Filosofi

Bekal - Arti Penting dan Makna Keberadaannya dalam Kehidupan Agraris Suku Dayak Desa

Kamis, 22 April 2021, 09:10 WIB
Dibaca 1.404
Bekal - Arti Penting dan Makna Keberadaannya dalam Kehidupan Agraris Suku Dayak Desa
Warga sedang makan bersama di tengah sawah. Sumber: Sumaterapost.co

Bekal. Sesuatu yang sungguh sangat familiar dalam kehidupan kita. Saya merasa yakin setiap kita hampir selalu membawanya saat bekerja di kebun/ladang. Saat mengadakan perjalanan. Saat pergi piknik bersama sahabat atau orang-orang terkasih, dan dalam kesempatan-kesempatan lainnya.

Akan tetapi, sesuatu yang sudah sangat familiar acapkali kurang kita sadari arti dan maknanya bagi hidup kita. Saya sendiri selama ini melihat keberadaan bekal tidak lebih hanya sebagai sumber energi dalam bekerja. Dari cerita orang-orang tua, barulah kemudian saya menyadari ada banyak makna di balik keberadaan bekal itu sendiri.

Dengan berangkat dari konteks hidup dan kepercayaan komunitas adat Dayak Desa, saya ingin mencoba, tentu saja sejauh pemahaman ringan saya, menyingkap makna di balik keberadaan bekal yang setiap hari dibawa oleh petani saat bekerja di ladang.

Bekal yang saya maksudkan di sini ialah bekal dalam bentuk nasi.

Bagi masyarakat Dayak yang hidup sebagai peladang, bekal jelas saja memainkan peran yang sangat penting. Dia pertama-tama menjadi sumber tenaga bagi mereka agar bisa menggarap sawah atau ladang dengan baik.

Namun, apakah peran bekal hanya sebatas menjadi sumber tenaga dalam bekerja?

Dalam komunitas adat suku Dayak Desa, keberadaan bekal lebih dari itu arti dan maknanya. Lihat saja, seperti yang dikisahkan oleh orang-orang tua, ketika hendak pergi bekerja di ladang, yang harus pertama kali disimpan ialah bekal nasi. Lalu, apabila di tengah perjalanan seseorang menyadari kalau dia lupa membawa bekal, dia harus kembali ke rumah untuk mengambilnya. Demkian juga apabila dia sudah tiba di ladang dan menyadari hal yang sama, wajib hukumnya bagi orang tersebut untuk kembali ke rumah. Dan sebelum berangkat kembali ke ladang, dia harus makan terlebih dahulu walaupun sebelumnya juga sudah makan.

Apa yang terjadi bila perkara lupa membawa bekal tersebut tidak diindahkan? Masyarakat Dayak Desa meyakini kalau nasib sial dapat menimpa orang tersebut. Meski tentu saja tidak mengharapkan sesamanya mengalami hal buruk, di mata orang suku Dayak Desa tetap ada sesuatu yang kurang baik yang dapat menimpa mereka yang lupa membawa bekal.

Kondisi di mana seseorang mengalami nasib sial oleh masyarakat suku Dayak Desa dinamakan dengan kempunan. Nasib sial karena kempunan itu sendiri, menurut mereka, bisa ditangkal dengan melakukan palit (ngomomalekpelopasposekpusam, dll).

Mengapa bekal menduduki peran penting dalam kehidupan komunitas adat Dayak Desa berkaitan erat dengan kedua fenomena di atas. Karena itu, meski di sana sini masih ada perdebatan mengenai kedua fenomena tersebut, saya ingin mencoba menelisik apa makna yang terkandung di dalamnya.

Rekan saya, Trio Kurniawan, seorang dosen di STKIP Pamane Talino, Ngabang dan penggagas berdirinya Betang Filsafat, pernah membahas soal kedua fenomena tersebut dalam salah satu artikelnya (https://www.betangfilsafat.org/kempunan-sebuah-tinjauan-filosofis/).

Dalam artikel tersebut ada tiga poin penting yang dia tekankan terkait fenomena kempunan dan palit (ngomomalek dalam bahasa mereka, Uud Danum). Pertama, kempunan pada dasarnya mengajarkan setiap warga Uud Danum untuk menghargai rejeki (dalam rupa makanan) dan juga keramahtamahan antar warga. Kedua, mencicip atau menyentuh makanan agar tidak terkena kempunan juga mengandaikan suatu sikap berbagi syukur. Ketiga, makanan-makanan tersebut (kopi, pulut (beras ketan), garam, nasi goreng, tuak)  merupakan jenis makanan yang melambangkan berkat langsung dari Tahala’ (Realitas Tertinggi dalam kepercayaan Uud Danum).

Saya pribadi sungguh sependapat dengan apa yang telah dikemukan oleh rekan Trio. Kecuali dalam soal makanan-makanan apa saja yang “disakralkan”. Dalam suku Dayak  Desa, sejauh yang saya ketahui, ada empat jenis makanan atau minuman yang harus dicicipi atau hanya sekadar disentuh ketika ada orang menawarkannya kepada kita: nasi putih, nasi pulut (ketan), kopi, dan tuak. 

Tanpa bermaksud mengulangi serta menegasi pemikiran yang telah disampaikan oleh rekan Trio, saya juga ingin mengemukan tiga hal pokok berkaitan dengan kedua fenomena itu.

Pertama-tama, berkaitan dengan religiusitas suku Dayak Desa yang kebanyakan hidup sebagai peladang. Apa kaitan bahan-bahan makanan tersebut dengan religiusitas suku Dayak Desa? 

Religiusitas itu mencakup keseluruhan pribadi manusia. Ia lebih melihat aspek di dalam lubuk hati manusia (Tom Jacobs, Paham Allah dalam Filsafat Agama-Agama dan Teologi).

Religiusitas manusia nampak dalam penghayatan hidup sehari-hari dalam mereka mengalami dan menghayati kehadiran Yang Mahatinggi. Beragam ritual dan upacara adat yang mereka lakukan merupakan cara untuk mengalami Yang Ilahi dalam hidup sehari-hari.

Bagaimana cara mengalami dan menghayati kehadiran Yang Ilahi tersebut? Melalui simbol-simbol. Manusia itu adalah makhluk simbolis (homo symbolicus). 

Sebagai homo symbolicus, manusia mengekspresikan dirinya dalam tindakan-tindakan simbolis. Melalui bahasa-bahasa simbolis, manusia menemukan medium untuk mengalami Yang Transenden. 

Simbol memiliki salah satu karakteristik, yakni membuka tataran realitas yang tertutup bagi manusia (Paul Tilich, Dynamics of Faith).

Nasi putih, pulut, kopi, dan tuak, bagi orang Dayak Desa, merupakan medium untuk mengalami Yang Transenden tersebut. Tidak heran kemudian keempat bahan makanan ini selalu dijadikan sebagai bahan sesajen (pegelak) dalam beberapa ritual dan upacara adat.

Penggunaan bahan-bahan tersebut sebagai pegelak menjadi simbol keterbukaan dan keterarahan mereka pada Yang Ilahi (Petara Yang Agung). Sekaligus juga sebagai bentuk penghormatan, sembah dan puji kepada Sang Petara yang telah menganugerahkan alam sebagai tempat untuk berladang. 

Dan di saat yang sama sebagai bentuk permohonan agar Petara senantiasa memberkati dan melindungi usaha dan pekerjaan mereka, terutama dalam berladang, supaya selalu menghasilkan hasil panen yang baik dan berlimpah.

Kedua, berkaitan dengan hospitalitas. Ketika ada orang menyuruh kita palit sejatinya itu adalah ungkapan atau bentuk penghormatan, kemurahan hati dari seseorang atau tuan rumah kepada kita. Juga sebagai bentuk undangan untuk turut mensyukuri rejeki yang sudah diterima lewat makan atau minum bersama.

Tuak misalnya. Minuman tradisional ini hampir selalu di jumpai dalam suku-suku Dayak yang hidup di tanah Kalimantan. Selain digunakan dalam beberapa pesta adat, tuak selalu disajikan ketika ada tamu-tamu kehormatan datang berkunjung.

Suka atau tidak, para tamu yang datang harus meminumnya biarpun hanya sedikit. Karena hal itu merupakan bentuk penghormatan masyarakat setempat terhadap tamu yang sudah bersedia mengunjungi mereka.

Bahwa palit sebagai undangan untuk turut serta dalam rasa syukur sangat jelas ketika musim Gawai (pesta syukur atas hasil panen) tiba. Bagi peladang, pesta syukur ini adalah puncak dari seluruh proses perladangan. Karena itu, pesta syukur ini akan mereka rayakan semeriah mungkin. Sanak keluarga yang berada di kampung lain diberitahu jauh-jauh hari agar bisa turut serta dalam rasa syukur tersebut.

Ketika hari H tiba, siapa pun tamu yang masuk ke dalam rumah akan dipersilakan oleh tuan rumah untuk mencicipi hidangan yang sudah tersedia. Kemurahan hati tuan rumah ini tidak boleh ditolak oleh para tamu. 

Harap diingat, nasi merupakan berkat dari Sang Pemberi Kehidupan dan sumber kehidupan bagi manusia sendiri. Diperlukan kerja keras untuk mendapatkannya. Jika berkat dan sumber kehidupan tersebut ditolak, secara tidak langsung, merupakan penyangkalan terhadap kehidupan itu sendiri.

Ketiga, sebagai pengingat bagi manusia untuk selalu waspada. Masih adanya kepercayaan bahwa musibah atau kemalangan terjadi karena diakibatkan oleh kempunan, sejatinya ingin mengingatkan warga supaya selalu waspada. 

Apalagi kempunan, dalam kepercayaan tradisional Dayak Desa, tidak hanya bisa terjadi ketika kita tidak atau menolak mencicipi makanan, minuman yang orang lain tawarkan, namun juga saat berada di rumah kita sendiri, kita lupa menyantap makanan atau minuman yang sudah kita buat. Karena logikanya, dengan tidak palit makanan atau minuman yang ditawarkan oleh orang lain saja orang bisa celaka, apalagi sampai lupa menyantap makanan dan minuman yang ada di rumahnya sendiri.

***

Fenomena palit dan kempunan memang tetap masih menyisakan persoalan. Terutama dari sudut pandang mereka yang sudah beragama. Belum lagi bila melihat fakta bahwa masyarakat Dayak Desa di kampung saya semuanya sudah memeluk agama Katolik.

Jika demikian, mengapa masih harus ada rasa takut mengalami malapetaka ketika tidak mencicipi atau menyentuh makanan dan minuman yang ditawarkan orang lain? Atau ketika lupa menyantap makanan dan minuman di rumah sendiri?  Tidakkah dalam iman Kristiani diajarkan bahwa Tuhan itu Mahakasih dan Mahakuasa? Dia akan senantiasa menjaga dan melindungi umat-Nya? Belum cukupkah iman dan keyakinan ini menjadi sumber kekuatan?

Terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas ruang diskusi masih terbuka lebar. Saya hanya mau menjawab bahwa kedua fenomena ini baiknya selalu dilihat dalam konteks religiusitas suku Dayak Desa seperti yang sudah dipaparkan di atas. 

Kepercayaan-kepercayaan tradisional sudah mereka yakini jauh sebelum agama Kristiani masuk. Ketimbang mengutuk kepercayaan yang mereka anut, akan lebih baik bila kita berusaha mempelajari dan menyelami apa pesan dan makna di balik kepercayaan tersebut.

Para misionaris dari Eropa yang pernah bertugas melayani di tanah Kalimantan kiranya menjadi contoh yang baik dalam hal ini. Mereka begitu menghargai adat-istiadat dan budaya masyarakat lokal. Demikian juga dengan kepercayaan tradisional masyarakat setempat mereka hormati dan junjung tinggi. Hal inilah yang menyebabkan karya pelayanan mereka menghasilkan buah berlimpah serta kehadiran mereka selalu dinanti-nantikan oleh umat.

Mungkin juga ada dari antara kita yang tidak meyakini adanya hubungan sebab-akibat antara palit dan kempunan. Dengan kata lain, musibah atau kemalangan yang menimpa seseorang terjadi karena ada faktor lain yang menyebabkannya, misalnya karena kelalaian orang tersebut. Atau berpandangan bahwa tindakan palit hanyalah sebatas untuk menghormati orang yang telah menawarkan kita makanan/minuman.

Dari pengalaman hidup dan berkarya di tengah-tengah suku Dayak, tindakan palit rasanya lebih dari hanya sekadar menjaga perasaan orang yang menawarkan makanan/minuman kepada kita. Saya pribadi selalu melihatnya dari sudut pandang mereka yang menawarkan makanan/minuman. Bagi saya, tindakan yang mereka lakukan bukan hanya sekadar untuk basa-basi. Apa yang mereka lakukan adalah ungkapan cinta sekaligus ungkapan doa yang tulus. 

Dengan meminta saya untuk turut menikmati hasil jerih payah mereka, sesungguhnya mereka juga sedang mendoakan agar perjalanan hidup saya senantiasa lancar. Dijauhkan dari segala mara bahaya.