Budaya

Membawa Kembali Pulang Pakaian Adat Dayak ke Tujuan dan Makna Kodratinya

Minggu, 22 Mei 2022, 17:08 WIB
Dibaca 674
Membawa Kembali Pulang Pakaian Adat Dayak ke Tujuan dan Makna Kodratinya
Saat menerima rahmat tahbisan imamat. Sebagai bentuk rasa cinta dan bangga sebagai orang Dayak, penulis sematkan motif Dayak pada kasula dan stola.

Jujur, saya agak sedikit ragu untuk mengangkat topik ini. Saya ragu apakah topik ini merupakan sebuah perkara yang serius sehingga harus diangkat. Saya juga ragu apakah topik ini harus menjadi wilayah kajian dan refleksi saya sebagai seorang pastor Katolik. Saya hanya berpikir bahwa apa yang menjadi kegelisahan saya ini merupakan ranah tuan-tuan dan puan-puan yang ada di lembaga-lembaga adat Dayak untuk memikirkannya.

Akan tetapi, setelah membaca artikel dari Masri Sareb Putra, salah satu yang memiliki andil besar lahirnya portal media ini, saya memberanikan diri untuk menuliskan apa yang menjadi kegelisahan saya.

Gnōthi Seauton. Itulah judul dari artikel yang beliau tulis. Itu merupakan kata yang tertera di depan pintu gerbang kuil Apollo di Delhi dan memiliki arti “Kenalilah dirimu!”

Berangkat dari istilah yang sarat dengan makna filosofis itu, Masri ingin mengajak kita, orang Dayak khususnya, agar bisa mengenal dirinya dengan lebih baik. Beliau menulis, “Mengenal diri sendiri adalah mengenal asal usul. Terutama menyangkut silsilah, klan, etnik, bahasa, dan budaya. Karena itu, seseorang yang tidak mengenal asal usul, terutama menyangkut silsilah, klan, etnik, bahasa, dan budaya menjadi luntur kualitas etnisitasnya”.

Untuk tujuan pengenalan diri itulah Masri dan kawan-kawannya melahirkan portal media ini. Harapannya, kita orang Dayak, masing-masing dengan keahlian dan ilmunya memberikan kontribusi lewat literasi demi hilang lenyapnya segala hal yang merendahkan dan memarginalkan suku Dayak. Dan lewat literasi pula, sejarah Dayak dan nasib orang Dayak ditulis dan ditentukan oleh orang Dayak sendiri.

Untuk itu, kita tentu patut berterima kasih kepada mereka semua yang telah menggagas lahirnya portal media ini.

Sekarang kita kembali kepada topik tulisan ini. Apa sesungguhnya yang menjadi kegelisahan saya? Semua berawal dari video di media sosial TikTok yang menampilkan Kumang-Kumang Dayak berjoget dengan aneka ragam gaya sambil mengenakan pakaian adat Dayak.

Kenapa fenomena itu menggelisahkan saya? Bukankah itu adalah bentuk dari kebebasan berkreasi dan berekspresi? Dan bukankah dengan hadirnya aplikasi Tiktok generasi muda Dayak menemukan sarana yang tepat untuk mengekspresikan dirinya?

Semua itu tentu ada benarnya. Namun poin utama yang mau saya garis bawahi ialah: sambil mengenakan pakaian adat Dayak. Sebuah pertanyaan langsung mengemuka: pantas dan layakkah pakaian adat Dayak digunakan untuk berjoget Tiktok?

Untuk menilai atau memutuskan pantas atau tidaknya, kita mau tidak mau mesti mengkaji terlebih dahulu persoalan paling mendasar berikut ini: Apakah yang menjadi tujuan dan makna kodrati diciptakannya pakaian adat Dayak oleh nenek moyang kita?

Dari nama yang disematkan kepadanya, yakni “pakaian adat”, rasanya kita sudah langsung mafhum kalau dari semula ia dibuat untuk digunakan dalam momen-momen yang berkaitan dengan adat.

Adat apa saja? Kita bisa menyebut beberapa di antaranya: membawa anak mandi ke sungai, gawai adat, memasuki rumah baru, upacara adat menjemput pengantin, ritual adat tolak bala.

Saat ada tamu kehormatan datang berkunjung, pakaian adat Dayak juga sering kita jumpai penggunaannya. Dia digunakan bukan hanya semata sebagai hiasan, melainkan mau menunjukkan bahwa kita masyarakat Dayak memiliki adat basa tersendiri dalam menghormati dan menyambut tamu yang datang.

Kehadiran pakaian adat juga sering kita jumpai dalam acara-acara besar gerejawi. Saat ada perayaan misa tahbisan, pemberkatan pernikahan, hari raya Natal dan Paskah, adalah beberapa momen di mana Gereja Katolik memberi ruang bagi hadirnya unsur-unsur budaya Dayak dalam liturginya. Gereja Katolik, dalam hal ini, sungguh menyadari bahwa Warta Gembira tentang Kristus dan kebudayaan manusia itu mempunyai hubungan yang sangat erat.

Penggunaan pakaian adat dalam momen-momen itu mau memperlihatkan betapa luhur keberadaan pakaian adat kita orang Dayak. Luhur karena ia merupakan sebuah karya seni dari manusia sebagai makhluk berakal budi.

Teringatlah oleh kita disi sini akan pemahaman kebudayaan sebagaimana dikemukakan oleh Koentjaraningrat yakni sebagai seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan cara belajar.

Dia juga luhur karena keberadaanya menjadi sarana bagi manusia tidak hanya untuk memohon berkat, perlindungan dan penyertaan dari Yang Ilahi, tapi juga untuk menghaturkan sembah bakti dan syukur mereka kepada-Nya (terejawantah dalam gawai adat dan liturgi Gereja Katolik). Juga menjadi sarana bagi manusia untuk mengungkapkan dirinya sebagai makhluk sosial dan beradab (terungkap dalam upacara adat menerima tamu).

Bila kodrat pakaian adat kita orang Dayak demikian luhur, yang dalam beberapa suku Dayak baru boleh digunakan setelah dilakukan ritual adat sengkelan (pemberkatan ala suku Dayak), kita lantas bertanya apakah segala jenis penggunaan yang menyimpang dari tujuan dan makna kodratinya itu dapat ditolerir atau dibenarkan?

Sebuah pertanyaan yang semoga menjadi concern kita bersama. Kita tentu tidak bermaksud mengadili dan menyalahkan generasi muda kita. Mereka bertindak demikian barangkali berangkat dari ketidaktahuan mereka. Akan tetapi, di balik itu semua sesungguhnya gaya dan mentalitas hidup yang ditawarkan oleh peradaban modern sedang mengintai generasi muda Dayak.

Sebuah peradaban yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi yang kemudian banyak merubah pola dan tingkah laku kehidupan manusia. Ingin menjadi viral dan terkenal; membeli sesuatu bukan karena sungguh-sungguh dinikmati, melainkan hanya karena mengikuti trendy, merupakan gaya dan mentalitas hidup yang hampir setiap detik dan menit menggoda kita.

Dan bila sudah jatuh ke dalam godaan itu, orang kerap kali tidak lagi mempedulikan dan memikirkan kebenaran yang hakiki, melainkan kebenaran yang bersifat sementara.

Sebagai akhir. “Yang bergerak di bidang agama, menjadikan orang Dayak bermoral dan berta­biat baik”. Demikian tulis Masri dalam artikel yang sama. Seperti yang sudah dikatakan di awal, saya adalah seorang pastor Katolik. Namun dalam hal ini saya tidak hendak memosisikan diri sebagai polisi moral bagi generasi muda Dayak kita.

Anak-anak muda Dayak itu, di mata saya, sama sekali tidak memiliki moral yang jelek hanya karena berTikTok menggunakan pakaian adat Dayak. Apa yang saya tuangkan di sini hanyalah sebentuk kegelisahan dan kekhawatiran dari seorang insan yang merasa diri bangga menjadi orang Dayak.

Saya pun tidak hendak mengklaim kalau saya sudah mengenal budaya Dayak dengan lengkap dan sempurna. Di sini saya hanya hendak menghayati hidup, seperti digagas oleh Michel Foucault, sebagai estetika eksistenti. Yang artinya hidup manusia dilihat sebagai sebuah karya seni, yaitu suatu usaha membangun diri secara terus-menerus dan tidak pernah mengenal titik istirahat.

Hal yang sama kiranya juga berlaku bagi kita orang Dayak. Bahwa eksistensi kita sebagai manusia Dayak itu merupakan sebuah proses menjadi dan tidak pernah mengenal titik istirahat.

Karena itu terkhusus bagi generasi muda Dayak, mohon tulisan ini jangan dilihat sebagai upaya untuk mematikan daya kreasi kalian. Kalian hidup di era digital. Sudah seharusnyalah kalian menggunakan segala media yang ada untuk berkreasi mengembangkan diri serta memperkenalkan kekayaan budaya Dayak ke seluruh penjuru dunia.

Namun, lakukanlah semuanya itu atas dasar rasa cinta dan bangga sebagai orang Dayak. Bukan karena semata-mata untuk mengejar “like”, “comment” dan “share”. Sebagai orang Dayak, kitalah yang pertama-tama mengenal diri dan budaya kita dengan baik. Untuk hendak mengatakan bahwa kita orang Dayaklah yang pertama-tama mesti mencintai, menghormati, merawat dan melestarikan kebudayaan kita. Bukan orang dari suku lain.

Jika bukan kita, siapa lagi?

 

Salam Satu Dayak.

Salam Budaya.