Sawit: Memakmurkan dengan Sejumlah Catatan
Dahulu, saya anti-sawit. Termakan dengan berbagai propaganda, terutama dari luar negeri dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), tanpa coba mempelajari dan mencermatinya. Ternyata, setelah saya mengenal dan bergaul dengan "orang dalam" serta pelaku, ah.... nggak juga.
Tanaman sejenis palma yang dijuluki juga "emas hijau" ini nyatanya memakmurkan. Dengan sejumlah catatan.
1. Pertama, idealnya lahan sawit tidak lebih 1/5 luasan suatu kawasan. Maka lingkungan akan terjaga lestari.
2. Kurangi pengunaan berbagai racun rumput kimia secara berlebihan. Rumput dan gulma tidak senantiasa dibasmi dengan racun rumput. Bisa ditebas menggunakan mesin pemotong rumput. Atau ditanami dengan tanaman pelindung, penutup bumi yang saling menguntungkan dengan sawit.
3. Yang buruk dari sawit selama ini adalah pola kepemilikannya, jika itu perusahaan skala menangah dan besar.
4. Pola / modus memperoleh lahannya dari masyarakat.
5. Izin usaha/ pencaplokan lahan masyarakarat.
6. SDM yang tidak menyertakan masyarakat setempat.
7. Trickle down effect, dampak rembesan ke bawah. Bagaimana eksistensi perkebunan sawit dinikmati masyarakat sekitar? Harus bisa dijadikan, bukan sebatas konsep.
8. Sapras perkebunan sawit yang juga dinikmati masyarakat. Misalnya: jalan ke kebun yang dalam kondisi baik, sehingga dinikmati masyarakat.
9. CSR perkebunan yang adil dan merata. Dinikmati seluruh masyarakat sekitar, bukan hanya orang/ golongan tertentu.
Jika sejumlah prasyarat itu dipenuhi, niscaya sawit tetap jadi juruselamat. Sekalipun negeri kita, dan dunia, dilanda berbagai kemelut. Justru di tengah-tengah pandemi Covid-19, komoditas sawitlah yang memberi vaksin bagi lokomotif ekonomi nasional.
Trickle down effect, dampak rembesan ke bawah. Bagaimana eksistensi perkebunan sawit dinikmati masyarakat sekitar? Harus bisa dijadikan, bukan sebatas konsep.
Itu sejumlah hasil diskusi, mengerucut ke pemikiran, lalu menjadi adagium. Belum lama ini, saya intens berdiskusi dengan Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Ketua Dewan Pembina Asosiasi Persatuan Petani Sawit Indonesia (POPSI), Bpk. Gamal Nasir.
"Kita menginginkan, plasma petani semakin banyak lagi. Ide awalnya begitu. Tidak bisa tidak, sawit untuk kemakmuran negeri. Buktinya, di tengah-tengah pandemi, sektor ini tetap berjaya. Menyumbangkan devisa terbesar secara nasional."
Menurut Gamal, yang buruk dari sawit bukan pada komoditasnya. Tapi dari sisi kepemilikan serta bagaimana cara perusahaan besar mendapatkan lahan. Jika saja tata kelola ditaati, niscaya efek rembesan ke bawah, trickle down effect, perusahaan sawit terasa di sekitar. Selain petani sendiri menikmati usahanya.
Sementara itu, Dr. Tungkot Sipayung, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) menyatakan saat ini Indonesia merupakan raja crude palm oil (CPO) dunia seiring terus meningkatnya luasan tanaman sawit nasional.
Tungkot menjelaskan bahwa industri sawit seakan memiliki kekebalan yang super tinggi di pasar global. Banyak negara masih melakukan lock down akibat pandemi Covid, namun perdagangan minyak sawit secara internasional tetap berjalan. Pandemi Covid juga menyebabkan banyak negara mengalami resesi atau pertumbuhan negatif selama kuartal kedua. Akan tetapi, impor minyak sawit Indonesia dari banyak secara agregat masih tetap tumbuh positif terhitung sejak Pandemi Covid melanda dunia.
Sudah tentu bahwa devisa dari sawit memberi darah segar perekonomian di tengah Pandemi Covid dan resesi ekonomi yang melanda dunia. Devisa sawit sebesar US$11,9 milyar menyehatkan, sekaligus membuat surplus neraca perdagangan Indonesia.
Tungkot menjelaskan bahwa industri sawit seakan memiliki kekebalan yang super tinggi di pasar global. Banyak negara masih melakukan lock down akibat pandemi Covid, namun perdagangan minyak sawit secara internasional tetap berjalan.
Data Badan Pusat Statistik mencatat bahwa akumulasi neraca perdagangan Indonesia periode Januari-Juli 2020 untuk sektor non-migas mengalami surplus USD 12.5 milyar. Sedangkan neraca migas minus US$ 3,8 milyar. Sedemikian rupa, sehingga neraca perdagangan secara agregatmengalami surplus US$ 8,7 milyar.
Hal yang mengagumkan bahwa dari surplus non-migas tersebut, sekitar USD 11,9 milyar atau 95 persen berasal dari devisa sawit. Devisa sawit menyumbangkan surplus non-migas tersebut. Andaikata bukan nagara penghasil sawit, niscaya negeri kita mengalami defisit neraca perdagangan.
Devisa sawit Indonesia sebesar US$11,9 milyar terebut setara dengan Rp 170 trilyun lebih. Nilainya lebih dari duakali lipat dana penangan pandemi Covid dari APBN yang Rp 75 trilyun. Devisa sawit tersebut dalam roda perekonomian nasional akan menambah permintaan aggregat sehingga akan menambah daya ungkit konsumsi maupun investasi. Sedemikian rupa, sehigga perekonomian nasional Indonesia bukan saja tetap menggeliat di masa pandemi, melainkan tetap tumbuh.
Di kampung saya (Kab. Sanggau, Kalbar) harga per kilo Tandan Buah Segar (TBS) ini sejak setahun belakangan ini di tingkat petani, tidak pernah kurang dari a rp 1.750,00/kg
Di sini kita bicara tentang ekonomi yang berakar dan bertumpu pada rakyat. Camkan bahwa devisa sawit sebagaimana yang dipaparkan di atas dihasilkan dari kebun-kebun sawit yang berada pada 200 lebih kabupaten di Indonsia yang melibatkan jutaan Usaha Kecil dan Menengah (UMKM) dan korporasi di seluruh penjuru tanah air.
Permintaan minyak sawit dunia telah dan semakin menggerek naik harga Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat petani kebun sawit. Hal ini membuat roda-roda ekonomi kebun sawit di berbagai tempat berputar makin cepat. Di kampung saya (Kab. Sanggau, Kalbar) harga per kilo TBS ini sejak setahun belakangan ini di tingkat petani, tidak pernah kurang dari a rp 1.750,00/kg.
Putaran roda mesin ekonomi sawit ini juga terdapat di pedesaan sehingga mempengaruhi juga sektor-sektor yang lainnya.
Nah, jika saja setiap kepala keluarga punya 2 kavling sawit saja. Maka bukan saja hasilnya cukup untuk hidup. Melainkan juga bisa kaya. *