Guru Juga Penyuluh Literasi Ekonomi
Menjadi guru daerah terpencil ngeri-ngeri sedap!
Selain dianggap serbatahu, kamus berjalan, apa lagi? Di zaman now. Ketika pandemi merusak semua tatanan budaya, termasuk sendi-sendi ekonomi bangsa dan dunia, maka melek (literasi) bidang ekonomi bagi masyarakat itu keniscayaan.
Di sela-sela tugas saya sebagai guru dan kepala sekolah, saya seorang penyuluh bagi financial literacy. Tapi orang kampung tidak paham istilah ini. Yang mereka paham adalah: dapat rezeki hari ini, makan hari ini! Misalnya: dapat ikan 3 kilo, dihabiskan. Ini habitus. Budaya. Dari dulu juga begitu! Sebab besok, jika perlu, tinggal turun ke sungai. Mencari lagi! Dapat lagi. Jadi, mengapa harus menyimpan?
Masyarakat pedalaman atau penduduk desa itu, tinggal diarahkan saja untuk maju. Potensi mereka sudah ada. Jangan selalu menganggap mereka bodoh, kolot, terbelakang. Salah! Dalam banyak hal, mereka lebih berpengetahuan!
Malah, ini kejadian sungguhan. Ada seorang bapak, mendapat banyak ikan. Ikan segar itu dijualnya untuk membeli sarden (ikan kaleng). Ikan segar setengah kilo, untuk membeli 2 kaleng sarden. Ya ampyun! Itu kan tidak sebanding. Waktu ditanya "mengapa?" apa jawabannya? "Tukar rasa, Pak!" katanya. Masuk akal juga. Ya, tapi juga tidak masuk akal.
Saya coba bantu ubah kebiasaan itu untuk berfoya-foya. Untuk bisa menabung. Banyak fakta. Kisah untuk tentang orang udik. Lucu. Pandir. Tapi kan itu jalan pikiran kita. Jalan pikiran mereka, tidak!
Jika hari ini dapat ikan 3 kg, setengah kilo dikonsumsi, jangan dihabiskan. Sisanya, dijual. Bukan berarti pelit, melainkan itu rezeki! Bukankah ada usaha, biaya, tenaga , dan waktu khusus mendapatkannya?
Bagi tetangga? Ya, secukupnya saja. Misalnya, jika sudah matang, kasihkan tetangga barang 1 mangkok, ditambah kuah dan bumbunya, sehingga terkesan banyak. Jadi, budaya berbagi iyang diturunkan sebagai kebiasaan dan tradisi (bepisuh - bahasa Jangkang) harus tetap dipertahankan. Namun, sisi ekonomi, melek finansial, harus dijaga juga.
Selain memberi penerangan mengenai melek finansial seperti itu, saya juga seorang pegiat ekonomi kerakyatan di kecamatan. Ada beberapa Credit Union (CU), bank Dayak di sana. Kantornya kalah megah bangunan mana pun. Bank juga kalah! Bank nyewa ruko, tapi kantor CU seperti perkantoran di bilangan Thamrin atau Sudirman, Jakarta! Tengok saja ke kampungku!
Saya menjadi pegiat CU. Memberi penerangan. Menjadi penyuluh. Bahwa orang Dayak punya sikap dan budaya menabung. Bukan rezeki hari ini, dihabiskan hari ini. Lumbung padi adalah bukti budaya menabung itu (saya lihat banyak diulas dan dibahas dalam konten web ini).
Jadi, menurut saya. Masyarakat pedesaan tinggal diarahkan saja untuk maju. Potensi mereka sudah ada.
Jangan selalu menganggap mereka bodoh, kolot, terbelakang. Salah! Dalam banyak hal, mereka lebih berpengetahuan!
Saya telah membuktikannya.