Lewi G. Paru, Petani Organik Penjaga Martabat Adat Krayan

Jarak antara Long Layu ke Long Bawan, di mana saat ini saya menginap di Krayan Barat, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, adalah 54,2 kilometer menggunakan ukuran jalur pesawat terbang. Dengan waktu yang terbatas, rasanya tidak ada kesempatan bagi saya untuk berkunjung ke Long Layu menggunakan jalan darat. Tetapi, saat saya dan Yansen TP sedang menikmati kopi-susu pagi hari, Sabtu (14/6/2025) di sebuah penginapan di Long Bawan, datanglah sosok tua yang ditemani anak muda.
Sosok tua itu adalah Lewi G. Paru, lelaki bertubuh kecil namun berjiwa raksasa itu sebagaimana yang pernah saya baca, telah menulis sejarah hidupnya dengan tinta kehormatan dan dedikasi untuk tanah kelahirannya, Krayan. Usianya kini 91 tahun, tetapi semangatnya lebih muda dari usia kebanyakan pemimpin. Ia bukan hanya seorang kepala adat. Ia adalah guru kehidupan.
Saya tercenang dengan ketegasan bicara dan sisa-sisa kecemerlangan pikirannya, meski kekuatan pendengarannya sudah berkurang. Kami setengah berteriak saat menyampiakan sejumlah pertanyaan.
Lewi, sosok tua sosok berkacamata dan mengenakan topi saat tepat berada di seberang meja, bukan warga biasa. Ia dikenal di Dataran Tinggi Borneo sebagai pemimpin adat Krayan Selatan yang tak tergoyahkan. Selama lebih dari tiga dekade, ia memelihara bukan hanya tanah kelahirannya, tetapi juga ruhnya. Kepeduliannya terhadap lingkungan dan keteguhannya dalam menjaga hak-hak masyarakat adat membuat namanya menggema hingga ke forum internasional.
Pada tahun 2004, saat Forum Masyarakat Adat Dataran Tinggi Borneo (FORMADAT) didirikan di Long Bawan, nama Lewi menjadi pionir utama dari inisiatif lintas batas yang menghubungkan Krayan di Indonesia dan Ba'Kelalan di Malaysia. Formadat bukan sekadar organisasi. Ia adalah panggilan nurani.
Lewi memimpin Formadat Indonesia, sementara George Sigar Sultan memegang tampuk kepemimpinan Formadat Malaysia. Keduanya membentuk jembatan budaya dan ekologi di tengah dunia yang makin retak oleh ambisi ekonomi.
Lewi menyebut Formadat sebagai “hulu kearifan yang menetes ke hilir generasi.” Sebuah ungkapan yang mengingatkan kita pada pemikiran Martin Heidegger tentang Gelassenheit—sikap melepaskan diri dari dominasi teknologi dan kembali hidup selaras dengan keberadaan yang otentik.
Sebelum dikenal luas sebagai pejuang lingkungan, Lewi adalah seorang tokoh agama. Kata dan tindakannya menyatu, menjadikannya panutan. Ia tak pernah memerintah, tapi menuntun. Dalam tiap homilinya dahulu, ia selalu menyelipkan ajakan untuk “berdamai dengan tanah.” Kini, semangat itu diwujudkan dalam berbagai gerakan nyata: pertanian organik, praktik agroforestri, konservasi air, dan ekowisata berbasis komunitas.
Data dari Laporan FAO 2024 menunjukkan bahwa hutan tropis Kalimantan terus menyusut sebesar 1,3 juta hektare dalam lima tahun terakhir. Namun di Krayan, angka itu hampir stagnan. Mengapa? Karena masyarakat adat di sini menjalankan filosofi “ne' molun”—hidup selaras dan tidak serakah. “Apa yang tidak kita tanam, jangan kita panen,” ujar Lewi. Prinsip ini menjadi antitesis dari logika ekstraktif yang kerap mendominasi wacana pembangunan.
Bagi Lewi, modernitas bukan musuh. Ia menyambut internet dan teknologi, tetapi ia menolaknya ketika menjauhkan manusia dari tanah dan sesama. Di sinilah letak keunikan masyarakat Krayan: mereka menyandingkan drone dengan doa adat, membangun rumah digital di atas fondasi budaya.
Panggung Dunia dari Pinggiran Negeri
Pada 2015, Lewi G. Paru menerima Equator Prize, sebuah penghargaan bergengsi dari UNDP yang diberikan kepada para pejuang lokal atas kontribusi nyata terhadap pelestarian alam dan pengurangan kemiskinan. Di forum itu, ia menyampaikan pidato pendek yang membekas: "Kami tidak ingin menjadi kaya dengan menghancurkan tanah kami. Kami ingin cukup, dan cukup itu berarti air bersih, hutan hidup, dan anak-anak kami tertawa di tengah sawah."
Pernyataannya menggema hingga ke ruang-ruang konferensi di New York. Banyak yang terhenyak, bagaimana seorang kepala adat dari ujung negeri mampu menyampaikan esensi pembangunan berkelanjutan lebih dalam dari laporan akademik mana pun.
Kini, Lewi tak lagi sering muncul di panggung publik. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di kebunnya, mengajarkan anak cucunya cara membaca cuaca dari arah angin dan bentuk awan. Tapi warisannya telah menjadi nadi dalam kehidupan Krayan. FORMADAT terus hidup.
Gerakan pertanian organik mereka telah menginspirasi puluhan komunitas di Kalimantan Utara. Menurut data dari Dinas Pertanian Kalimantan Utara (2024), lebih dari 68% lahan pertanian di Krayan kini bebas pestisida kimia dan menggunakan sistem tradisional yang diperbarui.
Seorang pemuda Krayan berkata kepada saya, “Kami tidak kaya uang, tapi kami mewah dalam makna.” Sebuah pernyataan yang barangkali akan membuat Jean-Jacques Rousseau tersenyum dari alam baka, karena bagi Rousseau, kemajuan sejati bukan pada kemewahan materi, tapi pada kemuliaan hidup yang alami dan jujur.
"Kalian memang pintar-pintar dengan teori," demikian Lewi kepada saya, Yansen TP dan Masri Sareb Putra yang mendengarkan kisa perjalan spiritualnya. "Biarlah saya yang melakukan aksinya." Kami tertawa, meski agak sedikit tertampar juga.
Lewi tidak menampik adanya upaya pemerintah untuk memperbaiki infrastruktur akses jalan, meski sangat jauh dari harapan. Namun baginya, jalan hanyalah "alat", ia tidak mau menunggu jalan terlebih dahulu. Baginya ada atau tidak ada akses jalan, pertanian dapat dilakukan dengan menanam kopi, sayur, cabai dan tanaman lainnya. "Sia-sia saja ada jalan tetapi tidak ada produksi," katanya. "Saya bangga, tidak ada pertanian organik di tempat lain. Tanaman apapun organik, semua organik. Ini hanya ada di Krayan."
"Aku memang keras, tetapi sebenarnya aku sayang dan mencintai orang-orang. Aku melawan kelaliman, ketidakadilan dan diskriminasi," katanya. "Kenapa takut di rumah sendiri (Krayan), itu tidak boleh terjadi. Kita, rakyat Krayan harus bersatu.. Saya ibaratkan Krayan sekarang berada di tengah-tengah neraka yang apinya belum menyala."
Lewi G. Paru bukan sekadar kepala adat dan petani tangguh. Ia adalah penjaga kesunyian yang bersuara nyaring. Dari Long Layu, ia memperlihatkan bahwa menjaga tanah bukan pekerjaan masa lalu, tetapi misi masa depan. "Cuma satu yang saya cari, yakni pemberani-pemberani Dayak. Hidup dan mati sama nilainya. Mari teruskan langkah kita (Krayan) ke depan!"
Di dunia yang sibuk mengejar kemajuan dengan melupakan akar, kisah Lewi adalah pelita yang mengingatkan bahwa kemajuan tanpa kearifan hanya akan membawa kita menjauh dari rumah. Berkatnya, Krayan tetap menjadu rumah yang hangat bagi manusia, alam, dan masa depan bersama.
**
Long Midang, 14 Juni 2025