Estetika, Estetik, Estetisme, apa Beda-bedanya?
Istilah “estetika” atau “estetik” sering digunakan untuk menyebut “artistik”. Harap maklum, kita adalah bangsa yang sering latah.
Dulu, di abad ke-19, kalangan menengah di Eropa tidak suka terhadap seni yang tidak bermoral menurut versi mereka. Di masa yang sama sains betapa berkuasa, otoriter, dalam hal kebenaran. Berkumpullah mereka yang benci suasana ini hingga tercipta Gerakan Estetika (Aesthetic Movement) di Prancis.
Para seniman di Prancis bersepakat bahwa seni tidak untuk moral atau menjadikan moral sebagai tujuannya. Seni itu bagi mereka adalah satu kenyataan otonom sehingga ia memiliki moral di dalam dirinya sendiri, karenanya kita mengenal istilah “kesempurnaan formal” dalam seni sehingga mengenal istilah "unsur intrinsik" seni. Berkaitan dengan kebenaran, seni pun membicarakan kebenarannya sendiri untuk menghindari otoritas sains. Saat itulah lahir istilah "seni untuk seni", l’art pour l’art, bahwa seni bukan untuk melayani selera moral dan selera kebenaran.
Di Indonesia banyak sudah seniman, termasuk di dalamnya sastrawan, yang tidak terlalu mengerti otoritas sains, juga tidak meriset respons kalangan tertentu tentang moral yang mereka maksudkan, tapi tiba-tiba latah menggunakan istilah l’art pour l’art karena kita “negara belajar”, ada kecenderungan ikut-ikutan tanpa tahu sejarah gerakan tersebut.
Persiapan ke arah Gerakan Estetika ini pada mulanya digagas di Jerman. Buku Immanuel Kant Critique of Judgment (1790) adalah akar pemikiran Eropa ke kesadaran tersebut. Kant memandang bahwa pengalaman estetika itu mesti murni, mendalam, dan tanpa pamrih, dan tidak mengacu pada realitas moral eksternal (dalam kajian biasanya disebut "unsur ekstrinsik").
Dalam literatur-literatur tertentu Anda mungkin pernah membaca istilah “French Aestheticism”, dan hal itu masih ada kaitannya dengan Gerakan Estetika, namun konsep tersebut mengacu pada pernyataan Théophile Gautier pada tahun 1835. Ia memberi pengantar Mademoiselle de Maupin dan menjelaskan bahwa seni itu tidak berguna. Pandangan seni tidak berguna tersebut pada saat itu terbilang radikal dan bahkan Abrams menyebutnya cerdas! Mungkin bukan cerdas, tapi berani, mengingat tindak radikal saat itu belum benar-benar jadi bagian dari tradisi intelektual.
Di literatur lainnya mungkin juga Anda pernah membaca istilah “estetisme”, terjemahan dari aestheticism. Istilah tersebut mengacu pada klaim Edgar Allan Poe pada tahun 1850 dalam “The Poetic Principle”. Ia bilang seni yang paling seni itu adalah poem per se, yaitu puisi yang ditulis semata demi puisi tersebut. Flaubert dan Mallarmé, masing-masing novelis dan penyair, dinilai para ahli sastra sebagai penganut paham Poe. Poe sendiri lebih dikenal sebagai pengarang cerpen alih-alih sebagai penyair. Di tangan Flaubert konsep ini mengalami pendalaman ke arah kuasi-religius sehingga seni seakan-akan agama tersendiri dan memang dia sendiri yang mengatakan seni itu agama keindahan.
Harus juga diperhatikan bahwa di Inggris Estetisme Prancis itu lantas mengarah pada kecerdikan, kehalusan gaya, dan sensasi. Hal itu diperkenalkan oleh Walter Pater tahun 1873 serta para pengarang tahun 1890-an seperti Oscar Wilde. Hal itu terus berlanjut hingga abad ke-20 dalam karya-karya Eliot, Yeats, hingga mempengaruhi lahirnya teori sastra New Critics.
Semoga karangan singkat ini berguna terutama untuk para pelajar dan mahasiswa yang belakangan sering menggunakan kata "estetik". Mungkin sebaiknya menggunakan kata "artistik" jika yang dimaksud adalah "indah", "cantik", "unik", "antik", "beda", "berani", atau mungkin "gokil." Kebiasaan kita menggunakan kata-kata tertentu secara sembarangan mendandakan kita selalu membenarkan kebiasaan daripada membiasakan benar. []
Arip Senjaya dosen sastra dan filsafat Untirta, anggota Komite Buku Nonteks Pusbuk Kemdikbud.