Wisata

Astana dalam Larik-larik Puisi

Senin, 24 Agustus 2020, 16:49 WIB
Dibaca 532
Astana dalam Larik-larik Puisi
Astana tepi Sungai Sarawak & larik-larik puisi.

Sesiang itu matahari menyengat panas bumi Sarawak. Sebuah negeri dongeng yang dijajah dan diperintah Brooke, si Rajah Putih beserta dinastinya lebih dari seabad. Meski dari asal usul dan sejarahnya milik puak Dayak.

Tepi Sungai Sarawak yang mengalir tenang, Waterfront, Kuching. Berjajar kedai dan bunga. Asoka dan boungenvile memburat warna menyala, merah seperti kirmizi. Taman seakan istana bidadari dalam dongeng masa lalu. Sedap dipandang mata. Resik dan tertata dengan artistik.

Aku menikmati betul panorama dan suasana. Sarawak sungguh berbeda dengan negeriku. Mungkin saja karena dijajah Britania Raya, sehingga tertib dan bersih.

Pohon Tapang in a bank of Sarawak River: in front of ASTANA.
Sarawak takes it name from a river which flows from the Penrissen to Kuching, and meanders its way through a wide alluvial plain until it reaches the South Sea.

The Astana, or palace, was built by Rajah Charles Brooke in 1870 at a time of his marriage to Miss Margaret de Windt: a bridal gift. In fact, the Astana a set of three spacious bungalows. In 1931 was renovated, skilled craftsmen from Hongkong were employed to decorate the ceilings on the main rooms with ornate plaster stuccco.

After that, since Malaysia Day, the Astana now is the residence of the HE Governor Sarawak. It is not open to the public so that I can't entry...

***

Tak bisa masuk ke dalam sesiang itu. Sebab dalam sebuah persiapan acara besar. Dilarang untuk umum. Tapi aku menikmati betul pemandangan sekitar. Sejenak duduk di halaman rumput, bawah pohon tapang.

Maka kugoreskan kata. Menjadi larik-larik puisi. Memindah keindahan dan pesona. Spontan, ke dalam bahasa pujangga.

Kali ini, pikirku. Aku tak menulis objek, keindahan lewat kalimat dan kata seorang penulis esay. Tapi merangkainya sebagai seorang penyair. Terlalu banyak isi hati dan perasaan harus dicurahkan ke dalam kata dan kalimat sebuah feature. Dengan bahasa puisi lebih bernas. Lagi simbolik, penuh imaginasi.

Tepi Sungai Sarawak

(I):

tepi sungai sarawak mengalir tenang
tak  tampak lagi matahari pertama
seperti diam seribu bahasa
pada keruh air
yang menyudutkan lampu-lampu
taman astana

dan kau masih berdiri
seberang kali
yang memisah pandang
sepanjang jalan

hanya tampak seorang perempuan iban
berjalan lamban seperti enggan
dengan kaki tetap melangkah
bujur ke arah timur
"kita kan sampai di dermaga," katanya
"kita kan sampai di sana
sebelum gulita dan matahari
membias sinar emas
atas keruh air sarawak."

dan di cafe james broke, sore itu
musik dan lagu iban
masih kudengar
"enti suba tua dara betemu
sigi nuan dambi aku ke sulu...."

aku pernah bermimpi
ketika dulu masih terlalu pagi
dan ibu membangunkan mimpi
"iban bukan bahasa ibumu!
kau jangan ke sana
terlalu bahaya bagi anak kecil!'

lalu matahari pertama itu pun jatuh
luruh membias rona pelangi
warna warni
atas keruh air
sungai sarawak yang tak bergerak

suara-suara serak

mungkin decak kelana yang tak dikenal

(II):

riak-riak bekejaran seakan ombak
membawa lingkar bulat
seperti imaginasi
di tepian jadi buih
putih jatuh beterbangan
datar di altar Waterfront

Di tepian Sungai Sarawak
aku bersenandung
dengan warna tujuh bunga
kidung aku di malam
yang dikakukan temaram

Barangkali di ujung
ada mantra kata lain

Aku kan singgah
di dermaga
hatimu

Tags : wisata