Sosok

Lewi G. Paru Menolak Narasi Ketertinggalan, Menegaskan Kedaulatan Dayak bagi Masa Depannya

Minggu, 15 Juni 2025, 08:31 WIB
Dibaca 24
Lewi G. Paru Menolak Narasi Ketertinggalan, Menegaskan Kedaulatan Dayak bagi Masa Depannya
Lewi G. Paru: mengingatkan Dayak maju dan membangun dari dalam.

Lewi G. Paru namanya. Seantero Dataran Tinggi Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, mengenal sosok berperawakan sedang, bahkan mendekati mungil ini. Namun, di balik semua itu; energik tetap terpancar dari seluruh gaya dan penampilannya.

Dalam usianya yang telah mencapai 91 tahun, Lewi tetap tegak berdiri sebagai salah satu sosok paling berpengaruh dan visioner di dataran tinggi Krayan. Ia bukan hanya saksi sejarah panjang transformasi sosial-ekologis wilayah perbatasan Kalimantan tersebut, tetapi juga aktor utama dalam perjuangan ekologis dan budaya yang merentang hingga forum-forum internasional.

Penjaga kemurnian Krayan

Sebagai tokoh adat, pelaku petani organik, dan pejuang pelestarian lingkungan, Lewi telah memperlihatkan konsistensi luar biasa dalam membela hak-hak masyarakat adat dan menjaga keberlanjutan tanah kelahiran mereka.

Pernyataan reflektif dan tajam dari Lewi disampaikan dalam sebuah bincang-bincang hangat di Long Bawan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, pada 14 Juni 2025, seusai acara Peringatan Hari Pertanian Organik (HPO) ke-8 yang dilangsungkan di Desa Tanjung Karya, Long Bawan. Dalam suasana akrab penuh semangat, Lewi menyampaikan sebuah pandangan yang menggugah:

"Krayan bukan tertinggal. Krayan sengaja ditinggalkan. Ini strategi diam-diam agar orang Dayak tidak maju-maju. Tetapi saya tegaskan: Dayak harus memajukan diri. Tidak ada yang bisa memajukan kita selain kita sendiri."

Pernyataan ini bukan semata retorika emosional seorang tetua adat, melainkan analisis tajam atas dinamika ketimpangan struktural yang diwariskan sejak masa kolonial hingga kini. Lewi menolak label "tertinggal" yang kerap dilekatkan pada wilayah pedalaman, termasuk Krayan. Baginya, kata "tertinggal" menyiratkan inferioritas yang menyudutkan dan mendistorsi fakta sejarah. Ia menyadari bahwa keterpinggiran Krayan bukanlah akibat dari ketidakmampuan warganya, melainkan hasil dari pilihan-pilihan kebijakan politik-ekonomi yang sistematis meninggalkan, bahkan mengeksklusi wilayah-wilayah adat dari arus utama pembangunan.

Namun, alih-alih larut dalam retorika keluhan, Lewi mendorong transformasi dari dalam. Ia meletakkan tanggung jawab utama pada kesadaran kolektif masyarakat Dayak itu sendiri. Dalam pemahamannya yang reflektif sekaligus pragmatis, kedaulatan masa depan tidak dapat diserahkan pada belas kasihan negara atau pasar. Hanya dengan mengandalkan kekuatan internal dari tradisi, kearifan lokal, solidaritas komunitas, hingga semangat belajar dan beradaptasi; orang Dayak dapat mengubah nasibnya.

Pernyataan Lewi tidak hanya mengandung muatan ideologis yang kuat, tetapi juga menawarkan arah praksis: bahwa pembangunan berbasis komunitas, berbasis nilai-nilai ekologis dan budaya, adalah jalan menuju kemajuan yang bermartabat dan berkelanjutan. Ia adalah representasi dari intelektual kampung, dalam pengertian Paulo Freire, yang menyatukan pengetahuan lokal dan keberpihakan terhadap kaum terpinggirkan.

Yang peduli Dayak: Dayak sendiri

Maka ketika Lewi G. Paru berbicara, sesungguhnya ia tidak hanya menasihati generasi muda, tetapi juga sedang mengukir arah sejarah. Bahwa masyarakat adat Dayak punya kuasa untuk menentukan jalannya sendiri, selama mereka tetap berpijak pada identitas, keberanian, dan komitmen untuk saling membangun dari dalam.

Lewi mengingatkan kita semua bahwa kepedulian sejati terhadap masa depan Dayak hanya tumbuh dari dalam diri orang Dayak sendiri. Bahwa yang benar-benar menginginkan kemajuan Dayak adalah orang Dayak sendiri pula. Sedemikian rupa, sehingga satu-satunya jalan yang bermartabat adalah membangun dari dalam dengan kekuatan sendiri, nilai sendiri, dan semangat yang tak tergantung pada belas kasihan pihak luar. *)

Tags : sosok