Filosofi

Kisah Hakim yang Adil

Rabu, 20 Januari 2021, 19:16 WIB
Dibaca 334
Kisah Hakim yang Adil
Suatu pengadilan adat Dayak di Kalimantan Tengah.

Hilang kisah, timbul cerita. Pomula' (berbohong) aku, pomula' gak orang tua. 

Ada dua ibu. Mereka memperebutkan seorang anak. Kedua ibu ini sama mengklaim jika mereka dua sama ibu kandung si anak. Karena merasa sama ibu kandung keduanya saling rebutan hingga pertengkaran sengit tidak bisa dihindari.

Karena kejadian disaksikan oleh orang banyak, maka perdebatan dan merasa paling benar pun jadi persoalan. Datanglah seorang yg bijak melihat pertengkaran ini. Katakanlah si bijak itu seorang hakim... Si hakim memberi solusi kepada kedua ibu ini supaya mereka bisa adil sama memiliki anak itu, dengan cara memotong bagian tubuh anak ini menjadi dua bagian. Dengan melihat reaksi kedua ibu ini si hakim pasti mengetahui siapa sebenarnya ibu kandung anak itu.

Singkat cerita setelah mendengar syarat yang diajukan si hakim ternyata ibu yang pertama setuju dengan solusi tubuh anak di potong menjadi dua bagian.

Mendengar ibu pertama setuju hakim terkejut dan langsung bertanya pada ibu yang kedua... apakah beliau juga sependapat dengan ibu pertama. Mendengar pertanyaan si hakim ibu yang kedua langsung tersungkur dan memohon kepada pak hakim untuk tidak melakukan eksekusi keji untuk anaknya sambil menangis.

Ibu kedua berlutut di depan hakim sambil berkata, "Saya sebagai ibu kandungnya rela menggantikan nyawa anak saya dengan nyawaku... asal anak saya selamat, saya rela dan ikhlas anak saya dirawat ibu yang pertama asal nyawanya selamat."

Mendengar jawaban ibu kedua, si ibu pertama sangat kegirangan karena merasa sudah menang dalam merebut hak asuh si anak. Namun, sungguh di luar dugaan ibu pertama dan banyak orang keputusan si hakim membuat kaget luar biasa.

Semua orang harap-harap cemas tak sabaran menunggu jawaban pak hakim. Akhirnya, keputusan pun dijatuhkan....

"Setelah mendengar, melihat, menimbang apa yang terjadi antara kedua ibu ini... Saya sebagai hakim harus bertindak adil dan benar dalam putuskan perkara. Oleh karena itu saya putuskan yang berhak atas hidup dan menjaga anak ini adalah ibu yang kedua, karena beliaulah ibu kandung dari anak ini."

Mereka semua terdiam nendengar keputusan hakim. Hakim menjelaskan bahwa hanya seorang ibu kandung yang rela menukar nyawanya dengan nyawa anaknya, dan tidak ada yang rela berkorban nyawa untuk anaknya selain ibu kandungnya sendiri.

Maka ibu pertama tertunduk malu karena ketidaktulusan dia diketahui semua orang. Bahkan ibu pertama hampir mencelakan anaknya jika tidak berhadapan dengan hakim yang adil.

Apa pelajaran bagi kita ibu-bu saat ini dari kisah kedua ibu di atas...?

Terlalu banyak kemunafikan dalam hidup kita. Kita mungkin sangat rapi membungkus kekurangan dan kejahatan kita terhadap anak-anak kita saat ini. Tapi mampukah kita menutup kelalaian dan kejahatan kita di hadapan sang pencipta...?

***

Penulis tinggal di Sepauk, Kab. Sintang, Kalimantan Barat.

Catatan:

Kisah ini terinspirasi oleh cerita tentang Raja Sulaiman atau Nabi Sulaiman

Tags : filosofi