicables, kemudian dibahas oleh Porphyry dan ahli logika skolastik.
6. Sophistical Refutations (Latin: De Sophisticis Elenchis) memberikan pembuktian akan kesalahan-kesalahan logis (logical fallacies), dan menyediakan kunci untuk memahami retorika Aristoteles.
Terdapat dua klasifikasi kesesatan. Yakni kesesatan dalam bahasa dan kesesesatan dalam hal relevansi.
Di bidang kesesatan bahasa, dikenal kesesatan dalam aksentuasi, ekuivokasi, amfiboli, dan metaforis. Sementara kesesatan dalam relevansi terdapat 13 (tiga belas) kesesatan yakni:
1. Argumentum ad populum (argumen yang mengatasnamakan rakyat).
2. Argumentum ad auctoritatem (argumen yang mengandalkan otoritas).
3. Argumentum ad Hominem (argumen yang didasarkan pada manusia/ pribadi).
4. Argumentum ad baculum (argumen yang menakut-nakuti).
5. Argumentum ad misericordiam (argumen yang menimbulkan rasa iba/ belas kasihan).
6. Argumentum ad verecundiam (memberikan rasa malu pada lawan).
7. Ignoratio elenchi (simpulan yang tidak relevan dengan premisnya).
8. Argumentum ad ignoratiam (pernyataan yang dinyatakan benar karena kesalahannya tidak terbukti salah).
9. Petitio principii (simpulan atau pernyataan pembenaran dimana di dalamnya premis digunakan sebagai kesimpulan dan sebaliknya, kesimpulan dijadikan premis).
10. Kesesatan non causa pro causa (post hoc ergo propter hoc/ false cause bukan alasan sebenarnya tapi dijadikan sebagai alasan).
11. Kesesatan aksidensi (suatu kebenaran yang kebetulan/ sementara dijadikan argumen untuk menarik simpulan bahwa semua hal demikian).
12. Kesesatan karena komposisi dan divisi (anggapan bahwa apa yang benar (berlaku). Bagi individu atau beberapa individu dari suatu kelompok tertentu pasti juga benar (berlaku) bagi seluruh kelompok secara kolektif).
13. Kesesatan karena pertanyaan yang kompleks (pernyataan yang disusun sedemikian rupa, sehingga sepintas tampak pernyataan sebagai yang sederhana, namun sebetulnya bersifat kompleks).
Demikian, sekadar "berkenalan". Lengkapnya, akan saja narasikan dalam buku. Lengkap dengan contohnya.