Riset

Dayak in Action (DIA): Cikal Bakal Partai Persatuan Daya, The History of Dayak (12)

Kamis, 11 Februari 2021, 10:45 WIB
Dibaca 1.580
Dayak in Action (DIA): Cikal Bakal Partai Persatuan Daya, The History of Dayak (12)

Mencuatnya tokoh-tokoh Dayak, terutama di Kalimantan Barat. Tak lepas dari peran Gereja Katolik. Para padri dari Ordo Kapusin, yang datang ke Borneo Barat pada 1905. Mereka mengangkat derajat suku bangsa Dayak. Lewat "onderwijs", pendidikan yang berstandar Eropa: pendidikan asrama.

Plaza Indonesia, Rabu petang 10 Februari 2021. Di sebuah resto. Kami makan malam. Sembari diskusi. Suasana sersan. Serius tapi santai.

Ada wakil gubenur terpilih Kalimantan Utara, Dr. Yansen Tipa Padan, M.Si., seorang Lundayeh. Pada sisi kirinya, duduk Ibu Ketua DPRD Kab. Malinau, Ping Ding yang tiada lain adalah perempuan Kayan, isterinya. Ada Prof. Adrie Paton, rektor Universitas Borneo Tarakan (UBT), seorang Dayak dari Apau Kayan. Di samping dan muka saya, ada dua kawan-sesama pegiat literasi dan penulis senior: Dodi Mawardi dan Pepih Nugraha.

Hal yang menarik. Di antara yang lain-lain. "Dayak Kalbar paling maju dalam hal SDM dan literasinya dibanding provinsi lain," cetus sang profesor.

Kami semua manggut-manggut.

Saya coba menelisik. Mencari tahu. Ihwal yang menjadi pra-kondisi, prakognisi, mengapa demikian? Ketemulah prakondisinya. Seperti narasi singkat ini. Onderwijs. Pendidikan. Yang dirintis. Sekaligus,  diperkenalkan oleh Misi Gereja Katolik di tengah-tengah suku Dayak.

Sepertinya, revolusi mental memang harus melewati jalan panjang. Ia marathon. Secara beregu pula menempuh suatu perjalanan panjang. Bersama-sama. Mencapai satu tujuan yang sama pula. Bukan sprint, lari cepat.

Sejarah Dayak membukukan hal yang demikian. Jika menyangkut nilai, peradaban, kebiasaan yang menjadi habitus, dan akhirnya menjadi adat budaya yang hidup; panjang dan berliku kisahnya.

Maka, yang ada, sebenarnya adalah "evolusi mental". Yakni perubahan secara gradual. Perlahan-lahan. Dan di kalangan Dayak Kalimantan Barat, itu mulai di awal abad 19.  Seabad sebelum berakhirnya alaf pertama. Jadi, perlu waktu seabad evolusi mental menuai hasil. Kini orang sudah bangga menjadi Dayak. Lebeling untuk memilah penduduk asli dan bukan-asli pulau Borneo oleh Penjajah Kolonial itu menjadi berkat, bukan (lagi) kutuk.

Sebagai contoh. Dahulu kala, cap "udik", orang hulu, "orang darat" (Dayak berati: udik, orang darat) jika mendengarnya orang merasa terhina. Kini malah bangga. Dan bersyukur. Sebab begitu pusat kebudayaan tiba-tiba berubah pendulum, dari budaya sungai ke daratan (jalan raya dan bandara), maka orang Dayak yang diuntungkan. Mereka punya banyak tanah! Sebagian besar tanah adat. Dan itu milik mereka. Karena telah ditempat-tinggali. Jauh sebelum negara ini ada dan terbentuk.

***

Daya in Action (DIA) pada 1 November 1945 bermorfosis menjadi Partai Persatuan Daya (PPD), ditandai dengan pemindahan kantor pusat dari daerah ke Pontianak. Perubahan itu, tentu saja, memerlukan banyak “pemimpin Dayak” untuk menjadi “tokoh-tokoh politik”.

Benarlah! Cukup banyak pemimpin Dayak sebagai hasil pendidikan di sekolah calon pastor (seminari), Sekolah Pendidikan Guru yang dimulai dengan Normaalschool. Kemudian dilanjutkan dengan CVO (Cursus Volkschool Onderwijzer), lalu ditingkatkan menjadi OVVO (Opleiding Voor Volks Onderwijzer), kemudian sebagai hasil pendidikan di MULO.

Para pemimpin Dayak hasil didikan Misionaris, para padri Kapusin, tidak ada yang “menjalani” pendidikan politik. Untuk menjadi “tokoh politik”, mereka belajar sendiri (otodidak). Menjadi “tokoh politik” karena mereka mempunyai “insting politik” yang kuat. Insting politik itulah yang dipergunakan untuk memimpin partai politik, dalam hal ini PPD.

Pendidikan seminari (calon pastor) dan Sekolah Pendidikan Guru didirikan dan diselenggarakan oleh Misi Katolik di desa Nyarumkop dekat Singkawang. Orang mengenal persekolahan Misi yang berdiri di kaki Gunung Poteng itu sebagai kawah candradmuka mendidik anak-anak muda Dayak menjadi pintar, sekaligus menyiapkan calon pemimpin masa depan.

Mgr. Pacifikus Bos, Pastor Marcellus, Pastor Egbertus, P. Beatus di antara para siswa Standaardschool (1928).

Sesungguhnya, lokasi pertama pendidikan Misi (Ordo Kapusin) bagi anak-anak Dayak di Pelanjau, hulu Sungai Sebangkau, dekat Pemangkat, 10 km dari Singkawang bertahun sejarah 1911.

Oleh sebab bangunan sederhana dari kayu dan bambu beratapkan rumbia itu rubuh; maka dipindahkan ke Nyarumkop. Orang Dayak mempercayai tanda-tanda alam. Rubuhnya asrama, dianggap sebagai pertanda buruk oleh orang Dayak. Selain penghuninya terkena penyakit, dua anak asrama meninggal dunia. Maka diputuskan memindahkan asrama ke Nyarumkop. Sebuah tempat yang asri lagi sejuk, di kaki Gunung Poteng dan berada di lembah aliran Sungai Sekabu yang jernih airnya lagi bersih.

Nyarumkop kemudian memang menjadi sekolah yang masyhur lagi terkenal disiplin tingkat tinggi. Ia sekolah calon pemimpin. Anak-anak asrama dari kampung, datang membawa gulungan tikar dan sebuah peti untuk menyimpan berbagai keperluan pribadi. Mereka dididik secara barat dan cermat. Berada di dalam disiplin ketat. Tak ubahnya pendidikan tentara.

Seluruh siklus 24 jam ada waktunya. Ada waktu bangun. Ada waktu mandi. Ada waktu berdoa. Ada waktu sekolah. Ada waku belajar. Ada waktu rekreasi. Ada waktu sarapan. Ada waktu siesta (tidur siang). Ada waktu olahraga. Ada waktu opus manuale (kerja tangan). Ada waktu masak. Dan sebagainya. Pokoknya; semua ada waktunya. Termasuk waktu untuk berlibur di hari Minggu dan hari raya. Boleh digunakan ke mana suka, asalkan produktif, dan memberi tahu pamong asrama ke mana? Yang penting, diisi dengan hiburan segar.

Maklum, anak-anak yang datang ke persekolahan yang dibangun para padri berjenggot panjang itu (nanti  akan ada satu tulisan mengenai "Jenggot Kapusin") culun dan polos-polos. Mereka anak kampung. Orang udik. Yang makan dengan sendok dan garpu saja harus diajarkan cara menggunakannya oleh para pamong asrama. Kejadian sungguhan. Di awal mula, ada anak asrama yang memasukkan makanan ke mulut dengan sendok, tapi garpunya tetap di tangan kiri, dengan posisi diam terangkat. Persis seperti orang hendak menombak!

Anak-anak pedalaman penghuni asrama Nyarumkop yang kurus dan dekil waktu itu adalah JC Oevang Oeray, FC Palaunsoeka, A Djelani, M. Th Djamau, AF Korak, M Andjiu, HS Masoeka Djanting, I Kaping, W Hittam, Jam Linggie; Anyiem; CP Djaoeng, Saiyan, CJ Impan, PJ Donggol, PF Bantang, dan lain-lain.

Sepertinya, revolusi mental memang harus mengalami jalan panjang. Sejarah Dayak membukukan yang ada adalah "evolusi mental". Perubahan secara gradual, dan perlahan-lahan itu mulai di awal abad 19.

Siapa menyangka. Mereka itu adalah pemimpin masa depan.Yang mulai stat menulis sejarah sukunya sendiri. Mereka digodok untuk mandiri. Bisa hidup dalam berbagai keterbatasan, dengan menggunakan sumber daya yang ada, di sekitar. Yang penting: jangan mencuri dan merugikan orang lain. Ini nilai. Yang tidak bisa ditawar-tawar. Jika ada yang melanggar, ditanggung dikeluarkan dari asrama.

Para pemimpin Dayak itu tidak ada yang “menjalani” pendidikan politik. Untuk menjadi “tokoh politik”, mereka belajar sendiri (otodidak). Menjadi “tokoh politik” karena mereka mempunyai “insting politik” yang kuat. Insting politik itulah yang dipergunakan untuk memimpin partai politik, dalam hal ini PPD.

Dalam kerangka menjembatani jurang "the past and the present, something unknown:, ada baiknya kita telusuri nama beberapa tokoh Dayak yang kunci waktu itu, antara lain:

• JC Oevaang Oeray

Masih sebagai siswa di seminari Nyarumkop. Masih sangat belia. Tapi punya keberanian dan pikiran prrogresif. Jauh menjangkau ke muka.

Oevaang pada tahun 1941 telah menggemparkan panggung politik Kalbar. Ia menulis surat kepada para guru Katolik yang mengadakan retret di kota Sanggau. Suratnya berisi permintaan agar guru-guru memikirkan “jalan politik” untuk mengatasi keterbelakangan dan menghapus ketidakadilan di bidang politik bagi orang Dayak.

Surat tersebut “ditangkap” oleh pastor pembimbing retret dan dilaporkan ke seminari. J.C. Oevaang Oeray diberhentikan dengan tidak hormat dari sekolahnya. Hal tu karena ia telah berani-beraninya masuk zona merah. Yakni ranah politik yang dilarang sekolah.

• FC Palaunsoeka

Juga tidak menyelesaikan pendidikannya di seminari. Setelah pulang ke kampungnya di Putussibau, ia menjadi guru di Sekolah Rakyat (SR) di sana. Bersama teman-temannya, antara lain M. Andjiu yang juga guru di Putussibau, AF Korak guru di Mendalam, Saerang pegawai di Putussibau, mendirikan Daya In Action (DIA) yang diterjemahkan sebagai Gerakan Kebangkitan Daya.

• A. Djelani

Hanya Djelani yang meneruskan pendidikan calon pastor ke Seminari Tinggi di Flores.Tetapi ia berhenti sebelum ditahbiskan menjadi pastor. Perlu dikemukakan bahwa pendidikan untuk menjadi pastor ditempuh melalui pendidikan Seminari Menengah dan dilanjutkan ke Seminari Tinggi. Pada waktu itu, belum ada Seminari Tinggi di Kalimantan seperti saat ini, sehingga harus ke luar pulau.

• A. Ding Ngo

Hanya A. Ding Ngo saja yang berhasil menjadi pastor. A. Ding Ngo berasal dari suku Dayak Kayaan mendalam, Kabupaten Kapuas Hulu. Satu suku dengan J.C. Oevaang Oeray.

Ding Ngo Dayak yang pertama meneliti. Dan membukukan epos dan syair-syair orang Kayan. Semua ada 7 jilid. Tersimpan di perpustakaan Universitas Gadjahmada, Jogjakarta. Tentang Syair Lawe, tokoh legendaris dan pahlawan orang Kayan.

Dan masih banyak tokoh lain, yang nanti akan dinarasikan lebih lanjut.

***