Budaya

Gebrakan Budaya dari Malinau Kaltara

Rabu, 26 Agustus 2020, 15:42 WIB
Dibaca 738
Gebrakan Budaya dari Malinau Kaltara
Dok pemkab

Dodi Mawardi

Penulis senior

Budaya menjadi salah satu keunggulan suatu wilayah, dibanding wilayah lainnya, terutama dalam industri pariwisata. Di luar urusan ekonomi, budaya juga membuktikan suatu wilayah dapat menjaga dan melestarikan nilai-nilai para leluhur. Bahkan pada titik tertentu, budaya dapat menjadi penopang utama pembangunan bangsa. Suatu hal yang bernilai luar biasa. Bukan pekerjaan mudah merawat, menjaga, dan melestarikan budaya. Di banyak daerah lain, nilai leluhur sudah luntur, sebagian besar budaya telah sirna.

 

Kabupaten Malinau di Kaltara beruntung. Masih terdapat banyak pihak yang peduli budaya. Mulai dari masyarakat, tokoh adat, sampai pemerintah. Sang Bupati menjadi salah satu tokoh utama budaya di Malinau. Selain sebagai bupati, Yansen T.P., juga menjabat sebagai kepala adat suku Dayak Lnndayeh. Sama seperti kebanyakan daerah lain, budaya dan peradaban di Malinau pun tergerus oleh budaya baru, jika tidak dijaga dan dilestarikan. Sudah banyak nilai leluhur mereka yang tak dapat dilacak lagi. Sudah tak terhitung budaya suku-suku di sana yang tak lagi berkembang.

 

Malinau berpenduduk sekitar 82.000 jiwa (2018). Sebagian besar berasal dari suku Dayak dengan beragam subsuku. Terdapat tidak kurang dari 10 subsuku Dayak di sana.

-          Suku Dayak Kayan

-          Suku Dayak Kenyah

-          Suku Dayak Berusu

-          Suku Dayak Bahau

-          Suku Dayak Tingalan

-          Suku Dayak Sa'ben

-          Suku Dayak Punan

-          Suku Dayak Lundayeh

-          Suku Dayak Abai

-          Suku Dayak Iban

  

Selain suku Dayak, juga hidup warga beragam suku bangsa, seperti suku Tidung dan suku Bulungan. Kedua suku ini adalah warga mayoritas di Kabupaten Bulungan, kabupaten induk sebelum Malinau menjadi wilayah otonom.  Tidung sendiri kini memiliki kabupaten sendiri yaitu Tana Tidung, juga pemekaran dari Bulungan. Meski berada di wilayah perbatasan dengan Malaysia, ternyata Malinau punya penduduk dari beragam suku. Boleh dikatakan, semua suku besar Indonesia ada di sana. Seperti Jawa, Sunda, Batak, Minang, Bugis, Bali, Maluku, Papua, dan sebagainya. Kehadiran mereka memperkaya khasanah budaya dan peradaban di Malinau.

 

Pesta Rakyat Negeri Perbatasan

Ribuan orang berkumpul di sebuah lapangan terbuka. Panggung raksasa berada di tengah lapangan, dikelilingi oleh bangunan semi permanen, yang berisi stand pameran dan pedagang. Jumlahnya ratusan. Menambah semarak acara karena didekorasi dengan pernak-pernik menarik, sesuai latar belakang pemiliknya. Ribuan orang itu menyaksikan pembukaan Pesta Budaya Irau ke-8 di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, 15 Oktober 2014 lalu.

 

Irau, sebuah pesta rakyat dua tahunan menyambut ulang tahun kota mereka. Irau atau Erau berlangsung di banyak kota Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur. Acaranya semarak dengan pertunjukkan budaya dan kesenian. Tentu diramaikan oleh kegiatan ekonomi. Malinau sendiri baru lahir pada tahun 1999, hasil pemekaran dari Kabupaten Bulungan. Sebelumnya mereka berada di bawah provinsi Kalimantan Timur. Namun kini, Malinau, Bulungan, Tana Tidung, Nunukan dan Tarakan, memiliki induk baru yaitu Kalimantan Utara.

 

Setiap kota atau kabupaten tersebut menyelenggarakan pesta budaya Irau atau Erau setiap dua tahun sekali, dalam rangka menyambut hari ulang tahunnya. Pesta ini ditunggu-tunggu oleh masyarakat setempat. Bahkan, warga di kota-kota tetangganya juga datang ke acara Irau kota lain.

 

Keunikan dari Irau di Malinau adalah ternyata semua warga yang berasal dari suku-suku berbeda, wajib untuk ikut serta menampilkan budayanya. Di Malinau, mayoritas warga berasal dari suku Dayak, dengan berbagai sub sukunya. Warga lainnya yang berasal dari Jawa, Sunda, Bugis, Makasar, Buton, Maluku, Toraja, Tionghoa dan lain sebagainya. Nah, setiap komunitas suku tersebut wajib tampil dalam Irau. Pemda Malinau memfasilitasi mereka dengan berbagai kemudahan termasuk biaya.

 

Tionghoa dengan Barongsainya. Jawa menyajikan simulasi Tingkepan, prosesi upacara 7 bulan usia kehamilan serta Tari Kuda Lumping. Aksi Jaipongan khas Sunda dan Rampak Gendang juga tampil. Dari Maluku  menyajikan seni Bambu Gila, Tarian Katreji, dan Tarian Cakalele. Masyarakat Banjar menampilkan Mandilin, dan ada juga budaya Nusa Tenggara Timur yang menampilkan Tari Hegong, Hedung, Ja’idan, dan Gawe.

 

Mereka bukan hanya harus tampil dalam pangggung selama Irau berlangsung, melainkan juga harus menampilkan berbagai kekhasan budaya mereka dan kegiatan mereka di Malinau, dalam stand-stand pameran. Jadilah, stand pameran bukan hanya diisi oleh para pelaku ekonomi dan bisnis, melainkan juga berbagai suku bangsa yang ada di Malinau. Semarak sekali. Bhineka Tunggal Ika jelas-jelas nyata terlihat di sini. Toleransi, nasionalisme, dan kebangsaan, benar-benar tercermin dalam Irau Malinau. Mereka semua bercampur baur dalam suasana harmonis.

 

Upaya Pemkab Malinau dengan menyemarakkan Irau, tak lepas dari visi sang Bupati yang bertekad mempertahankan, menjaga, dan melestarikan budaya bangsa. Dalam benaknya, budaya dapat membangun bangsa. Kebudayaan menurut Koentjaraningrat merupakan keseluruhan dari suatu sistem gagasan, tindakan, serta hasil karya manusia dalam kehidupan. Tentu saja, gagasan, tindakan dan hasil karya dari manusia berbudaya tinggi akan mampu membangun suatu bangsa. Makin kuat budayanya, makin berkualitas, dan semakin majulah suatu bangsa.

 

Dari waktu ke waktu, Pemkab Malinau terus meningkatkan daya tarik Irau, untuk memompa semangat warganya dalam berbudaya. Bukan hanya daya tarik secara lokal, namun juga regional, nasional, dan bahkan secara internasional. Beragam paket wisata disiapkan untuk menyambut tamu yang hendak menyaksikan pesta rakyat bernama Irau itu.

 

Pada perhelatan Irau ke-9 2018 lalu, berbagai rekor mereka pecahkan dari tercatat dalam Museum Rekor Indonesia  (MURI). Tidak kurang dari tujuh rekor yang tercatat, antara lain:

-          Parade Pakaian Adat Terbanyak

-          Ani Ka’bo Terbesar

-          Bubu Terbesar

-          Penumbuk Padi  dan Angan Terpanjang

-          Lubang Lesung  dan Alu Terbanyak

-          Tungku Terpanjang

-          Perisai Terbesar

 

Rekor-rekor itu merupakan kreasi budaya lokal. Setiap lembaga adat Dayak di sana berlomba-lomba secara positif menampilkan yang terbaik, setiap kali Irau berlangsung.  Selain rekor dalam Irau, Malinau juga mencatat Rekor MURI untuk Desa Wisata Pulau Sapi sebagai desa wisata dengan ukuran rumah terbanyak berhias motif etnik. Suatu desa wisata yang wajib dikunjungi, karena sarat dengan budaya luhur bangsa.

 

Kabupaten Paling Literasi di Kaltara

Gebrakan budaya sang bupati tidak hanya sampai di situ. Dia menyadari bahwa kemampuan intelektual warganya harus dipacu selaras dengan pelestarian budaya. Intetelektual, karakter, dan budaya akan membentuk suatu peradaban maju dan modern. Sebagai wujud nyata upaya tersebut, sang bupati memberikan teladan, dengan menulis beberapa buku. Sampai pertengahan 2020, tidak kurang dari enam buku yang sudah dtulisnya. Salah satu bukunya, berisi kumpulan tulisan dari seluruh keluarga besarnya yang berjumlah 30 orang. Mulai dari istri, anak, saudara, keponakan, sampai cucu. Suatu hal yang langka, dan layak menjadi contoh bagi keluarga lainnya. Rekor MURI sudah menanti.

 

Semangat literasi juga dia tularkan melalui pelatihan menulis sekaligus lomba menulis untuk warga Malinau. Sang bupati menjadi lokomotif utama kegiatan-kegiatan literasi di wilayahnya. Wajar jika kemudian, Malinau menjadi salah satu kabupaten di Kaltara yang paling cepat peningkatan literasinya.

 

Program Gerdema dan RT Bersih pun tidak lepas dari kegiatan literasi. Setiap dana desa yang bergulir ke masyarakat, sampai ke tingkat RT, juga dimanfaatkan untuk peningkatan literasi warga. Beberapa desa sudah sukses membangun perpustakaan mandiri, dan taman bacaan. Menurut aktivias literasi di Kalimantaran Utara, program kampanye literasi di Malinau menjadi lebih ringan karena kebijakan pemkab sangat mendukung. Tingkat keberhasilan kampanye literasi di Malinau, jauh lebih tinggi dibanding wilayah lainnya.

 

Dengan kondisi semacam ini, tinggal menunggu waktu saja, SDM Malinau akan melesat dan mampu bersaing dengan SDM di kota-kota besar. IPM Malinau menjadi bukti nyata bagaimana kualitas SDM Malinau yang terus membaik dari tahun ke tahun. Pendekatan sang bupati dari berbagai aspek kehidupan memperlihatkan hasilnya. Budaya menjadi salah satu pilar pendekatan itu. Di mata sang bupati, budaya itu sangat vital dalam rangka membangun Indonesia menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.

 

Adakah daerah lain yang memiliki visi budaya semacam ini?