Berhenti Meratap, Apalagi Menyalahkan!
Serangan pagebluk Covid-19 tengah menguji ketahanan kita sebagai manusia. Ya, manusia, bukan etnis atau bangsa, tetapi manusia sebagai pribadi-pribadi. Manusia dengan kecerdasan bertahannya yang sedang menghadapi ujian, saya menyebutnya "survival intelligence".
Ada yang kehilangan pekerjaan karena kantor di mana ia bekerja terpaksa ditutup tanpa kompensasi yang memadai, ada yang kena PHK akibat mesin pabrik berhenti bergerak memproduksi barang karena ketiadaan modal. Orang kaya jadi miskin, orang miskin jadi tambah melarat.
Semua tak terbayangkan sebelumnya. Covid-19 ibarat kutukan berbentuk virus tak kasat mata. Pandemi telah membalik telapak tangan dengan mudah, semudah itu ia mengubah nasib manusia dalam sekedipan mata.
Saya sedang ingin bercerita tentang seorang doktor lulusan S3, kawan akrab sendiri, yang beberapa waktu lalu berbincang lewat telepon, mengabarkan bahwa ia harus ke luar rumah. "Saya tidak bisa berlama-lama di rumah menanti pandemi yang tidak tahu kapan akan berhenti," katanya.
Ke luar rumah untuk mengajar di universitas? Bukan, untuk nge-Grab!
"Serius!?" saya bertanya masih menyisakan tawa, tidak percaya atas apa yang saya dengar.
Saya pikir dia becanda. Bayangkan, doktor yang menggeluti bidang ilmu tertentu berakhir di atas jok sepeda motor, berdiri memisahkan diri atau bergabung dengan sesama pengojek online lainnya menanti orderan datang.
Kalau pun ia berbohong, hinakah pekerjaan itu bagi seorang doktor lulusan S3? Tidak, sama sekali tidak! Hanya saja saya tidak percaya dan masih menganggap kawan saya itu sedang main-main, sekadar ingin lebih menghidupkan obrolan.
Selang beberapa hari kemudian dia berkirim foto selfie dirinya yang sedang berpose di atas sepeda motor Grab lewat pesan WA, lengkap dengan helm dan jaket hijau perusahaan ojek online itu.
Mata saya langsung berkaca-kaca, hati luluh bagai bongkahan es kena pemanasan global, dan perasaan menjadi melow seketika. Seolah-olah sebongkah batu menghantam kesadaran saya. "Oh, sori, Bro... saya pikir kamu becanda," batin saya.
Pandemi telah mengubah kehidupannya, meski bukan berarti dia kalah dalam hidupnya. Ia bukan tidak memiliki kecerdasan bertahan dan malas menggunakan kecerdasannya itu untuk bertahan hidup, justru ia sedang mempraktikkan bagaimana kecerdasan bertahan hidup itu harus dijalankan.
Dia, kawan saya itu, seseorang yang di kepalanya tersemat mahkota harga diri yang tinggi; ia tidak minta dikasihani, tidak pula ia berusaha meminta-minta dengan menjual "kesengsaraannya". Ia seorang doktor lulusan S3 sebuah universitas negeri ternama yang wajahnya dihiasi martabat luar biasa.
Apa hikmah yang bisa dipetik dari tulisan ringan ini? Tetaplah bersyukur, tetaplah berusaha!
Ungkapan Latin sejak lama menyebutkan ora et labora, bekerja sambil berdoa. Tetapi guru jurnalistik sekaligus pimpinan saya alm. Jakob Oetama membahasakan pepatah kuno itu dengan "bekerja itu beribadah".
Pertanyaannya, bagaimana bisa bekerja di saat pekerjaan pun hilang akibat kena pemutusan hubungan kerja?
Setidak-tidaknya tetaplah berusaha, salah satunya berusaha mencari, menggali dan menemukan kembali pekerjaan baru. Tidak usah meratapi pekerjaan yang tercerabut akibat pandemi, mungkin masih banyak pekerjaan lain, kuncinya tetap mau berusaha.
Doktor adalah gelar akademik lulusan S3, di mana ilmunya bisa dimanfaatkan untuk mengajar di berbagai perguruan tinggi, lalu menjadi tukang ojek online. Orang yang bahkan tidak lulus SMA atau bahkan "cuma" lulusan S1 juga menjadi pengojek online karena itulah pekerjaan yang mungkin mudah diperoleh.
Di mana salahnya lulusan SMA, S1 dan S3 beririsan dalam sebuah perjumpaan profesi bernama tukang ojek online? Tidak ada salahnya! Yang salah adalah persepsi kita bahwa yang mengatakan tidak seharusnya seorang doktor menjadi tukang ojek.
Hellow, Bro.... siapa yang melarang doktor jadi tukang ojek online? Lihatlah, bagaimana pandemi telah membuatnya cerdas dalam bertahan menghadapi badai kehidupan.
Jadi, berhentilah meratap, berhenti mengeluh. Bintang kesepian yang menggantung di langit panasnya takkan sampai ke bumi, tetapi setidaknya ia telah memberi kita keindahan, bahwa setitik cahaya itu tetap memberi harapan.
***