Ekonomi

Ladang Vanila Organik Jen Alang di Perbatasan

Sabtu, 14 Juni 2025, 06:48 WIB
Dibaca 108
Ladang Vanila Organik Jen Alang di Perbatasan
Jen Akang dan vanila (Pepih Nugraha)

Pepih Nugraha

Penulis senior

Matahari masih belum tinggi ketika saya tiba di ladang milik Jen Alang, seorang guru matematika di SMPN 1 Krayan yang kini juga menjadi petani organik. Di usianya yang telah menginjak 57 tahun, langkahnya tetap sigap meski tinggi badan di bawah rata-rata penduduk Krayan. Ia bersemangat menyusuri barisan tanaman vanila yang menjalar rapi di bawah naungan pohon penaung. 

Tidak jauh dari ladang vanila yang dalam bahasa Latin disebut vanilia planifola, 100-an pohon alpukat aligator tumbuh dengan harapan—sebuah metafora hidup dari perjuangan di tanah perbatasan.

“Vanila ini saya tanam sejak tahun 2020, sekarang sudah berbuah,” ucapnya sambil menyentuh salah satu sulur vanila. “Ini tanaman sabar. Tetapi begitu mulai berbuah, bisa sampai lima belas tahun usianya. Panennya bisa tiga kali dalam setahun."

Vanila atau vanili merupakan salah satu jenis tanaman penghasil bubuk vanili yang memiliki aroma harum dan manis. Saat ini kebutuhan vanila untuk ekspor sangat besar, Indonesia hanya mampu menyumbang 5 persen dari total kebutuhan tersebut. Peluang sangat besar.

Jen bukan hanya pengajar angka dan rumus kepada murid-muridnya, tetapi juga pembaca alam yang tekun. Ia memilih bertani secara organik di tengah derasnya godaan pupuk kimia. Baginya, tanah harus dihormati, bukan dieksploitasi.

"Saya tidak pakai pupuk kimia. Kita tahu, hasil bisa besar, tapi tanahnya rusak. Saya lebih percaya sama rumput yang terurai. Itu yang saya kasih makan tanah,” ujar pensiunan berkacamata ini pelan namun mantap.

Sawahnya terbentang di lima petak, mencakup sekitar empat hektar. Namun saat saya berada di sana, sawahnya masih menunggu saat ditanam. Dari empat petak yang diolah tanpa pupuk kimia, ia mampu menghasilkan 4,7 ton beras adan. Varietas khas Krayan ini terkenal pulen, wangi, dan sangat digemari—bahkan sempat diklaim sebagai produk Malaysia sebelum akhirnya pada 2012, pemerintah  bagaimana warisan lokal bisa dicuri ketika pemilik aslinya tidak cukup percaya pada nilainya sendiri.

Vanila, Emas Wangi dari Krayan

Vanila yang ditanam  Jen bukan sembarang tanaman. Di pasar Krayan, harganya mencapai Rp2,5 juta per kilogram. Satu hektar bisa menghasilkan tanaman bernilai hingga Rp50 juta. Bukan hanya dari sisi ekonomi, vanila juga memiliki nilai ekologis dan spiritual di mana tanaman ini membutuhkan ketelatenan, perawatan harian, dan ketulusan seperti membesarkan anak.

Saya, Yansen TP, Masri Sareb Putra -penggerak sekaligus pegiat literasi- menyaksikan langsung saat Jen "mengawinkan" benangsari vanila menggunakan lidi. Demikian telaten, tak ubahnya mengelus-elus istri. "Saya menganggap vanila sebagai istri kedua, sementera istri pertama yang setia menunggu di rumah," kelakarnya.

Dalam berladang Jen ditemani Markus Titus yang juga bertanam vanila. Ia menjelaskan tentang vanila yang harus dikawinkan, mulai pukul 6 pagi sampai petang hari.  "Saya mendapat informasi tentang hal ini dari YouTube," katanya. 

Markus mengungkapkan, ia bersama Jen pernah gagal bertanam vanila, namun tidak pernah menyerah. Ia berharap tahun depan sudah panen raya. Dengan telaten ia memperlihatkan akar vanila yang hidup merayap, bukan menancap, sehingga harus ada perlakuan khusus. 

Jen membuat tinggi pagar agar vanila dapat merayap disesuaikan dengan tinggi tubuhnya. "Kalau pagarnya terlalu tinggi, Jen akan kesulitan mengawinkan vanila," kelakar Yansen. Jen yang cenderung mungil tertawa.

Sementara Markus mengungkapkan ketidaktakutannya akan harga vanila yang fluktuatif dan bahkan jatuh. Alasannya, vanila yang telah dipanen tidak akan busuk, bahkan menjadi lebih baik dan berkualitas. "Kalau harga naik, baru kita jual," katanya. "Vanila takkan membusuk."

Menurut data FAO, Indonesia adalah produsen vanila terbesar setelah Madagaskar. Namun, tantangan utama adalah kualitas dan keberlanjutan. 

Di sinilah petani seperti  Jen dan Markus mengambil peran penting, yaitu membuktikan bahwa vanila dari tanah perbatasan bisa memenuhi standar tinggi, sekaligus mempertahankan metode yang bersahabat dengan alam.

Tak jauh dari vanila, tumbuh pohon alpukat aligator—varietas yang dikenal dengan ukuran besar dan daging tebal. Usianya baru dua tahun. “Mungkin dua tahun lagi akan mulai berbuah. Perlu perawatan, tapi saya sabar,” katanya sambil tersenyum.

Dalam dunia yang serba cepat dan instan, kesabaran menanam alpukat adalah bentuk perlawanan terhadap zaman. Ia menanam bukan untuk cepat panen, tapi untuk meninggalkan warisan yang hidup lebih lama dari dirinya sendiri.

Hikmah dari Perbatasan

Krayan adalah wilayah yang nyaris terputus dari denyut pusat kekuasaan. Akses jalan sulit, logistik mahal, perhatian negara minim. Tapi dari keterbatasan itulah tumbuh ketangguhan.

Kisah Jen Alang dan Markus bukan sekadar cerita tentang pertanian, tetapi tentang perlawanan halus terhadap lupa dan lalai. Bahwa bangsa yang besar tidak hanya dibangun di kota-kota megapolitan, tetapi juga di ladang-ladang sunyi tempat warga merawat tanah dengan cinta dan akal sehat.

Dalam perspektif sosiologis, tindakan Jen adalah bentuk agensi kultural melawan dominasi sistem pertanian modern yang rakus dan menindas alam. Dalam kacamata filosofis, ia mewakili virtue ethics ala Aristoteles: menjalani hidup baik dengan pilihan yang bijak, meski tidak mudah.

Saya tinggalkan ladang Jen dan Markus dengan satu keyakinan bahwa Indonesia tidak kekurangan patriot. Mereka hanya tidak berseragam saja. Beberapa dari mereka menggenggam cangkul, bukan senapan. 

Mereka tidak orasi di podium, tapi menunduk di ladang, menyemai harapan untuk generasi yang mungkin belum tahu arti beras adan atau rasa vanila asli.

Dan jika Ibu Pertiwi punya doa, barangkali salah satunya berbunyi begini: “Berbahagialah mereka yang menjaga tanah, karena merekalah pemilik masa depan.”


Long Bawan, 13 Juni 2025