Budaya

NGAYAU di Kalangan Dayak Jangkang: Etika dan Pantangannya (1)

Sabtu, 1 Mei 2021, 07:30 WIB
Dibaca 1.103
NGAYAU di Kalangan Dayak Jangkang: Etika dan Pantangannya (1)

Ngayau di kalangan Dayak Jangkang mengenal etika dan pantangannya. Jenderal berperang melawan jenderal. Kopral melawan kopral.  Prajurit lawan prajurit. Dianggap tidak fair, jika jenderal melawan prajurit. Sementara Sirok somah (tanda menyerah), tidak boleh dilanggar.  JIka dilanggar, akan kena kutuk (celaka).

Dalam wiracerita, Dayak Jangkang (juga Dayak Iban) dikisahkan. Bahwa setiap kali pulang ngayau, seseorang yang berhasil membawa kepala musuh, dielu-elukan. Ia disebut "bujang berani". Calon pemimpin di masa depan. Oleh sebab itu, seorang sakti mandraguna dan pemberani, di masa lalu, adalah impian setiap pemuda. Sosoknya digambarkan seperti ilustrasi kita ini.

Kstaria Dayak turun ngayau dalam pakaian perang komplet. Orang Dayak sendiri bingung, mengapa praktik ngayau dihentikan kompeni (Hindia Belanda), padahal mereka sendiri melakukannya lebih kejam? "Why do the Dutch stop us making war when they are having wars all time" seperti diungkapkan Lencau dari Lidung Payau sebagaimana dicatat Blair dan Helmi (1991: 123).

Macatn Gaikng melanggar sumpah dan aturan ngayau. Ia nekad. Korban pertama yang jatuh di tangannya justru ibu-ibu yang baru melahirkan. Suatu pantangan yang sebenarnya harus dipatuhi dalam ngayau. Ia sendiri kena tulah. Pantangan memakan korban.

Pada zaman primitif, dalam upaya mempertahankan wilayah dan melestarikan klan yang masih sedikit, diciptakan mitos. Salah satunya, mitos mengenai adanya kekuatan dalam kepala manusia. Juga kisah ihwal adanya purifikasi (pembersihan) lewat darah musuh. Hal ini terutama terjadi di suku bangsa primitif.

Demikian pula, dahulu kala, nenek moyang kita yakin akan mitos itu. Salah satu subsuku Bidayuh, Dayak Jangkang, kala itu bermusuhan dengan Hibunt. Padahal, keduanya masih dalam satu rumpun. Dan kini satu kabupaten, Sanggau, Kalimantan Barat. Hanya dipisah oleh wilayah satu kecamatan saja: Kembayan.

Menurut Lontaan (1975: 533-537), setidaknya terdapat empat motif ngayau.

Pertama, melindungi pertanian.

Kedua, mendapatkan tambahan daya (rohaniah).

Ketiga, balas dendam.

Keempat, sebagai penambah daya tahan berdirinya bangunan.

Namun, saya menambahkan satu lagi. Yakni motif lain di balik ngayau –dan ini jauh lebih penting— yakni upaya survive, mempertahankan diri. Boleh dikatakan, motif mempertahankan diri ini jauh lebih sering mengemuka daripada motif-motif lain. Terutama pascaperjanjian Tumbang Anoi.

Sedangkan penghentian praktik ngayau di kalangan suku bangsa Dayak, disepakai pada 1894. Dalam Perjanjian Damai Tumbang Anoi (wilayah Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah kini),  di mana Damang Batu menjadi tuan rumah penyelenggaranya. Kesepakatan itu, dikenal dengan Penghentian H-3. Yakni: hakayau (saling kayau), habunu (saling bunuh) hatetek (saling penggal) + J (jipen) (perbudakan).

Wakil Sanggau yang tercatat pada musyawarah Tumbang Anoi itu adalah Pangeran Paku Negara, Sultan Sanggau. Sebenarnya, dua macatn Jangkang bersamanya -- menurut kisah ayahku. Yakni macatn Luar dan Macatn Natos.

Koran berbahasa Belanda, tak lama setelah peristiwa bersejarah itu, menulis. Di bawah judul "Een eeu vrede onder de Koppensnellers". Digambarkan bahwa inisiasi Perdamaian menghentikan praktik 3-H + 1 J ini adalah "sisi baik" dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Seabad memperingati Perjanjian Damai Tumbang Anoi (PDTA), penegasan itu kembali disampaikan dalam sambutan oleh van der Veen. Bahwa, "Berperang jauh lebih mudah daripada berdamai."

Kali ini, saya ingin berkisah. Bahwa, ngayau, mencari kepala musuh di kalangan Dayak Jangkang, mengenal etika dan pantangan-pantangannya.

Tersebutlah seorang hero dari Jangkang. Namanya Macatn Gaikng. Ia sakti mandraguna. Lihai berperang. Namun, tewas karena melanggar sirok somah. Sirok somah adalah tempayan dan piring berisi beras yang ditempatkan tepi jalan masuk kampung. Artinya: kami menyerah. Jangan kayau kami!

Syahdan, ini terjadi awal abad 18. Sudah melihat ada sirok somah sebelum memasuki kampung, ia nekad juga mengayau. Ia diperingatkan oleh musuh bahwa musuh sudah menyerah dengan memberi tanda sirok somah, namun Mancan Gaikng tidak peduli.

“Mengapa kalian menyerang kami? Tidakkah mata kalian melihat sebelum masuk kampung ada sirok somah?” tanya pemimpin Hibunt.

“Kami tidak peduli. Sebentar lagi gawai. Kami memerlukan kepala musuh untuk taja notokng,” jawab Macatn Gaikng. (Gawai notokng, zaman itu: pas musim padi menguning. Nantinya, kepala hasil kayauan ditarikan pada pesta panen padi).

“Minta ampun, macatn! Kami pantang ngayau dua tiga hari ini. Di kampung kami baru saja tiga ibu melahirkan dalam waktu yang berdekatan. Kalian sebaiknya ngayau ke kampung lain saja!”

“Mana kami peduli. Kami sudah ke sini,” jawab Macan Gaikng dengan garang. Ia menghunus mandau. Lalu merangsek masuk pelataran rumah panjang musuh.

“Ah… mak mok nyen, tulah boh oh omo macan!” (Jika nekad juga ngayau, kamu akan tulah, macan!)

“Mae lonkg koh tulah. Koto maeh eh!” (Mana saya mau tulah. Rasakan seranganku!) Macatn Gaikng kesetanan. “Kih sani neh onya dek mora boranak seh?” (Mana ibu-ibu yang baru saja melahirkan?)

Macatn Gaikng melanggar sumpah dan aturan ngayau. Ia nekad. Korban pertama yang jatuh di tangannya justru ibu-ibu yang baru melahirkan. Suatu pantangan yang sebenarnya harus dipatuhi dalam ngayau.

Tidak mudah menaklukkan Macatn Gaikng, meski ia kena sumpah dan tulah. Banyak korban jatuh di tangannya. Karena dikeroyok, Macatn Gaikng lalu didesak keluar kampung, ke sebatang pohon besar. Di situ ia masih menjatuhkan banyak korban karena di belakangnya terlindung baner (akar pohon yang lebar).

Akhirnya, dahi Mancatn Gaikng tertembus tombak musuh yang mata tombaknya terbuat dari tulang manusia. Sebelum menyerah kalah, Macatn Gaingk memerintahkan anak buahnya pulang ke Jangkang, membawa hasil kayauan untuk keperluan notokg pada gawai yang tidak lama lagi diadakan.

Dalam peristiwa Macatn Gaingk melanggar sirok somah di daerah Hibunt ini, dihikayatkan. Bahwa ia  sudah ngayau bersamanya Macatn Luar (Kek Gila) dan Macatn Natos yang ketika itu masih belia.

Kedua macatn ini tampil mengganti Macatn Gaingk. Namun, yang paling menonjol adalah Macatn Luar. Ia ia kerap diminta Raja Kerajaan Sanggau menaklukkan raja-raja bawahan yang tidak mau patuh. Kisah epos tentang Macatn Luar ialah ketika ia membantu Raja Paku (gelar raja Sanggau waktu itu) menaklukkan raja kerajaan Tayan. Atas jasanya ini, Macatn Luar diberi gelar “Macatn Muara Tayatn Songkuakng Tajor”. Kepadanya dihadiahkan 12 buah gong atas jasa itu.

Nantinya, setelah pikun, kenangan akan mabuk kemenangan ketika berhasil menaklukkan raja kerajaan Tayan ini tetap tersimpan dalam memori Macatn Luar. Ia makan sirih. Ketika sedang membuat sirih, lewat anak-anak, ia seolah-olah menembak, “Pou! Pou!” pada anak-anak.

Kata anak-anak, “Gila kali kakek itu.”

“Bukan gila! Hanya menirukan bunyi. Begitulah musuh menembak kami waktu menaklukkan Tayan dahulu kala.”

Sejak itu, Macatn Luar digelari “Kek Gila.”

***

Dari garis darah, saya termasuk menitis Panglima (macatn) Natos dari Engkarong dan Macatn Luar.

Pada narasi yang lain, akan saya kisahkan pantangan ngayau yang kedua. Juga kisah tentang para macatn asal Jangkang ini.

Tags : budaya