Kisah Inspirasi (2): Kampanye Lindungi Hutan
Tahun 2007 aku mengenal komunitas Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan ikut serta dalam mengangkat isu seputar lingkungan hidup. Pada tanggal 1-3 Juli 2007 aku pernah mengikuti Konferensi Rakyat Indonesia dan Masyarakat Adat Nusantara(AMAN) di Asrama Haji Bekasi. Saat itu hadir perwakilan AMAN dan WALHI dari seluruh Indonesia. Aku bisa mengikuti Konferensi Rakyat Indonesia karena mendapat amanah dari Ibu Maria Goreti anggota DPD RI utusan Kalbar No B.78 supaya bisa bergabung dengan rombongan provinsi Kalbar apalagi posisiku ada di Jakarta dan sedang magang di dunia politik tepatnya di gedung Parlemen MPR RI Senayan. Saat mengikuti Konferensi Rakyat Indonesia, kami rapat sampai subuh.Hasilnya adalah deklarasi Sarikat Hijau Indonesia. Lagi-lagi rapat dan deklarasi tidak membuahkan hasil karena terjadi perpecahan internal. Ada beberapa provinsi yang mundur, sehingga malam itu tidak menemukan kesepakatan dalam melanjutkan perjuangan menuju gedung MPR RI. Walaupun begitu aksi damai di sekitar monas dan gedung MPR RI Senayan tetap dilakukan sebagai rangkaian penutup kegiatan Konferensi Rakyat Indonesia.
Banyak suka duka yang aku dapatkan selama mengikuti Konferensi Rakyat Indonesia, juga pengalaman bagaimana kerasnya kehidupan dunia politik yang selalu menjadi perbincangan sampai saat ini.
Selama magang aku selalu mengamati hiruk pikuk dunia perpolitikan dan kehancuran lingkungan hidup yang ada di Ibukota Negara Indonesia. Saat pagi hari aku berkecimpung di dunia politik,sore hari aku langsung menuju kampus. Untuk menuju kampus biasanya aku menggunakan bis satu ke bis yang lainnya.Terkadang tidak mendapatkan tempat duduk. Selama perjalanan aku sering terganggu dengan pemandangan anak-anak di lampu merah dan para pengemis ,pengamen yang turun naik bis yang aku tumpangi. Dalam hatiku,aku selalu berpikir betapa kerasnya kehidupan anak-anak jalanan di ibukota Jakarta. Ada perasaan sedih yang mendalam,ketika menemukan masih banyaknya para pengemis di sekitar lampu merah. Belum lagi bencana banjir,kemacetan di mana-mana yang melanda Ibukota.
Ada rasa kecewa ketika berada di Ibukota Negara dengan tata kelola pemerintahan,terutama kesembrawutan dan hancurnya lingkungan di Ibukota Jakarta saat itu. Entah mengapa anak-anak yang di lampu merah itu selalu menghantui pikiranku. Saat aku makan kenyang,para pengemis yang sering aku lihat di lampu merah tersebut seakan menganggu pikiranku.Terkadang aku heran dengan diriku sendiri,mengapa aku seperti orang stress hidup di metropolitan. Padahal hampir semua orang menginginkan hidup dan eksis di kota Jakarta. Saat itu aku bisa pergi ke mall-mall besar seperti mall Anggrek,Ciputra,Blok M,Sarinah,Monas dll. Naik busway,kereta api,taxi,bajaj ,saat libur bisa pergi ke puncak,ke Jogja dll bersama teman-teman asal Kalbar. Betul-betul merayakan masa muda. Tapi..ya begitulah..aku juga bingung. Kemudahan-kemudahan itu ternyata tidak membuatku betah. Keputusanku terkadang membuat orang lain kecewa. Ibarat kata sudah diberi jalan terbaik,malah pergi. Bisa jadi aku kurang cocok tinggal di sekitar gedung-gedung pencakar langit. Hidup memang pilihan dan aku kembali pulang ke Kalbar untuk memulai kehidupan yang cocok dengan semangat hidupku.
Punya pengalaman di Ibukota Negara inilah yang membuat aku harus menjadi aktivis lingkungan hidup,aku ingin terus mengajak semua masyarakat untuk menyadari realitas krisis lingkungan hidup yang terjadi pada rumah bersama ini. Dengan demikian semuanya memiliki tanggungjawab untuk merawat dan mencintai bumi sebagai rumah kita.Nach..untuk menjadi pendidik di lingkungan sekolah tidaklah cukup maka perlu bergabung dalam komunitas peduli pada lingkungan hidup agar kelak bisa memberikan edukasi kepada masyarakat.
Bersambung ke Kisah Inspirasi (3)